Minggu, 29 September 2013

Honestly Chapter 5


5.        Should I Tell You?

Rasanya jadi aneh berangkat sendirian. Sama sekali tidak ada yang bisa diajak bicara. Tidak ada gadis berambut cokelat keemasan yang berjalan dengan cuek beberapa langkah di depannya.
Kemarin malam ibu Michisa mengirim SMS pada Henji bahwa besok pagi Michisa akan berangkat sekolah dengan rekan kerjanya. Sepertinya kemarin ada banyak pekerjaan yang ia terima, jadi ia terpaksa menginap di lokasi kerja.
Hmph, padahal Michisa cuma model. Tapi dia cukup populer. Mungkin karena ia terlihat berbeda dibanding yang lain. Menurut orang-orang, dia paduan sempurna Inggris dan Jepang, alias Barat dan Timur. Rambut cokelat keemasannya panjang bergelombang alami di ujung. Dan menurut kabar yang Henji dengar, mata Michisa bukan hitam, melainkan hijau gelap. Namun Henji tak pernah benar-benar memperhatikan mata Michisa untuk sekedar memastikan itu.
Tapi sepertinya daya tarik Michisa hanya penampilan luarnya saja, ya. Dia sering bersikap kasar, belakangan malah jadi agak dingin.
Henji menggelengkan kepalanya cepat. Tidak, Henji, tidak boleh. Jangan berprasangka buruk pada orang lain. Mungkin Michisa hanya belum menunjukkan kelebihan lain selain penampilannya.


"Hei, kamu lihat video klip Summer Alone kemarin?"
"Aah, preview-nya 'kan? Lihat dong! Keren banget!"
"Kyaa~!!! Tasuku-kun kereeen!!! Lagunya bagus banget! Suaranya juga!"
"Kalau aku datang mendekat~ apa kau akan marah padaku~?"
"Kyaaa~!! Jangan menirunyaaa! Aku jadi maluuu~!"
"Hehe~ Dari suaranya, sepertinya dia tampan yaa~"
"Iya iya. Tapi... Bagaimana kalau seandainya dia... Yah, tak sesuai bayangan kita?"
"Bisa juga sih. Makanya dia tidak mau tampil di depan publik. Kalau memang begitu sih, menurutku biar saja dia sembunyi terus. Lebih baik kita berkhayal tak pasti seperti ini. Iya 'kan?"
"Iya iya aku setuju~"
Gadis-gadis yang merumpi ria itu berteriak-teriak dan tertawa-tawa karena senang. Henji hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka dari bangkunya yang berada di barisan paling kiri, dekat jendela. Ternyata para siswi di kelasnya banyak yang menyukai Tasuku. Kalau sampai mereka tahu Tasuku sebenarnya adalah orang seperti Henji, mungkin mereka akan... Shock, mungkin. Ah, sudahlah. Henji 'kan memang tak berniat membuka identitasnya.

