Tapi yang kali ini akan kita bahas, setelah berkeinginan, baik pada Allah ataupun pada manusia, pernahkah kita berterima kasih? Pernahkah kita bersyukur?
Saya mulai berpikir demikian setelah kejadian di kelas tadi siang, saat teman-teman saya membahas konsumsi untuk acara doa bersama sebelum ujian. Saat ditanya konsumsi apa yang mau dilebihkan untuk disumbangkan pada guru, mereka bilang tidak mau menyumbang.
Guru-guru hanya ingin uang.
Ngapain menyumbang makanan untuk mereka.
Dalam hati aku sangat menyesalkan ucapan teman-teman sekelasku itu. Daripada kelepasan marah, akhirnya kuputuskan untuk diam saja. Beginikah pendidikan kita zaman sekarang?
Yang saya lihat selama ini, seorang murid selalu saja mencari kekurangan gurunya, sehebat apapun gurunya itu. Guru akan selalu terlihat tidak tinggi di mata muridnya. Buktinya, kerap kali saya dengar beberapa teman mengobrol tentang gurunya tanpa menyebut sandangan "pak" atau "bu" di depan nama gurunya.
Mereka tidak tahu bagaimana usaha guru-guru itu untuk mereka. Bagaimana mereka harus memikirkan masalah muridnya di tengah banyaknya masalah mereka sendiri. Bagaimana rasanya bertambah tua sambil setiap harinya menjalani pekerjaan yang makan hati ini. Sakit...
Saya amat salut pada siapapun yang mau menjadi guru. Di tengah keluhan sakitnya balas jasa dari sang murid, muncul juga ungkapannya betapa ia cinta akan mengajar. Jadi guru itu nggak enak. Sakit hati. Capek teriak-teriak. Saya makin paham setelah jadi mentor di sebuah kelompok mentoring Islami. Mereka sering diejek-ejek, walaupun memiliki ilmu yang banyak di bidangnya dan kompeten dalam mengajar.
Sekarang begini : mengapa kita tak coba menenangkan hati guru?
Padahal banyak dampak positifnya. Guru itu juga manusia yang kalau mengajar, mungkin moody. Jadi kalau sang guru kita buat senang terus, beliau juga ngajarnya bagus dan antusias 'kan...
Aih sudahlah. Singkat kata, kalau mau dihargai, hargai dulu orang lain. Terlepas orang itu menghargai penghargaan kita atau nggak.
Maafkan post yang berakhir tidak jelas ini... :v