5.
Should I
Tell You?
Rasanya
jadi aneh berangkat sendirian. Sama sekali tidak ada yang bisa diajak bicara.
Tidak ada gadis berambut cokelat keemasan yang berjalan dengan cuek beberapa
langkah di depannya.
Kemarin
malam ibu Michisa mengirim SMS pada Henji bahwa besok pagi Michisa akan
berangkat sekolah dengan rekan kerjanya. Sepertinya kemarin ada banyak
pekerjaan yang ia terima, jadi ia terpaksa menginap di lokasi kerja.
Hmph,
padahal Michisa cuma model. Tapi dia cukup populer. Mungkin karena ia terlihat
berbeda dibanding yang lain. Menurut orang-orang, dia paduan sempurna Inggris
dan Jepang, alias Barat dan Timur. Rambut cokelat keemasannya panjang
bergelombang alami di ujung. Dan menurut kabar yang Henji dengar, mata Michisa
bukan hitam, melainkan hijau gelap. Namun Henji tak pernah benar-benar
memperhatikan mata Michisa untuk sekedar memastikan itu.
Tapi
sepertinya daya tarik Michisa hanya penampilan luarnya saja, ya. Dia sering
bersikap kasar, belakangan malah jadi agak dingin.
Henji menggelengkan kepalanya cepat. Tidak,
Henji, tidak boleh. Jangan berprasangka buruk pada orang lain. Mungkin Michisa
hanya belum menunjukkan kelebihan lain selain penampilannya.
"Hei,
kamu lihat video klip Summer Alone
kemarin?"
"Aah,
preview-nya 'kan? Lihat dong! Keren
banget!"
"Kyaa~!!!
Tasuku-kun kereeen!!! Lagunya bagus banget! Suaranya juga!"
"Kalau aku datang mendekat~ apa kau akan
marah padaku~?"
"Kyaaa~!!
Jangan menirunyaaa! Aku jadi maluuu~!"
"Hehe~
Dari suaranya, sepertinya dia tampan yaa~"
"Iya
iya. Tapi... Bagaimana kalau seandainya dia... Yah, tak sesuai bayangan
kita?"
"Bisa
juga sih. Makanya dia tidak mau tampil di depan publik. Kalau memang begitu
sih, menurutku biar saja dia sembunyi terus. Lebih baik kita berkhayal tak
pasti seperti ini. Iya 'kan?"
"Iya
iya aku setuju~"
Gadis-gadis
yang merumpi ria itu berteriak-teriak dan tertawa-tawa karena senang. Henji
hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka dari bangkunya yang berada di
barisan paling kiri, dekat jendela. Ternyata para siswi di kelasnya banyak yang
menyukai Tasuku. Kalau sampai mereka tahu Tasuku sebenarnya adalah orang
seperti Henji, mungkin mereka akan... Shock,
mungkin. Ah, sudahlah. Henji 'kan memang tak berniat membuka identitasnya.
Bel
pulang sekolah berbunyi. Usai mengganti sepatu dalamnya, Henji bergegas menuju
ke pohon sakura. Ternyata Michisa sudah ada di sana lebih dahulu.
"Ah,
tumben kau cepat sekali."
"Tumben
kau lama sekali."
Henji
agak mengernyit. Michisa... Walaupun tenang, ia dingin sekali hari ini.
"Ayo
jalan."
Michisa
berjalan duluan. Henji mengikutinya di belakang. Saat itu Michisa tak bicara
apapun. Henji juga tidak berani bicara duluan. Waktu terasa berlalu cukup lama
sampai akhirnya mereka tiba di depan apartemen Michisa, Apartemen Mizusawa.
"Aku
mau tanya sesuatu," ujar Michisa sambil melihat sekeliling, memastikan
tidak ada yang mendengar. "Tasunaga Henji, kau ini Tasu-"
"AAW!"
"Hii-kun!!"
Henji
kaget. Barusan Michisa mau menanyakan Tasuku 'kan? Hanya saja pertanyaannya
terpotong jeritan anak kecil yang ikut menambah sensasi kagetnya. Sepertinya
berasal dari taman samping apartemen. Michisa sendiri seolah melupakan apa yang
ingin dia tanyakan tadi. Suara barusan menyita seluruh perhatiannya. Tanpa
basa-basi lagi, Michisa langsung berlari secepat mungkin ke arah taman itu,
meninggalkan Henji yang kebingungan. Ia sempat tersandung namun berhasil
menjaga keseimbangannya sehingga tidak jatuh, dan langsung lanjut berlari.
Melihat Michisa seperti itu, Henji menyusulnya.