Bel pulang sekolah berbunyi. Usai mengganti sepatu dalamnya, Henji bergegas menuju ke pohon sakura. Ternyata Michisa sudah ada di sana lebih dahulu.
"Ah, tumben kau cepat sekali."
"Tumben kau lama sekali."
Henji agak mengernyit. Michisa... Walaupun tenang, ia dingin sekali hari ini.
"Ayo jalan."
Michisa berjalan duluan. Henji mengikutinya di belakang. Saat itu Michisa tak bicara apapun. Henji juga tidak berani bicara duluan. Waktu terasa berlalu cukup lama sampai akhirnya mereka tiba di depan apartemen Michisa, Apartemen Mizusawa.
"Aku mau tanya sesuatu," ujar Michisa sambil melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. "Tasunaga Henji, kau ini Tasu-"
"AAW!"
"Hii-kun!!"
Henji kaget. Barusan Michisa mau menanyakan Tasuku 'kan? Hanya saja pertanyaannya terpotong jeritan anak kecil yang ikut menambah sensasi kagetnya. Sepertinya berasal dari taman samping apartemen. Michisa sendiri seolah melupakan apa yang ingin dia tanyakan tadi. Suara barusan menyita seluruh perhatiannya. Tanpa basa-basi lagi, Michisa langsung berlari secepat mungkin ke arah taman itu, meninggalkan Henji yang kebingungan. Ia sempat tersandung namun berhasil menjaga keseimbangannya sehingga tidak jatuh, dan langsung lanjut berlari. Melihat Michisa seperti itu, Henji menyusulnya.
Ketika mereka sampai di taman itu, Henji melihat dua orang anak usia SD, sepertinya saudara kembar. Yang satu laki-laki dan yang satunya lagi perempuan. Michisa berlari menghampiri mereka berdua.
"Kak Micchi!" yang perempuan merespon kedatangan Michisa.
"Nijika-chan, apa yang terjadi?" tanya Michisa terengah-engah.
"Hii-kun mencoba menolong kucing itu, tapi dia jatuh," jawab gadis bernama Nijika itu sambil menunjuk ke atas pohon.
"Niji terlalu cemas, aku nggak apa-apa kok," ucap anak laki-laki itu.
Michisa tersenyum, lalu berkata pada anak laki-laki itu, "Hihara-kun memang hebat, ya, bisa menahan sakit. Tapi sebenarnya ada yang terasa sakit 'kan? Lihat, kakimu luka."
"Cuma berdarah sedikit."
"Jangan begitu, Hii-kun! Kalau memang sakit, bilang sakit!" Seru Nijika sambil menyentuh kaki Hihara.
"Aduh!"
"Nah, iya 'kan? Sakit?"
"Iya... Sedikit..."
Michisa tertawa kecil, "sudah, sudah, akan kubawa kamu ke apartemen kalian. Tapi, sebelumnya kita harus menolong kucing itu dulu, ya?"
"Kucing itu kami namai Shii-chan, Kak," kata Nijika.
"Ah, aku mengerti! Karena bulunya putih, ya? Kependekan dari Shiro*?" Tanya Michisa.
"Benar! Sudah kuduga kalau Kak Micchi pasti mengerti! Tadi nenek nggak paham."
"Hahaha... Akan kucoba menurunkannya, ya."
Michisa mencoba memanjat pohon itu. Tapi sama seperti Hihara, ia terpeleset dan jatuh, "Kyaaa!"
"Kak Micchi!"
Henji yang dari tadi hanya mengawasi mereka cepat merespon. Ia menahan Michisa sehingga tidak jatuh ke tanah.
"Tasunaga!"
"Biar aku saja yang menurunkannya, kau dengan mereka saja," ucap Henji. Ia memanjat pohon itu dengan hati-hati namun gesit, lalu menurunkan kucing bernama Shii-chan itu.
"Shii-chan! Syukurlah! Terima kasih, Kak!" Ucap Nijika senang.
Henji hanya tersenyum. Melihat Nijika, ia jadi teringat Harumi, adik bungsunya yang baru saja berusia 7 tahun. Anak-anak ini sepertinya lebih tua dari Harumi.
"Nah, Hihara-kun, ayo naik ke sini. Akan kubawa kau pulang supaya bisa diobati," ujar Michisa pada Hihara sambil berlutut, menunggu Hihara naik ke punggungnya.
"Aku jalan saja, Kak Micchi."
"Benar kau bisa?"
"Sudahlah, Hii-kun, naik saja ke punggung Kak Micchi!" celetuk Nijika.
Hihara menyerah. Ia naik ke punggung Michisa yang lalu menggendongnya masuk ke apartemen.
"Hanazawa-san, biar aku saja," Henji menawarkan bantuan.
"Tidak, terima kasih. Biar aku yang menolong Hihara-kun."
Michisa dan Hihara berjalan duluan. Nijika menyusul mereka sambil menggendong Shii-chan. Henji diam di tempat, masih bingung apakah ia ikut naik ke atas atau tidak. Biasanya ia cuma mengantar Michisa sampai sini. Setelah mengucapkan selamat tinggal, ia pulang. Tapi kali ini, perlukah ia mendatangi gadis itu hanya untuk pamit? Mungkin dia tidak peduli soal itu. Ya sudah, langsung pulang saja... Ah, tapi tidak sopan...
