6.
The Visit
Michisa berjalan diikuti Henji di tengah matahari
sore. Walaupun tidak beriringan, ia bisa tahu Henji ada di belakangnya dengan
mendengar suara langkahnya. Agak aneh sih. Ada suara, tapi tidak kelihatan
wujudnya.
Eh, seperti Tasuku, ya?
Memang orang di belakangnya itu Tasuku sih.
Awalnya kenyataan itu memang sulit dipercaya, tapi kemudian jadi tidak begitu
mengejutkan. Entah kenapa.
Angin berhembus menerbangkan kelopak bunga sakura
yang tersisa. Minggu depan sudah masuk bulan Juni, dan pada saat itu jugalah
musim panas tiba. Pada masa ini hujan sering turun, termasuk tadi. Hujan yang
tadi turun membuat jalan pulang mereka hari ini terasa sejuk.
Tak terasa sudah hampir satu bulan ini Michisa
dan Henji pulang dan pergi sekolah bersama. Hanya sekedar "bersama",
tidak lebih. Mereka nyaris tidak pernah mengobrol akrab. Entah itu membicarakan
tentang diri sendiri, sekolah, pekerjaan, ataupun keluarga. Mereka hanya
mengetahui apa yang terlihat, sisanya menduga-duga.
Misalnya Henji terhadap Michisa. Henji hanya tahu
setelah berkunjung ke hunian Michisa bahwa Michisa tinggal bersama ibunya di
sebuah apartemen kelas menengah. Ayahnya sudah tiada, ibunya dan dirinya
sama-sama bekerja. Henji juga hanya mengetahui pekerjaan-pekerjaan Michisa yang
sudah ada hasilnya, alias sudah dirilis di publik. Kalau yang masih rencana
atau sedang proses, mana tahu Henji soal itu. Ia tidak ingin membuat Michisa
yang sepertinya gampang emosi itu marah, jadi ia lebih banyak diam dan tidak
bertanya apapun. Kalaupun bicara, ya... Hanya sedikit. Selama ini ia hanya
menduga-duga gadis seperti apa Michisa itu. Termasuk sikapnya yang sepertinya
sangat baik pada anak-anak.
Tapi belakangan ini Michisa jadi lebih tenang,
tidak terlalu mudah terpancing emosi. Dan bagusnya, mereka sekarang semakin
tahu tentang satu sama lain, walaupun cenderung ekstrim.
Michisa tahu bahwa sebenarnya Henji adalah Tasuku
sang penyanyi bayangan.
Henji tahu bahwa Michisa adalah anak yang diusir
dari keluarga besarnya di negara lain.
Mungkin dengan adanya rahasia-rahasia seperti
itu, kepercayaan akan muncul di antara mereka. Yang paling dipikirkan oleh
Henji saat ini adalah hubungan mereka. Apa boleh Henji menyebut Michisa sebagai
kawan? Atau mereka hanya sekedar teman satu sekolah seperti yang sebelumnya? Henji
merasa enggan menanyakan itu langsung pada Michisa. Selalu ada perasaan tidak
enak yang muncul.
Michisa terus berjalan. Sebentar lagi ia sampai
di rumah, apartemennya bisa terlihat olehnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya
pada orang-orang yang sedang menyebrang jalan. Salah satu dari mereka berjalan
ke arah tempat Michisa berada sekarang. Gadis yang berjalan dengan kepala agak
tertunduk. Sebagian wajahnya tertutup oleh rambut hitamnya yang tergerai
panjang hampir sepunggung, lebih panjang dari rambut Michisa. Dari seragamnya,
sepertinya dia anak SMP. Dia terlihat mendung, dan entah kenapa itu membuat
Michisa jadi teringat laki-laki yang di belakangnya ini.
"Riichan?"
Langkah Michisa terhenti. Ia menoleh ke arah
Henji yang barusan menyebut nama seseorang. Bahkan bukan sekedar nama,
sepertinya panggilan akrab.
"Kakak?" Anak SMP itu menyahut.
Kakak
katanya? Anak ini adik Henji?
"Kenapa lewat sini? Ini bukan jalan pulangmu
yang biasanya 'kan?"
"Kakak sendiri? Harusnya 'kan Kakak tidak
lewat sini."