Ketika
mereka sampai di taman itu, Henji melihat dua orang anak usia SD, sepertinya
saudara kembar. Yang satu laki-laki dan yang satunya lagi perempuan. Michisa
berlari menghampiri mereka berdua.
"Kak
Micchi!" yang perempuan merespon kedatangan Michisa.
"Nijika-chan,
apa yang terjadi?" tanya Michisa terengah-engah.
"Hii-kun
mencoba menolong kucing itu, tapi dia jatuh," jawab gadis bernama Nijika
itu sambil menunjuk ke atas pohon.
"Niji
terlalu cemas, aku nggak apa-apa kok," ucap anak laki-laki itu.
Michisa
tersenyum, lalu berkata pada anak laki-laki itu, "Hihara-kun memang hebat,
ya, bisa menahan sakit. Tapi sebenarnya ada yang terasa sakit 'kan? Lihat,
kakimu luka."
"Cuma
berdarah sedikit."
"Jangan begitu, Hii-kun! Kalau memang sakit, bilang sakit!" Seru Nijika sambil menyentuh kaki Hihara.
"Jangan begitu, Hii-kun! Kalau memang sakit, bilang sakit!" Seru Nijika sambil menyentuh kaki Hihara.
"Aduh!"
"Nah,
iya 'kan? Sakit?"
"Iya...
Sedikit..."
Michisa
tertawa kecil, "sudah, sudah, akan kubawa kamu ke apartemen kalian. Tapi,
sebelumnya kita harus menolong kucing itu dulu, ya?"
"Kucing
itu kami namai Shii-chan, Kak," kata Nijika.
"Ah,
aku mengerti! Karena bulunya putih, ya? Kependekan dari Shiro*?" Tanya Michisa.
"Benar!
Sudah kuduga kalau Kak Micchi pasti mengerti! Tadi nenek nggak paham."
"Hahaha...
Akan kucoba menurunkannya, ya."
Michisa
mencoba memanjat pohon itu. Tapi sama seperti Hihara, ia terpeleset dan jatuh,
"Kyaaa!"
"Kak
Micchi!"
Henji
yang dari tadi hanya mengawasi mereka cepat merespon. Ia menahan Michisa
sehingga tidak jatuh ke tanah.
"Tasunaga!"
"Biar
aku saja yang menurunkannya, kau dengan mereka saja," ucap Henji. Ia
memanjat pohon itu dengan hati-hati namun gesit, lalu menurunkan kucing bernama
Shii-chan itu.
"Shii-chan!
Syukurlah! Terima kasih, Kak!" Ucap Nijika senang.
Henji
hanya tersenyum. Melihat Nijika, ia jadi teringat Harumi, adik bungsunya yang
baru saja berusia 7 tahun. Anak-anak ini sepertinya lebih tua dari Harumi.
"Nah,
Hihara-kun, ayo naik ke sini. Akan kubawa kau pulang supaya bisa diobati,"
ujar Michisa pada Hihara sambil berlutut, menunggu Hihara naik ke punggungnya.
"Aku
jalan saja, Kak Micchi."
"Benar
kau bisa?"
"Sudahlah,
Hii-kun, naik saja ke punggung Kak Micchi!" celetuk Nijika.
Hihara
menyerah. Ia naik ke punggung Michisa yang lalu menggendongnya masuk ke
apartemen.
"Hanazawa-san,
biar aku saja," Henji menawarkan bantuan.
"Tidak,
terima kasih. Biar aku yang menolong Hihara-kun."
Michisa
dan Hihara berjalan duluan. Nijika menyusul mereka sambil menggendong
Shii-chan. Henji diam di tempat, masih bingung apakah ia ikut naik ke atas atau
tidak. Biasanya ia cuma mengantar Michisa sampai sini. Setelah mengucapkan
selamat tinggal, ia pulang. Tapi kali ini, perlukah ia mendatangi gadis itu
hanya untuk pamit? Mungkin dia tidak peduli soal itu. Ya sudah, langsung pulang
saja... Ah, tapi tidak sopan...
Nijika
kembali menghampiri Henji, "Kak, kata Kak Micchi Kakak ikut saja ke
atas."
Akhirnya
ada solusi. "Ah, baiklah. Terima kasih, ya."
Mereka
menaiki tangga bersama-sama. Michisa sudah agak jauh di depan mereka.
"Nama
Kakak siapa? Kakak teman Kak Micchi?"
Henji
tersenyum, "iya benar, namaku Tasunaga Henji."
"Ooh,
Kakak tinggi sekali, ya."
Henji
hanya tertawa kecil.
"Sepertinya
Kakak dekat dengan Kak Micchi, ya?"
"Nggak
juga kok. Kelihatannya saja begitu. Tadi namamu Nijika, ya?"
"Ya,
namaku Miyazawa Nijika, 8 tahun! Yang tadi adik kembarku, Miyazawa Hihara.
Senang bisa berkenalan dengan Kakak."
"Aku
juga senang bisa berkenalan dengan kalian. Kalian sangat dekat dengan
Hanazawa-san, ya?"
"Ya!
Kami pindah ke sini dua tahun yang lalu. Sejak dulu Kak Micchi baik sekali.
Kami selalu main sama-sama. Kalau ada festival juga kami sama-sama ke sana.
Sejak Kak Micchi jadi model, dia jadi lebih sibuk. Tapi dia selalu menyempatkan
diri main dengan kami. Karena itu kami sangat sayang pada Kak Micchi!"
Henji
hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Nijika. Ternyata Michisa sangat baik
pada anak-anak. Mungkin karena dia tidak punya adik.
Henji
merasa bersalah. Ternyata Michisa tidak sedingin, seegois atau sekasar yang ia
kira. Dia punya sikap hangat pada anak-anak. Dia memang hanya belum memperlihatkan
sisi baik dirinya.
"Aku
ingin jadi seperti Kak Micchi kalau sudah besar," tambah Nijika. Wajahnya
merona senang. "Kak Micchi baik, pintar, kuat, juga cantik."
"Aku ingin seperti Michisa! Dia baik, pintar,
dan juga cantik!"
Benar
juga, Henji baru ingat. Harumi juga pernah bilang begitu. Michisa ternyata
menginspirasi banyak orang. Harusnya dari awal Henji tidak perlu meragukan
kebaikan Michisa dengan berpikir dia kasar atau semacamnya. Walaupun saat ini
Michisa memang dingin, bukankah dulu saat mereka pertama bicara Michisa
bersikap baik?
Eh,
tunggu. Jadi sebenarnya sifat aslinya yang mana?
"Ke
sini, Kak!" Nijika menuntun Henji ke depan apartemennya. Pintu apartemen
itu terbuka lebar, sehingga bisa terlihat dari luar kalau Michisa dan Nona
Miyazawa sedang mengobati luka Hihara.
"Aku
kembali," ucap Nijika sambil masuk ke apartemennya. "Kak Henji juga
masuk saja!"
"Tidak
apa-apa, terima kasih. Aku di sini saja," jawab Henji sopan sambil tetap
berdiri di dekat pintu.
Hihara
selesai diobati. Luka di kakinya cukup panjang, tapi tidak parah. Sepertinya ia
juga keseleo. Walaupun begitu, dia sama sekali tidak menangis. Kalau
diperhatikan baik-baik, Hihara memang tidak terlalu ekspresif, tapi dia aktif,
banyak bergerak. Sedangkan Nijika kebalikannya. Dia cenderung cerewet namun
pasif.
"Terima
kasih, ya, Michisa-chan. Kau selalu menolong mereka," ujar Nona Miyazawa.
"Tidak
masalah. Sekarang saya permisi dulu," jawab Michisa dengan sopan. Ia
berjalan menuju pintu keluar, tempat Henji berada.
"Eh?
Sekarang kau punya pacar, ya?" Tanya Nona Miyazawa setelah ia menyadari
kehadiran Henji.
"Ah,
tidak kok, dia hanya teman satu sekolahku," jawab Michisa sambil
tersenyum.
"Wah,
maaf dugaanku salah," Nona Miyazawa tertawa malu. "Salam kenal, saya
Miyazawa Natsumi, ibu dari Nijika dan Hihara."
"Senang
bertemu dengan Anda," ucap Henji sambil membungkuk hormat. Dia tak
mempedulikan kesalahpahaman tadi. Sejak ia diminta melindungi Michisa, Henji
sudah menyiapkan mental akan apa yang dipikirkan orang-orang tentangnya.
Maksudnya sih, bersiap-siap akan yang terburuk.
"Kami
permisi," pamit Michisa. "Tasunaga, ikut aku sebentar."
Henji
dengan polosnya menurut. Ia mengikuti Michisa masuk ke apartemennya. Michisa
meminta Henji duduk di ruang tamu sementara ia menyiapkan minuman.
Henji
melihat sekeliling. Ini kedua kalinya ia datang ke sini. Tapi rasanya kali ini
suasananya lebih sepi.
"Ibumu?"
"Tidak
ada, kerja. Tenang saja, pasti tidak ada yang mendengar kita."
Tenang saja katanya? Untuk apa?
Michisa
duduk setelah memberi Henji minuman. Henji berterima kasih padanya. Kebetulan
ia memang haus sehingga ia langsung meminumnya.
"Langsung
saja deh. Kau itu Tasuku 'kan?"
Serangan mendadak!
Henji
hampir tersedak, "apa? Tidak mungkin 'kan??"