Nijika kembali menghampiri Henji, "Kak, kata Kak Micchi Kakak ikut saja ke atas."
Akhirnya ada solusi. "Ah, baiklah. Terima kasih, ya."
Mereka menaiki tangga bersama-sama. Michisa sudah agak jauh di depan mereka.
"Nama Kakak siapa? Kakak teman Kak Micchi?"
Henji tersenyum, "iya benar, namaku Tasunaga Henji."
"Ooh, Kakak tinggi sekali, ya."
Henji hanya tertawa kecil.
"Sepertinya Kakak dekat dengan Kak Micchi, ya?"
"Nggak juga kok. Kelihatannya saja begitu. Tadi namamu Nijika, ya?"
"Ya, namaku Miyazawa Nijika, 8 tahun! Yang tadi adik kembarku, Miyazawa Hihara. Senang bisa berkenalan dengan Kakak."
"Aku juga senang bisa berkenalan dengan kalian. Kalian sangat dekat dengan Hanazawa-san, ya?"
"Ya! Kami pindah ke sini dua tahun yang lalu. Sejak dulu Kak Micchi baik sekali. Kami selalu main sama-sama. Kalau ada festival juga kami sama-sama ke sana. Sejak Kak Micchi jadi model, dia jadi lebih sibuk. Tapi dia selalu menyempatkan diri main dengan kami. Karena itu kami sangat sayang pada Kak Micchi!"
Henji hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Nijika. Ternyata Michisa sangat baik pada anak-anak. Mungkin karena dia tidak punya adik.
Henji merasa bersalah. Ternyata Michisa tidak sedingin, seegois atau sekasar yang ia kira. Dia punya sikap hangat pada anak-anak. Dia memang hanya belum memperlihatkan sisi baik dirinya.
"Aku ingin jadi seperti Kak Micchi kalau sudah besar," tambah Nijika. Wajahnya merona senang. "Kak Micchi baik, pintar, kuat, juga cantik."
"Aku ingin seperti Michisa! Dia baik, pintar, dan juga cantik!"
Benar juga, Henji baru ingat. Harumi juga pernah bilang begitu. Michisa ternyata menginspirasi banyak orang. Harusnya dari awal Henji tidak perlu meragukan kebaikan Michisa dengan berpikir dia kasar atau semacamnya. Walaupun saat ini Michisa memang dingin, bukankah dulu saat mereka pertama bicara Michisa bersikap baik?
Eh, tunggu. Jadi sebenarnya sifat aslinya yang mana?
"Ke sini, Kak!" Nijika menuntun Henji ke depan apartemennya. Pintu apartemen itu terbuka lebar, sehingga bisa terlihat dari luar kalau Michisa dan Nona Miyazawa sedang mengobati luka Hihara.
"Aku kembali," ucap Nijika sambil masuk ke apartemennya. "Kak Henji juga masuk saja!"
"Tidak apa-apa, terima kasih. Aku di sini saja," jawab Henji sopan sambil tetap berdiri di dekat pintu.
Hihara selesai diobati. Luka di kakinya cukup panjang, tapi tidak parah. Sepertinya ia juga keseleo. Walaupun begitu, dia sama sekali tidak menangis. Kalau diperhatikan baik-baik, Hihara memang tidak terlalu ekspresif, tapi dia aktif, banyak bergerak. Sedangkan Nijika kebalikannya. Dia cenderung cerewet namun pasif.
"Terima kasih, ya, Michisa-chan. Kau selalu menolong mereka," ujar Nona Miyazawa.
"Tidak masalah. Sekarang saya permisi dulu," jawab Michisa dengan sopan. Ia berjalan menuju pintu keluar, tempat Henji berada.
"Eh? Sekarang kau punya pacar, ya?" Tanya Nona Miyazawa setelah ia menyadari kehadiran Henji.
"Ah, tidak kok, dia hanya teman satu sekolahku," jawab Michisa sambil tersenyum.
"Wah, maaf dugaanku salah," Nona Miyazawa tertawa malu. "Salam kenal, saya Miyazawa Natsumi, ibu dari Nijika dan Hihara."
"Senang bertemu dengan Anda," ucap Henji sambil membungkuk hormat. Dia tak mempedulikan kesalahpahaman tadi. Sejak ia diminta melindungi Michisa, Henji sudah menyiapkan mental akan apa yang dipikirkan orang-orang tentangnya. Maksudnya sih, bersiap-siap akan yang terburuk.
"Kami permisi," pamit Michisa. "Tasunaga, ikut aku sebentar."
Henji dengan polosnya menurut. Ia mengikuti Michisa masuk ke apartemennya. Michisa meminta Henji duduk di ruang tamu sementara ia menyiapkan minuman.
Henji melihat sekeliling. Ini kedua kalinya ia datang ke sini. Tapi rasanya kali ini suasananya lebih sepi.
"Ibumu?"