Michisa terkesima dengan apa yang dilihatnya
barusan. Gadis itu mengejutkan. Begitu namanya disebut, ia langsung mengangkat
wajahnya dan menoleh ke arah mereka, membuat wajahnya lebih terlihat. Begitu
melihat Henji, wajahnya berubah ceria. Sinar matanya seolah muncul. Ia berubah
dalam sekejap dari sosok yang suram ke sosok yang manis. Mengagumkan.
Henji tidak beda jauh. Wajahnya berubah ceria.
Sosok Henji yang seperti itu jarang sekali Michisa lihat. Dia tampak begitu
ceria saat mengobrol dengan adiknya. Michisa sadar bahwa untuk sesaat, Henji
lupa akan kehadirannya.
"Ah, maaf, Hanazawa-san. Kenalkan, ini
adikku, Riho," ujar Henji pada Michisa. "Riichan, ini... Hanazawa
Michisa-san."
"Salam kenal, Kak, namaku Tasunaga
Riho," sapa Riho malu-malu sambil membungkuk.
"Salam kenal, namaku Hanazawa Michisa,"
ujar Michisa sambil tersenyum manis dan balas membungkuk pada gadis berponi
panjang itu. "Kalian berdua mirip sekali, ya."
Henji dan Riho sama-sama tertawa kecil.
"Kau habis dari mana?" Tanya Henji pada
Riho.
"Aku habis membeli bibit bunga matahari
untuk Harurun dari toko di sana," jawab Riho sambil menunjuk ke sebuah
toko tanaman yang terlihat agak jauh dari sana. "Aku baru ingat kemarin
kalau Harurun ingin ada bunga matahari di rumah selama musim panas ini. Kata
ibu bibit bunga di toko itu bagus, jadi aku ke sana."
"Benar juga, ya. Harurun memang bilang kalau
dia ingin kita menanam bunga matahari sama-sama."
"Kalau Kakak? Kenapa Kakak di sini?"
Henji melirik Michisa sebelum bertanya balik, "Kau ingat temanku yang
kuceritakan pada Ibu?”
"Iya, aku ingat. Eh, jangan-jangan..."
"Dia orangnya."
Riho menatap Michisa. Sejak pertama melihatnya,
Riho sudah berpikir kalau Michisa amat cantik. Melihat seragam yang dipakainya,
dia tahu kalau kakak itu satu sekolah dengan kakaknya. Dia juga baru sadar
sekarang bahwa gadis di depannya ini adalah bintang yang disukai adiknya.
Michisa sendiri hanya tersenyum pada Riho, lalu
bertanya pada Henji, "Adik yang dulu pernah kau bicarakan itu, dia?"
Henji tampak mengingat-ingat sejenak, "Ah...
bukan, yang dulu itu adik bungsuku. Aku punya dua adik."
"Maaf kalau selama ini kakakku pernah
merepotkan Kakak," ujar Riho pada Michisa. "Eh, benar juga.
Sepertinya aku menghalangi Kakak pulang, ya? Maafkan aku."
"Tidak, kok," jawab Michisa cepat.
"Kalian pulang saja sama-sama. Rumahku sudah dekat, jadi pulang sendiri
juga tidak masalah."
"Kau yakin?" Tanya Henji.
"Yakin. Daah."
Michisa meninggalkan Riho dan Henji. Mereka
berdua menatapnya sampai ia masuk ke komplek apartemennya itu.
"Ternyata Kak Hanazawa memang lebih cantik
kalau dilihat langsung," ujar Riho memecah keheningan.
Henji diam saja. Riho benar, sih. Michisa memang
cantik. Tapi itu bukan hal yang harus diungkapkan.
"Orang lain pasti iri pada Kakak kalau bisa
akrab dengan orang seperti itu," tambah Riho sambil berjalan pulang.
Henji mengikutinya, "Kami memang sering
sama-sama, tapi kami ini nggak akrab, kok."
"Maksud Kakak?"
"Kami nggak sering mengobrol, jadi nggak
benar-benar kenal satu sama lain. Tadi 'kan kau dengar sendiri, dia tahu aku
punya adik, tapi nggak tahu kalau aku punya dua adik. Sikapnya juga beda
terhadapku."
"Masa? Beda bagaimana? Tadi dia baik,
kok."
"Memang, dia sangat baik pada orang lain,
apalagi anak-anak. Tapi dia... Awalnya dia kasar padaku. Tapi belakangan dia
juga bersikap dingin menusuk."
"Tapi rasanya dulu Kakak pernah cerita kalau
Hanazawa Michisa itu baik, waktu tahun baru kemarin."
Henji diam sejenak sampai akhirnya ia berkata,
"Waktu itu dia memang baik. Entah yang mana sifat aslinya."
"Kalau begitu, mungkin pernah terjadi
sesuatu padanya, iya 'kan?"
"Entahlah," Henji berkata demikian
sambil menerawang ke langit. "Aku pernah mendengar masalah pribadinya yang
cukup rumit, tapi kurasa bukan itu penyebabnya."
"Kalau begitu, mungkin ada kelakuannya yang
disengaja. Dia 'kan aktris, bisa punya banyak muka. Apa Kakak pernah berbuat
sesuatu sehingga dia bersikap begitu pada Kakak?"
Riho benar. Mungkin ada kelakuan Henji yang tidak
disukai Michisa, sehingga Michisa bersikap kasar padanya. Apa karena Henji
menerima tawaran untuk melindunginya? Mungkin dia membenci Henji karena itu.
"Mungkin karena aku seenaknya ikut campur
dalam kehidupannya, dia jadi membenciku."
Riho diam sejenak, "tapi kurasa Kakak bukan
orang yang pantas dibenci."
Henji hanya mengelus kepala Riho, "Terima
kasih, Riichan. Ayah bilang, kalau ada yang membenci kita, pasti ada juga yang
menyukai kita. Keduanya akan membuat kita kuat. Sebanyak apapun orang yang
membenciku, aku tetap aku."
Riho menatap kakaknya yang mengelusnya tanpa
menoleh itu. Henji selalu percaya apapun yang dikatakan ayah mereka. Riho kagum
akan ketabahan kakaknya. Kakaknya selalu memperhatikan orang lain walaupun
sebenarnya dirinya sendiri lebih membutuhkan perhatian.
"Kapan-kapan Kakak harus mengajak Kak
Hanazawa main ke rumah kita."
"Apa?"
*****
*****
"Si Michisa itu berguna banget, ya."
"Kau benar. Sering ada di dekatnya saja, kau
bakal jadi populer."
"Sebenarnya aku sudah bosan dengan dia,
orangnya benar-benar nggak asyik! Padahal cantik begitu."
"Ah, sama... Aku juga merasa begitu. Dia
diam terus, cuma senyum-senyum atau menanggapi sedikit saja apa yang kita
lakukan. Sok anggun! Sok keren! Membosankan!"
"Ya, ya! Jarang jalan-jalan, jarang shopping, bahkan sekedar memberi update fashion terbaru juga nggak,
apalagi mentraktir kita!"
"Cerita soal cowok juga nggak pernah! Dia
cewek bukan sih? Kelihatannya saja cantik dan kaya, padahal ternyata dia
miskin!"
"Kapan nih kita mau menyingkir? Toh, kita
sudah populer. Apa kita mau bikin skenario biar dia tambah sakit?"
"Jangan, nanti reputasi kita di sekolah jadi
jelek. Kita langsung saja menghindari dia diam-diam besok."
"Okee~"
Seketika tubuhnya terasa kaku. Michisa tanpa
sengaja mendengar percakapan Naomi dan Miharu saat ia sedang berada di dalam
salah satu bilik toilet. Ternyata di luar bilik-bilik itu, Naomi dan Miharu
datang, dan langsung membicarakan itu.
Sebenarnya ia sudah merasakan sejak awal kalau
Naomi dan Miharu tidak bermaksud untuk bersahabat dengannya. Ia tahu ada maksud
lain di balik kebaikan dan keramahan mereka yang janggal. Tapi mendengarnya
langsung seperti ini... Entah kenapa masih terasa sakit.
Tidak. Dia tak akan menangis. Tak akan pernah
menangis.
Setelah memastikan Naomi dan Miharu sudah pergi,
Michisa ikut meninggalkan toilet. Ia berpapasan dengan Henji di tangga.
Henji melirik Michisa yang ternyata juga
meliriknya. Pada saat itu juga Henji langsung mengalihkan pandangannya dan
berlalu.
"Jangan
dekati aku di sekolah!"
Ah, benar juga. Michisa pernah bilang begitu pada
Henji. Henji sudah bersikap benar. Michisalah yang sudah bersikap bodoh.
*****
"Hari ini sebaiknya kita cepat pulang,
langit sangat mendung."
Michisa setengah mengabaikan kata-kata Henji
barusan. Ia berjalan agak lebih cepat, namun tetap lambat. Henji yang di
belakangnya terpaksa menyesuaikan supaya ia tidak membalap Michisa.
Benar saja, hujan kemudian turun. Henji
cepat-cepat membuka payungnya. Michisa masih tetap berjalan tanpa mempedulikan
sekelilingnya.
"Kau tidak bawa payung?" Tanya Henji.
Hujan semakin dan semakin deras. Michisa baru
bergeming. Dengan lamban ia membuka payungnya. Sebagian tubuhnya basah akibat
aksi lambatnya itu.
Henji yang dari tadi mengawasi saja mulai
berpikir, hari ini Michisa begitu aneh. Walaupun hanya diam saja, Michisa belum
pernah sampai bersikap lamban begini. Ekspresinya normal seperti biasa, namun
bahasa tubuh dan tatapan matanya aneh. Seandainya ia bertanya ada apa, apa
Michisa akan menjawab?
Hujan makin deras dan disertai angin kencang.
Henji dan Michisa mulai kebasahan walaupun sudah memakai payung. Mereka harus
berteduh.
"Hanazawa-san, hujan makin deras. Rumahku
sudah sangat dekat dari sini, bagaimana kalau kau berteduh di sana dulu? Aku
akan mengantarmu pulang kalau hujan sudah berhenti."
Michisa masih membisu. Angin makin kencang,
akhirnya tanpa menunggu jawaban Michisa, Henji mengisyaratkan pada Michisa
untuk mengikutinya.
"Ke sini, Hanazawa-san!"
Michisa mengikuti Henji sambil berlari-lari
kecil. Baju mereka basah karena angin hujan. Hari ini, di luar perkiraannya
sendiri, Michisa begitu shock akan
kejadian di sekolah, saat memergoki teman-temannya yang munafik. Ia memang
kelihatannya punya banyak teman, serta sering berbaur dengan mereka. Namun di
antara mereka tak ada yang merupakan teman sejati. Ia juga sama sekali tak
menduga bahwa ia akan tetap merasa sakit saat ia kehilangan teman palsu.
"Aku tak perlu siapapun," gumamnya
sambil berlari kecil. Henji yang ada di depannya tak mendengar karena suara
hujan.
Henji makin jauh. Langkah Michisa melambat.
Pandangannya mulai kabur karena air mata.
"Aku tak perlu siapapun..."
Air matanya semakin berjatuhan. Ia tak kuat lagi
menahan tangis. Rasa sepi yang ia simpan selama ini akhirnya berhasil mengikis
dinding keteguhannya.
"Aku tak perlu siapapun... Aku tak pantas
ditemani siapapun... Kyaa!"
Michisa tersandung di tengah gumamannya. Bajunya
makin basah karena ia jatuh. Payungnya yang lepas dari tangan mulai
diterbangkan angin. Wajahnya yang terkena angin hujan menyamarkan wajahnya yang
menangis. Mulutnya memang bisa berbohong, tapi hatinya tidak. Ia ingin ada
seseorang yang benar-benar menjadi temannya, menjadi sahabatnya. Tapi orang
seperti itu tidak ia temukan di manapun, bahkan sampai sekarang.
"Hanazawa-san!" Henji menghampiri
Michisa yang baru ia sadari tertinggal cukup jauh di belakang. Ia sempat
menatap Michisa yang masih terkapar di jalanan.
"Hanazawa-san..."
Michisa diam terduduk. Kepalanya menunduk
dalam-dalam. Air hujan yang dingin dan air mata yang hangat bercampur di
wajahnya.
"Maaf," Henji meraih lengan Michisa
perlahan, "kau masih bisa jalan?"
Michisa mengangguk pelan sambil tetap menunduk.
Henji membantunya berdiri dan kembali menuntunnya berlari kecil.
"Sabarlah sebentar lagi."
Michisa tetap membisu. Baguslah, Henji tak
menyadari kalau ia menangis.
"Aku pulang!" seru Henji saat ia dan
Michisa masuk ke rumah. Mereka berdua basah kuyup dan terlihat agak
terengah-engah.
"Selamat datang," ibu Henji, Nona
Hinata, menyambut mereka. Ia hanya menatap kedua anak itu tanpa bertanya
apa-apa.
"Ibu, hujannya sangat deras, bolehkah dia
berteduh dulu di sini?"
"Tentu saja," Nona Hinata menghampiri
Michisa dan menatap wajahnya yang basah bercampur sembap. Beliau tersenyum,
"Selamat datang di rumah Keluarga Tasunaga. Tenanglah, sudah tak
apa-apa."
Michisa terpaku dengan kata-kata itu. Wanita ini
membaca ekspresinya? Atau kata-katanya hanya kebetulan saja?
Riho muncul. Begitu melihat Michisa, ia langsung
menghampirinya.
"Kak Hanazawa?" Riho memastikan kalau
orang di depannya benar-benar Michisa, karena Michisa kelihatan kacau. Kakaknya
juga. Mereka berdua basah kuyup dan berantakan.
"Henji, kau keringkan dulu dirimu. Biar ibu
yang mengurus temanmu ini," ujar Nona Hinata. Henji menurut, melepas kaos
kaki, menggulung celana panjangnya yang basah, lalu meninggalkan gadis-gadis
itu. Ia menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.
Nona Hinata tersenyum pada Michisa, "siapa
namamu?"
"Ah, saya... Hanazawa Michisa," jawab
Michisa. Ia sudah agak lebih tenang sekarang.
"Oh, jadi kau ini anaknya Hanazawa
Reina-san?"
"Y-Ya, benar," Michisa agak terkejut
mendengar pertanyaan itu. Ibu Henji ternyata juga mengenal ibunya.
"Kau basah kuyup, bersihkanlah dirimu dan
ganti bajumu. Akan kami pinjamkan. Riichan, tolong bantu dia, ya."
"Baik, Bu," Riho menurut.
"Michisa-chan, bagaimana kalau kau di sini
sampai setelah makan malam? Hujan sepertinya masih akan turun. Nanti Henji bisa
mengantarmu pulang."
"Ah... Jangan repot-repot..."
"Tidak, tidak repot kok! Aku sangat senang
karena akhirnya ada teman Henji yang datang ke rumah," ujar Nona Reina
senang.
Michisa diam mencerna kata-kata itu. Ia akhirnya
mengangguk pasrah.
"Ikut aku, Kak. Kita ke kamarku saja,"
ajak Riho ceria.
Michisa mengikuti Riho naik tangga ke lantai atas
rumah Henji. Ia mengedarkan pandangan seraya berjalan. Di luar dugaan, rumah
Henji cukup besar. Nuansanya gabungan antara tradisional dan modern. Hunian
yang kelihatannya lebih menyenangkan daripada apartemennya yang telah ia
tinggali selama empat tahun itu.
Pikirannya beralih pada gadis di depannya,
Tasunaga Riho. Gadis ini punya sorot mata yang mirip dengan Henji. Tegas namun
menyembunyikan sesuatu. Sikap dan tutur katanya juga baik. Gadis yang sangat
manis.
Enak ya, punya adik perempuan.
"Aku boleh memanggilmu 'Riho-san'?"
Michisa memberanikan diri.
Riho berhenti berjalan, diam sebentar, lalu memutar
badannya ke arah Michisa, "Ka.. Kakak mau memanggilku begitu?"
Matanya berbinar-binar tak percaya.
Michisa tersenyum, "Tentu saja. Kamu boleh
memanggilku 'Michisa'."
"Aku senang sekali ada orang lain yang
memanggilku dengan nama kecil. Terima kasih, Kak!" ujar Riho dengan ceria.
Nama panggilan bisa menggambarkan kedekatan hubungan antara dua orang.
"Ayo, Kakak mandi saja. 'Kan basah begini. Akan kupinjamkan bajuku dan
kusiapkan air hangat. Ah, Kak, adik perempuanku fans berat Kak Michisa, lho."
"Ternyata benar ya? Terima kasih banyak. Dia
ada?"
"Ada," jawab Riho sambil menaiki anak
tangga yang terakhir. Ia menuntun Michisa ke arah kanan, di sana ada tiga
pintu.
"Ini toiletnya, yang paling kanan. Yang di
tengah ini pintu kamarku, dan yang satu lagi kamar adikku, Harumi," jelas
Riho. "Kalau yang di ujung sana itu kamar Kak Henji dan kamar orang tua
kami."
Michisa mengangguk-angguk. Ia menoleh ke sisi
kiri ruangan itu. Di sana ada televisi, rak buku, lemari, dan karpet. Ia
menduga kalau di situlah tiga saudara ini bersantai. Mengobrol, makan kudapan,
membaca manga, atau main game.
"Sini, Kak. Masuklah ke kamar mandi, airnya
sudah siap. Aku akan siapkan baju dan kuurus barang-barang Kakak yang
basah," tuntun Riho.
Michisa mengikuti arahan gadis itu dan segera
membersihkan diri.
Henji keluar dari kamarnya dengan membawa handuk
dan baju bersih. Ia berjalan menuju kamar mandi lain yang ada di antara
kamarnya dan orang tuanya. Ia merasa ragu saat hendak membuka pintu kamar
mandi. Sepertinya ada orang.
"Ada orang di dalam?" Tanya Henji
sambil mengetuk pintu.
"Aku di sini, Kak! Buka saja pintunya, nggak
dikunci!"
Itu suara Harumi. Henji membuka pintu perlahan,
mendapati adiknya sedang mencuci gelas dan kuas-kuas cat air.
"Di kamar mandi yang satu lagi ada orang,
jadi aku ke sini. Oh, Kakak kehujanan, ya?" tanya Harumi.
Henji tersenyum lembut, "Ya, begitulah. Aku
basah dan kotor sekali, jadi harus mandi. Harurun habis melukis apa?"
"Rahasia!" Jawab Harumi ceria.
Henji tertawa kecil, "Hei, Harurun. Teman
sekolahku datang ke rumah, lho."
"Eh?? Benarkah? Di mana dia?"
"Sepertinya dia sedang bersama Riichan. Kamu
pasti senang kalau tahu siapa dia."
Harumi terdiam sebentar, berpikir. Lalu ia lekas
menyelesaikan pekerjaannya. Ia membawa alat-alat lukisnya ke kamar. Henji
menatap adiknya dengan senyum lalu masuk ke kamar mandi.
Harumi keluar dari kamarnya. Ia melihat kamar
mandi yang tadinya ada orang sudah kosong, lalu masuk ke kamar kakak
perempuannya tanpa mengetuk pintu.
"Kak Rii!"
"Harurun?"
"Kak Rii, kata Kak Henji temannya
datang..." ucapan Harumi terhenti. Kakaknya tengah duduk di kursi meja
belajar, menghadap ke tempat tidur. Sementara ada seorang gadis lain yang duduk
di tempat tidur kakaknya. Rambut gadis yang memakai baju kakaknya itu masih terbalut
handuk. Wajahnya tak asing bagi Harumi, tapi ini kali pertama mereka bertemu
langsung.
"Michisa..." Harumi bergumam pelan.
"Kak Michisa, ini anak bungsu dalam keluarga
kami, Tasunaga Harumi. Kami biasa memanggilnya Harurun," jelas Riho pada
Michisa.
Michisa tersenyum menatap Harumi, "Halo,
namaku Hanazawa Michisa."
Harumi langsung menghampiri Michisa. Ia grogi
namun senang karena bisa bertemu idolanya. "Na-namaku Tasunaga Harumi! Aku
tujuh tahun! Aku penggemar Kak Michisa! Aku senang sekali Kak Michisa ke
sini!"
"Benarkah? Terima kasih banyak," ujar
Michisa. "Duduk di sini, Harumi-chan."
Harumi sangat senang. Ia duduk di samping Michisa
dengan semangat. "Kata Kak Henji kalung ini pemberian Kak Michisa. Apa
benar?" Tanya Harumi sambil menunjukan kalung bintangnya.
Michisa mengangguk manis. Kenangan masa lalu
muncul saat ia melihat kalung bintang itu.
"Tunggu sebentar, ya, Kak!" Harumi
berlari cepat menuju kamarnya, mengambil sesuatu, lalu kembali lagi membawa
topi cap hitam-putih bertandatangan
Michisa. "Ini juga benar tandatangan Kakak?"
Michisa mengangguk lagi, "Ya. Aku senang
ternyata kau benar-benar menjaganya, Harumi-chan."
Harumi tertawa senang.
"Kak Henji sangat suka memakai topi cap seperti ini. Dia punya beberapa.
Sebenarnya yang ini salah satu topi favoritnya, tapi dia mengorbankan topi ini
demi Harurun. Topi ini jadi milik Harurun sejak Kak Michisa
menandatanganinya," ujar Riho.
"Begitu, ya? Aku baru tahu Tasunaga suka
topi seperti ini. Kalau sekolah dia nggak pernah memakainya," ujar Michisa
sambil memegang topi itu. Ia teringat kejadian di musim dingin yang lalu. Kalau
dipikir baik-baik, mungkin itulah awal dari segalanya. Awal di mana Henji mulai
melindunginya dari berbagai hal.
Ehm, mikir apa dia barusan? Melindungi agak
berlebihan. Mungkin lebih tepatnya menolong... Ya, menolong.
Michisa mengobrol dengan Riho dan Harumi. Asyik
sekali. Rasanya hangat.
"Kita bertiga berteman mulai sekarang
'kan?" tanya Harumi. Pertanyaan itu membuat Riho dan Michisa terdiam.
Teman...
Akhirnya.
"Kita teman 'kan, Kak?" Riho bertanya
lagi.
Michisa mengangguk dengan perasaan senang dan
lega. Benar juga. Dia sebenarnya tak pernah sendirian. Dia bukannya tak punya
teman. Dia punya Nijika, Hihara, dan sekarang juga ada Riho dan Harumi.
Riho dan Michisa bertukar alamat email dan nomor
ponsel.
"Kak, kalau boleh jujur, sebenarnya Kakak
teman pertamaku," ujar Riho pelan.
"Aku juga," tambah Michisa.
"Berteman baiklah denganku, Riho."
Mereka semua tersenyum. Sekarang tidak ada yang
sendirian lagi.
Henji berdiri di depan kamar Riho. Ia lega
mengetahui bahwa Riho akhirnya punya teman. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia
meninggalkan gadis-gadis itu, menyusul ibunya di dapur.
Apa ini
artinya sekarang tinggal aku yang sendirian?
"Ibu, ada yang bisa kubantu?" Tanya
Henji begitu ia tiba di dapur.
"Hmm, sepertinya tidak ada," ujar Nona
Hinata sambil tersenyum penuh misteri. "Hari ini ayah makan malam di
rumah, lho."
"Benarkah?" Henji bertanya lagi dengan
semangat. Ayahnya selalu sibuk bekerja sehingga biasanya beliau pulang setelah
makan malam.
"Ya," jawab Nona Hinata. "Ah,
dengar suara itu? Sepertinya ada yang membuka gerbang. Mungkin itu ayah."
Henji berlari cepat ke arah pintu rumah seperti
bocah. Ia mengintip lewat jendela. Ternyata benar itu ayahnya, Tuan Ryuuji.
"Aku pulang," ujar Tuan Ryuuji begitu
masuk ke rumah.
"Selamat datang, Ayah," Henji dan Nona
Hinata menyambutnya. Henji menyambut barang bawaan ayahnya, membawanya ke kamar
orang tuanya seperti biasa. Sebelum turun kembali, ia berhenti sebentar di
depan kamar Riho.
"Hei, ayah pulang!" Serunya dengan
ceria, lalu langsung pergi lagi.
Riho dan Harumi ikut senang.
"Kak Michisa, ayo kita turun ke bawah! Kakak
harus ketemu ayah!" ajak Harumi.
Mereka bertiga turun ke bawah. Yang paling harus
bertemu dengan Michisa justru adalah ayah. Karena ayahlah yang paling kenal
dengan keluarga Michisa.