Michisa
menatap Henji tajam. Ia menelitinya dari atas sampai bawah, lalu berkata,
"Mungkin saja."
Henji
diam menelan ludah.
"Aku
sudah pernah bilang padamu, kadang aku memergokimu sedang bernyanyi di pohon
sakura itu. Awalnya kukira kau hanya sekedar penggemar yang bisa meniru
suaranya. Tapi, kemarin sore aku mendengar kau menyanyikan Summer Alone..."
Ah,
berakhir sudah.
"...
Single baru Tasuku yang
diperdengarkan secara perdana pada publik malam harinya."
Ternyata
Michisa menonton acara semalam. Kali ini Henji tertangkap basah. Harus
bagaimana sekarang?
"Kalau
kau bukan Tasuku, tidak mungkin kau menyanyikan lagu yang bahkan belum dirilis
olehnya 'kan? Apa aku salah?"
Mengaku
atau tidak? Kalau mengaku, apa Michisa bisa dipercaya? Tapi kalaupun ia
menyangkal, apa Michisa akan percaya?
Henji
hanya diam tertunduk, tak berani melihat Michisa. Apapun tanggapannya,
sepertinya Michisa tidak bisa ditipu lagi. Bukti sudah jelas.
"Aku
tak akan memberitahu siapapun," ujar Michisa. "Aku janji."
Henji
mendongak perlahan dengan tatapan pasrah. Bisa saja tiba-tiba besok publik
heboh karena identitas asli Tasuku bocor. Lalu penggemarnya akan
meninggalkannya karena Henji tak seperti Tasuku yang mereka bayangkan selama
ini. Tidak tampan, tidak keren, tidak sesuailah pokoknya. Mereka lebih suka
Tasuku tetap cool dan misterius atau
sesuai imajinasi mereka masing-masing, selamanya. Ya, seperti yang dikatakan
teman sekelas Henji tadi.
"Kenapa
kau jadi shadow singer?" Tanya
Michisa.
Henji
menatap gelas yang ada di meja sambil menjawab, "aku... Aku tidak bisa
tampil di depan orang banyak."
"Oh,
begitu," Michisa bersedekap. "Lagu-lagumu bagus, teruslah
berkarya."
"Terima
kasih," Henji memaksakan senyuman tipis. "Itu saja 'kan yang ingin
kau bicarakan? Kalau begitu, aku permisi."
Henji
berdiri, lalu berjalan keluar. Michisa mengikutinya. Tepat sebelum ia membuka
pintu apartemen Michisa, langkahnya terhenti.
"Apa
aku bisa mempercayaimu soal ini?" tanya Henji tanpa menoleh ke arah
Michisa.
5 detik, tak ada jawaban. 10 detik, masih belum ada jawaban. Henji akhirnya menoleh ke arah Michisa. Gadis itu ternyata menatapnya dengan ekspresi datar.
5 detik, tak ada jawaban. 10 detik, masih belum ada jawaban. Henji akhirnya menoleh ke arah Michisa. Gadis itu ternyata menatapnya dengan ekspresi datar.
"Kau
mau jaminan?"
Henji
terdiam sejenak, "jaminan apa?"
"Akan
kuberitahu identitas asliku padamu agar keadaan kita sama."
Michisa
berjalan mendekati Henji, lalu berbisik padanya, "Hanazawa Michisa bukan
nama asliku."
Henji
terdiam mendengar kata-kata Michisa. Perasaannya tidak enak.
"Nama
asliku Michelle Steward. Setelah ayahku yang sakit meninggal, nenek mengusir
ibuku kembali ke Jepang. Sepertinya beliau juga memutuskan hubungan keluarga
dengan kami, padahal kami tak salah apa-apa."
Henji
masih belum bisa berkata-kata. Ia kembali menoleh ke arah pintu. Mendadak ia
diberitahu masalah pribadi keluarga yang seperti itu. Rasanya berat.
"Percayalah
padaku," tambah Michisa. "Kalau kau membocorkan identitasku, akan
kubocorkan identitasmu. Sebaliknya, kalau aku membocorkan identitasmu, silakan
bocorkan identitasku. Bagaimana?"
"Baiklah."
Henji
membuka pintu. Hal terakhir yang dilihatnya sebelum pergi adalah senyuman tipis
gadis itu.
_______________________________________________________________
shiro : warna putih.
- Bersambung ke Chapter 6 -
Catatan Penulis :
Yoo minna-san ogenki desu ka??? Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
Jadi di chapter ini akhirnya Michisa mendengar sendiri dari Henji kalau ia adalah Tasuku. Dan ternyata Michisa juga terus membocorkan identitasnya!
Saya kehabisan kata-kata! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
FildzahPro