"Tidak ada, kerja. Tenang saja, pasti tidak ada yang mendengar kita."
Tenang saja katanya? Untuk apa?
Michisa duduk setelah memberi Henji minuman. Henji berterima kasih padanya. Kebetulan ia memang haus sehingga ia langsung meminumnya.
"Langsung saja deh. Kau itu Tasuku 'kan?"
Serangan mendadak!
Henji hampir tersedak, "apa? Tidak mungkin 'kan??"
Michisa menatap Henji tajam. Ia menelitinya dari atas sampai bawah, lalu berkata, "Mungkin saja."
Henji diam menelan ludah.
"Aku sudah pernah bilang padamu, kadang aku memergokimu sedang bernyanyi di pohon sakura itu. Awalnya kukira kau hanya sekedar penggemar yang bisa meniru suaranya. Tapi, kemarin sore aku mendengar kau menyanyikan Summer Alone..."
Ah, berakhir sudah.
"... Single baru Tasuku yang diperdengarkan secara perdana pada publik malam harinya."
Ternyata Michisa menonton acara semalam. Kali ini Henji tertangkap basah. Harus bagaimana sekarang?
"Kalau kau bukan Tasuku, tidak mungkin kau menyanyikan lagu yang bahkan belum dirilis olehnya 'kan? Apa aku salah?"
Mengaku atau tidak? Kalau mengaku, apa Michisa bisa dipercaya? Tapi kalaupun ia menyangkal, apa Michisa akan percaya?
Henji hanya diam tertunduk, tak berani melihat Michisa. Apapun tanggapannya, sepertinya Michisa tidak bisa ditipu lagi. Bukti sudah jelas.
"Aku tak akan memberitahu siapapun," ujar Michisa. "Aku janji."
Henji mendongak perlahan dengan tatapan pasrah. Bisa saja tiba-tiba besok publik heboh karena identitas asli Tasuku bocor. Lalu penggemarnya akan meninggalkannya karena Henji tak seperti Tasuku yang mereka bayangkan selama ini. Tidak tampan, tidak keren, tidak sesuailah pokoknya. Mereka lebih suka Tasuku tetap cool dan misterius atau sesuai imajinasi mereka masing-masing, selamanya. Ya, seperti yang dikatakan teman sekelas Henji tadi.
"Kenapa kau jadi shadow singer?" Tanya Michisa.
Henji menatap gelas yang ada di meja sambil menjawab, "aku... Aku tidak bisa tampil di depan orang banyak."
"Oh, begitu," Michisa bersedekap. "Lagu-lagumu bagus, teruslah berkarya."
"Terima kasih," Henji memaksakan senyuman tipis. "Itu saja 'kan yang ingin kau bicarakan? Kalau begitu, aku permisi."
Henji berdiri, lalu berjalan keluar. Michisa mengikutinya. Tepat sebelum ia membuka pintu apartemen Michisa, langkahnya terhenti.
"Apa aku bisa mempercayaimu soal ini?" tanya Henji tanpa menoleh ke arah Michisa.
5 detik, tak ada jawaban. 10 detik, masih belum ada jawaban. Henji akhirnya menoleh ke arah Michisa. Gadis itu ternyata menatapnya dengan ekspresi datar.
"Kau mau jaminan?"
Henji terdiam sejenak, "jaminan apa?"
"Akan kuberitahu identitas asliku padamu agar keadaan kita sama."
Michisa berjalan mendekati Henji, lalu berbisik padanya, "Hanazawa Michisa bukan nama asliku."
Henji terdiam mendengar kata-kata Michisa. Perasaannya tidak enak.
"Nama asliku Michelle Steward. Setelah ayahku yang sakit meninggal, nenek mengusir ibuku kembali ke Jepang. Sepertinya beliau juga memutuskan hubungan keluarga dengan kami, padahal kami tak salah apa-apa."
Henji masih belum bisa berkata-kata. Ia kembali menoleh ke arah pintu. Mendadak ia diberitahu masalah pribadi keluarga yang seperti itu. Rasanya berat.
"Percayalah padaku," tambah Michisa. "Kalau kau membocorkan identitasku, akan kubocorkan identitasmu. Sebaliknya, kalau aku membocorkan identitasmu, silakan bocorkan identitasku. Bagaimana?"
"Baiklah."
Henji membuka pintu. Hal terakhir yang dilihatnya sebelum pergi adalah senyuman tipis gadis itu.

_______________________________________________________________
  shiro : warna putih.

- Bersambung ke Chapter 6 - 

Catatan Penulis :

Yoo minna-san ogenki desu ka??? Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
 Jadi di chapter ini akhirnya Michisa mendengar sendiri dari Henji kalau ia adalah Tasuku. Dan ternyata Michisa juga terus membocorkan identitasnya!
Saya kehabisan kata-kata! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar