Jumat, 24 Juli 2020

Paket, Kurir, dan Belanja Online

Aku ingin menulis tentang sesuatu yang remeh-temeh, tapi entah kenapa sesuatu ini terus kupikirkan sampai mendorongku untuk menulis tentangnya.

Dalam beberapa tahun terakhir aku jadi lebih sering belanja online. Anggota keluargaku yang lain pun begitu. Belum lagi rejeki nomplok dari tante yang kerap kirim makanan ke rumah. Rumah kami jadi lebih sering terima paket. Karena pandemi, mungkin kami lebih banyak terima tamu paket daripada terima tamu manusia.

Hari ini, paket buku yang aku beli sampai. Entah kenapa, si penjual mengirim paket itu dengan kurir instan tidak seperti pesananku. Mungkin ini kali pertama aku terima paket dengan jasa "Yakin Esok Sampai". Bungkusnya warna merah. Sangat mencolok. Di bawah lingkaran putih bergambar tulisan "YES", tertulis dengan huruf kapital, "PAKET PRIORITAS".

Oh my God, jadi gini rasanya diprioritaskan.

Kemarin aku cek riwayat perjalanan paket buku itu. Entah kenapa, si penjual mengirim paket itu ke ekspedisi malam-malam, padahal aku sudah melunasi pembayaran sejak pagi. Paket itu, mungkin karena berbungkus merah, terus bergerak sepanjang malam. Tengah malam ia di pos A, dini hari ia sudah di pos B, sampai ke pos C di pagi hari dan diantarkan ke kurir antar.

Mengetahui hal itu bikin aku ingin mengunjungi sorting center mereka. Pasti keren, melihat paket berseliweran ke sana kemari dengan conveyor. Lalu di beberapa titik ada para pekerja dengan tampang bosan, haha. Semoga rezeki mereka lancar.

Kurir paket yang datang hari ini, suaranya keras sekali, super nyaring. Anugerah Tuhan supaya ia tak perlu repot-repot menekan bel, apalagi mengetuk pintu. Aku harap malam ini beliau bisa istirahat dengan baik.

Kurir paket yang kemarin, terlihat kurus. Padahal ia mengantar paket dengan mobil, yang berarti paket-paket yang diantarnya berukuran besar. Well, memang yang aku beli itu meja kerja (belum dirakit). Ukuran kotaknya besar. Beratnya, wow, jangan ditanya. Waktu saya buka pagar untuk beliau, beliau mengira saya yang akan menerima paket itu sehingga bertanya, "Bisa nggak? Berat, lho."

Duh, Bapak, mohon maaf bikin Anda ngurusin paket besar saya. Thank you so muchh. 

Walaupun orang lain pasti bilang, "Ya itu 'kan emang kerjaan mereka," itu nggak menghentikan aku untuk kepikiran hal kayak gini.
I had enough of taking things for granted.

Walaupun ada pilihan pengiriman paling instan berupa ojek, aku tetap meminta paket itu dikirim dengan ekspedisi biasa. Biar yang antar pakai mobil. Biar tidak ada yang mengalami hal seperti beberapa pekan sebelum ini. Beberapa pekan lalu,  ayahku membeli meja belajar untuk adik, tapi ternyata paket meja yang belum dirakit itu dikirim pakai ojek. Iya, ojek motor. Sampai hari ini aku masih terbayang sosok samar driver ojek yang mengelus jidat setelah memarkirkan motornya di depan rumahku. Paket meja itu ukurannya lebih besar dan lebar dibanding paket mejaku, tapi beratnya lebih ringan. Karena ukurannya besar, pasti sulit sekali membawa benda itu dengan motor. Pasti lama proses dipasang di motornya. Dilepasnya juga, sampai pakai cutter. Belum lagi menyetir di perjalanan. Karena nggak enak hati, kami langsung kasih beliau ongkos tambahan.

Yang bikin saya sedih adalah saya tahu bukan cuma beliau driver ojek yang mengalami itu--mendapat tugas mengantar barang yang sulit diantar pakai motor. Sebagai pengguna jasa, mari kita gunakan otak dan hati kita dengan baik.

Hmm, apalagi paket yang pernah kuterima?

Kursi lesehan. Ini juga diantar pakai mobil.
Keyboard mini, packaging-nya rapuh, tapi aku lega barangnya sampai dengan selamat. 
Baterai laptop, flash disk, uwaw.
Buku, komik, Audio CD, snack jadul langka yang cuma bisa kubeli online... Banyak, ya ternyata.

Belum lagi kalau dihitung paket keluargaku yang lain. Lampu motor, joystick PS, album K-Pop... Hobi keluarganya kelihatan, ya, hm.

Banyak barang yang kami beli online, tapi Alhamdulillah, kami tidak pernah punya masalah dengan ekspedisi atau pengiriman paket. Semuanya sampai dengan selamat, utuh, sesuai alamat tujuannya. Tidak ada yang rusak, patah, atau hilang di tangah jalan. 
Paket-paket itu tanpa kita sadari terus bergerak mendekati kita.

Apa seperti itu juga Allah mendekatkan rezeki seseorang? Hehehe.

Ya, suka-suka Allah (cling)✨

Rabu, 15 Januari 2020

Rezeki Saya Ternyata Begini

[Notice: Mungkin ini akan jadi tulisan yang menyebalkan karena banyak curhatan.]

Saya punya masalah, yaitu saya masih mahasiswa sejak tahun 2014 lalu. Mahasiswa S-1. Saya masih terhambat dalam menyelesaikan tugas akhir sehingga beginilah jadinya.

Kenapa memangnya? Apa yang terjadi?

Awalnya saya hanya mahasiswa baru yang bercita-cita jadi storyboard artist untuk iklan.
Kemudian saya mulai ikut banyak kegiatan mahasiswa yang memberi saya banyak kenalan baru dan cita-cita baru: menjadi seorang komikus.
Saat itu pula, materi kuliah yang awalnya bertema personal menjadi lebih bertema lembaga, organisasi, korporat. Tema yang menurut saya saat itu tidak penting untuk saya pelajari. Toh, saya tidak mau bekerja di korporasi besar.
Semangat menjadi komikus yang besar saat itu mendorong saya untuk mulai membuat komik. Memimpin teman-teman untuk membuat seminar bertema komik juga. 
Kemudian saya diberi ujian penyakit, yang mengharuskan saya minum obat setiap hari selama satu tahun. Sebenarnya sakit itu tak seberapa, tapi efeknya terhadap mentalitas saya besar sekali.
Saya jadi semakin pesimis, makin rendah diri, makin benci diri sendiri. Kadang jadi mempertanyakan pula sebenarnya apa makna hidup ini.
Saya jadi begitu emosional. Akibatnya saya mulai melalaikan tugas kuliah. Keluarlah nilai C/D/E, diulanglah seminar penelitian, tertundalah laporan magang.
Saya mulai ikut konseling di kampus, saya mulai mencari diri saya lagi, saya belajar agama dari awal lagi.
Kurang-lebih, itulah isi masa kuliah saya yang mendekati 5 tahun setengah ini.

Sekali-kali terpikir oleh saya, apakah ini karena dulu, dalam hati saya mempertanyakan senior-senior yang lulus sampai 7 tahun? Mempertanyakan senior yang mengulang kelas? Mempertanyakan anak-anak yang menghilang dari kampus seolah lenyap ditelan bumi? Semua hal yang saya pertanyakan dari mereka saya alami.

TAPI YA SUDAHLAH, ITU MASA LALU.

Sekarang saya sudah sembuh dari penyakit. Saya tidak harus minum obat lagi. Konseling saya sudah selesai. Setelah belajar agama dari awal lagi pun saya merasa iman saya jauh lebih baik dari sebelumnya. It's OK! Allah menjamin rezeki hamba-hambanya.

Saya kuliah sampai tahun keenam begini, berarti saya juga belajar lebih banyak hal dibanding teman-teman yang lulus lebih awal. Ada adik-adik yang tidak akan saya kenal dekat andaikan saya lulus tepat waktu. Ada teman yang tidak akan jadi dekat. Ada seminar yang tak akan saya tahu. Sepertinya Allah mau saya belajar sesuatu dulu di sini.

Tentu saja skripsi saya kerjakan. Meskipun saya akui saya tidak mengerjakannya secara intens, seberdedikasi teman-teman yang lain. Saya mengerjakannya. Saya kerjakan sendiri tanpa banyak bantuan dari dosen pembimbing karena mereka tahu ini topik penelitian yang saya kuasai. Tiap bimbingan jarang sekali saya revisi. Mungkin ini juga yang bikin saya jadi malas bimbingan dan menunda-nunda.
Mungkin di sisi lain saya juga nyaman dengan kehidupan sebagai mahasiswa di kampus sana. Mungkin saya tidak mau pergi.
Tapi orang lain pergi, bahkan yang muda sekalipun. Saya harus pergi dari kampus ini. Saya harus keluar dari Jatinangor, tempat kawan-kawan saya berada. Saya harus berpisah lebih awal dari tempat ini.

Akhirnya, semester ini saya pindah kembali ke rumah.