Minggu, 05 Desember 2021

Tanteku yang Kaya dan Dermawan

Tulisan kali ini akan kudedikasikan untuk seseorang yang sangat inspiratif, yang berperan besar dalam kehidupanku sejak aku kecil hingga dewasa kini.

Aku memanggil sosok itu dengan panggilan "Bunda".

Bukan, beliau bukan ibuku, melainkan kakak dari ibuku. Aku memanggilnya demikian karena begitulah anak-anaknya memanggil beliau.

Sejak kecil, aku mengenal Bunda sebagai orang yang diberi rezeki berlimpah oleh Allah. Rumah Bunda sewaktu aku kecil punya banyak mainan. Lalu saat aku SD, beliau pindah ke rumah baru yang punya ruang bermain dan kolam renang. Selain itu, Bunda juga punya beberapa rumah lagi di tempat lain. Bunda punya kontrakan, kosan, toko, dan berbagai properti lainnya. Singkat cerita, Bunda adalah tokoh "orang kaya" yang nyata dalam hidupku.

Selama ini, Bunda sering sekali memberi keluargaku hadiah: baju, sepatu, makanan, tas, sampai gawai bahkan kendaraan. Bunda sering mengajak aku dan sepupu-sepupuku jalan-jalan, mulai dari nonton bioskop, sampai ke Dufan bahkan luar negeri. Bunda membantu membiayai renovasi rumahku yang hampir runtuh gentingnya sampai nyaman dan aman ditinggali lagi. Bunda juga membantu ibuku agar bisa naik haji, bahkan membiayai keluargaku untuk melaksanakan ibadah umroh. Semua itu beliau berikan bukan atas permintaanku atau keluargaku, melainkan beliau sendirilah yang inisiatif memberi.

Keluargaku tidak miskin, tapi juga tidak kaya. Namun, aku bisa merasakan hidup yang lebih dari cukup karena hadiah-hadiah dari beliau.

Suatu hari saat aku berangkat kuliah, beliau pernah tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Lalu, aku pandangi diriku dari atas kepala sampai ujung kaki dan menyadari bahwa kacamataku, tasku, sepatuku, ponselku, laptopku, tempat pensilku, semuanya pemberian Bunda. Uang saku kiriman ayahku tiap bulan sudah cukup untuk aku hidup dan jajan, tapi Bunda selalu memberikan tambahan. Aku bisa beraktivitas dan beramal dengan tenang karena ayahku, ibuku, dan Bunda mendukungku secara finansial.

Sebagian teman-temanku pernah mendengar tentang Bunda. Tentu mereka merasa heran, kok anak dosen swasta biasa seperti aku bisa hampir tiap tahun jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri? Bawa oleh-oleh buat mereka pula. Sering juga pakai barang-barang bagus yang dia sendiri nggak tahu belinya di mana. Pada mereka, aku menjelaskan dengan kalimat singkat, "Aku punya tante yang kaya dan dermawan."

Pada suatu momen makan malam di tanah perantauan, aku dan adikku pernah mengobrol panjang tentang Bunda.
"Kalau aku jadi orang kaya, aku mau jadi orang kaya yang kayak Bunda," begitu obrolan kami.

Kami kagum akan kekayaan Bunda yang terasa manfaatnya sampai ke keluarga besar bahkan keluarga jauhnya. Kami kagum dengan beliau yang menghajikan dan mengumrohkan orang tuanya berkali-kali. Setelah orang tua, beliau menghajikan saudara-saudaranya, lalu sekarang ipar-iparnya. Aku rasa puluhan orang sudah beliau biayai umroh: saudara, ipar, keponakan, sampai asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan beliau. Itu baru haji dan umroh. Aku mana tahu perihal sedekah-sedekah beliau yang lain. Baju lebaran sekeluarga besar saja beliau yang berikan. Hewan-hewan kurban yang banyak itu juga. Belum kue-kue itu, makanan-makanan itu, uang-uang THR itu...

"Kebayang nggak sih amal jariyahnya?"

Ya pasti nggak kebayanglah! Buaanyak banget masya Allah! Pasti ngalir mulu tuh pahala kayak air terjun.

Yah, begitulah Bunda. Sosok "Utsman bin Affan" yang nyata dalam hidupku. Teladan yang sungguh dikagumi olehku, keluargaku, dan orang-orang di sekitarnya.

__________________________________

Hari ini, sudah sepekan lebih berlalu sejak Bunda pergi.

Beliau pergi untuk selamanya setelah hampir setahun ini berjuang melawan penyakit. Beliau dan keluarga beliau sudah berikhtiar semaksimal mungkin, tetapi Qodarullah, ternyata Allah Yang Maha Pengasih lebih sayang Bunda.

Usai sudah lelah beliau, usai sudah susah beliau.

Kini, saatnya beliau menikmati buah dari amal kebaikan beliau selama ini.

Ya Allah, ampunilah dia, sayangilah dia, maafkanlah kami dan maafkanlah dia.
Permudahlah timbangan amalnya, ya Allah. Berikanlah ia tempat yang mulia di dalam surga-Mu.
Berikanlah ia rumah yang lebih indah, pakaian yang lebih indah, serta hidangan yang lebih lezat dari yang pernah ia rasakan di dunia.
Kasihilah dia sebagaimana dia mengasihi kami. Sesungguhnya dia telah mempermudah kami dalam beramal kepada-Mu.
Janganlah Engkau siksa dia, ampunilah dia. Sayangilah dia. Sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang tidak menyia-nyiakan amal baik hamba-Nya.

Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah menghadirkan Bunda dalam hidup kami.

Ya Allah, izinkanlah kami berkumpul kembali bersama Bunda di surga-Mu kelak. Jadikanlah kami orang-orang yang sholeh yang selalu condong kepada-Mu.

Terima kasih ya Allah.
Terima kasih banyak, Bunda.
Kami sayang Bunda.

Senin, 13 September 2021

Catatan Akhir Kuliah

 Alhamdulillah 'alaa kulli hal...

Berakhir juga masa kuliahku yang panjang ini. Tujuh tahun, men. Sekolah dasar aja kalah panjang.

Adik bungsuku yang dulu masih TK, sekarang sudah di penghujung SD. Dosenku yang dulu muda, sekarang sudah bapak-bapak banget penampilannya, sudah terganti oleh dosen-dosen muda yang baru. Teman-teman seangkatan ada yang sudah S2, ada yang sudah menikah bahkan punya anak, ada yang asyik bekerja... beragam banget pokoknya.

Lalu ada aku yang masih ada di sini.

Waktu aku bimbingan, audiensi, sidang, yudisium... para dosen pun bertanya-tanya, "Fildzah? Baru tuntas sekarang? Kok bisa? Padahal dulu di kelas 'kan rajin??"

Teman-teman juga mungkin heran, tapi nggak mengungkapkan aja. Ya gimana, aku juga tidak menyangka. Hehehe. Wong semua kelihatan lancar-lancar aja, terlihat bisa lulus di semester 9. Ternyata berlanjut terus ke semester 10, 11, 12, 13, 14...

"Ini... kapan berakhirnya?"

Berasa gelap. Jalan di depan nggak kelihatan sama sekali. Aku jadi banyak diliputi rasa takut: takut melangkah, takut terdiam, takut ditinggalkan. 

Aku takut 'berusaha keras'.

Iya, itu yang terjadi. Melihat skripsiku sendiri, aku tahu ia akan menuntutku melakukan banyak hal. Ia akan membuatku 'menyiksa' diriku sendiri. Alhasil aku jadi menghindarinya. Begitu juga dengan utang job training yang ternyata merupakan penghambat utamaku, lebih dari skripsi. Aku matikan naluri untuk memenuhi tuntutan kuliahku. Aku matikan dia, supaya aku tidak hancur memikirkan dia dan tuntutan yang lain.

Sejak kapan ya tuntutan itu jadi terasa berat? Kuliah, organisasi, hobi, ibadah... Dulu semua mudah dijalani, mengalir saja bagai mengikuti arus. Tiba-tiba arus itu berhenti dan aku dituntut berenang sendiri, kebingungan harus pergi ke mana.

Ternyata, tuntutan itu mulai berat karena aku menopangnya sendirian.

Aku lupa, kalau aku boleh minta bantuan orang lain.

Aku lupa, kalau Allah juga bersedia membantuku ketika aku jujur meminta.

Pada akhirnya, terlambatnya kelulusanku ini adalah skenario Allah untuk meruntuhkan egoku. Aku diingatkan bahwa aku bukan siapa-siapa tanpa hal-hal yang Dia ciptakan untuk membantuku.

"I need help, but I don't know what help I need."

Setelah aku mengatakan itu ke orang tua, semestaku baru mulai bergerak. Mulai ada arus yang bisa aku ikuti lagi.

Aku belajar jadi orang yang menerima bantuan, menjadi si 'tangan di bawah'. Aku belajar bercerita ke orang lain kalau aku punya masalah. I cracked my shells open. I crushed one layer of my thick wall. Aku membiarkan diriku terlihat 'jelek' di mata orang lain. It was sooo hard to do that, tapi itulah yang perlu terjadi.

Naluriku untuk memenuhi tuntutan kuliah mulai bangkit kembali. Gut feeling, ghiroh, dia bangkit lagi. "Aku harus melakukan ini!!" rasanya senaaang sekali waktu aku mulai merasakan itu lagi, merasakan menerima tekanan untuk mencapai sesuatu. Melawan rasa takut, menahan lapar, sakit, dan kantuk demi mencapai sesuatu. 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَىْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوٰلِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ  ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِينَ

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,"

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 155)

Ternyata bisa berjuang itu nikmat Allah yang sangat besar. Semangat juang itu ternyata punya Allah, bukan punya manusia. Allah punya kuasa penuh untuk memberi atau mengambil semangat juang itu.

Aren't these 7 years a very beautiful lesson?

Mungkin ini aneh, tapi aku senaaaang sekali dikasih Allah kesempatan kuliah 7 tahun.

Aku bisa kenal banyak orang, bisa dapat berbagai pengalaman, bisa mengeksplorasi sisi diriku yang aku nggak tahu sebelumnya, bisa merasakan berbagai hal...

Karena 7 tahun juga, aku bisa dengan mantap melangkah maju tanpa menoleh lagi ke belakang. Teman-temanku sudah melangkah pergi, tempat penuh kenangan juga perlahan akan berubah. Biarlah mereka, tempat itu, momen itu, hidup hanya di pikiranku. I will cherish them well.

Kema Unpad, Fakultas Ilmu Komunikasi, Prodi Manajemen Komunikasi, Syaamil Unpad, Biro Kerohanian Islam, Aikido Unpad, Kelompok Grafis Fikom, Kiryokukai Bandung, Ngasta Kaaria, Akeno MS, Pakoban, AKSI, Stage Quality, Sobatmu.com... 

Keluargaku yang sudah bersabar menunggu...

Terima kasih banyak.

I lived my college life to the fullest, right?