"Ayah, selamat dataang!" Harumi
melompat ke pelukan ayahnya. "Ayah, teman Kak Henji datang ke rumah! Dia
akan makan malam bersama kita!"
Tuan Ryuuji menanggapi anak-anaknya dengan
senyum. Michisa menatapnya. Wajah beliau mirip sekali dengan Henji. Terlihat
sangar, namun saat tersenyum, aura wajahnya berubah.
"Siapa namamu?"
"Saya Hanazawa Michisa. Senang bisa bertemu
Anda," Michisa membungkuk hormat.
"Hanazawa? Kamu anaknya Hanazawa Reina-san
itu?" Tuan Ryuuji terlihat agak heran.
"Benar."
Tuan Ryuuji tertawa kecil, entah kenapa.
"Sepertinya aku salah paham, tapi abaikan saja, ya. Kau benar-benar mirip
dengan ayahmu, Hanazawa-san. Pasti sulit bagimu dan ibumu. Tapi kalian tabah
sekali. Aku salut."
Michisa mengangkat kepalanya. Ia senang ada yang
mengatakan kalau dia mirip ayahnya. Melihat sosok Tuan Ryuuji, entah mengapa ia
jadi teringat pada almarhum ayahnya. Dia menahan diri agar tidak membuat
matanya berkaca-kaca.
Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali
merasakan seperti apa makan malam keluarga yang lengkap anggotanya. Begitu
ramai, ceria, juga hangat.
*****
Michisa berdiri di ruang tamu, menunggu Henji
yang akan mengantarnya pulang. Ia sibuk menatap foto keluarga besar Henji yang
terpajang di sana. Tak lama kemudian, Henji datang.
"Maaf sudah membuatmu menunggu. Ayo pergi,
Hanazawa-san."
"Tasunaga."
Henji diam. Ia memperhatikan Michisa menunjuk ke
arah foto di dinding, "Itu... Sugawara Suzuki-kun, ya?"
Henji ikut melihat foto itu, "Ya, benar.
Kalian sekelas, 'kan? Tentu saja kau kenal dia. Dia sepupuku."
"Sepupu?"
"Ya. Dia sepupu dan sekaligus satu-satunya
temanku."
"Begitu."
"Kau tahu? Setelah dia, kaulah teman
pertamaku yang pernah datang ke rumah ini."
Michisa menatap wajah Henji yang tersenyum santai
melihat foto itu. Henji lalu menoleh padanya. Michisa terkejut dan berpaling ke
arah foto itu lagi untuk menghindari pandangannya.
Henji mengamati mata Michisa dari samping. Ternyata benar, matanya bukan hitam.
Henji mengamati mata Michisa dari samping. Ternyata benar, matanya bukan hitam.
"Ayo berangkat," ajak Michisa. Ia
berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada seluruh anggota keluarga Henji. Ia
lalu pulang diantar Henji.
"Ternyata benar kalau matamu bukan
hitam," Henji memberanikan diri memulai percakapan, mencoba memecah
kesunyian malam. "Aku baru menyadarinya tadi. Itu bukan lensa kontak,
ya?"
"Ini warna mata ayahku," ujar Michisa
tanpa menoleh ke arah Henji.
"Ah, maaf."
Michisa diam saja.
Salah lagi, deh. Maksud hati ingin memecah kesunyian,
malah bikin tambah suram.
"Terima kasih untuk hari ini," ujar
Michisa.
"Aku... Mungkin lebih pantas minta maaf. Aku
seenaknya menyuruhmu datang."
"Kubilang, terima kasih. Jawab saja
'sama-sama'! Minta maaf terus! Kau ini kenapa deh?!"
Henji diam tertunduk. Salah lagi.
Mereka terus diam. Saat mereka melewati toko
aksesoris, Michisa berhenti.
"Hei, tunggu sebentar, ya!" sahutnya
sambil melesat masuk ke dalam toko setelah menitipkan barang bawaannya pada
Henji. Tak lama kemudian ia kembali membawa sepasang jepit rambut.
"Berikan ini pada Riho," ujarnya sambil
mengambil barangnya kembali.
"Terima kasih," Henji menyimpan jepit
rambut itu di sakunya. Ternyata Michisa perhatian juga. Sepertinya dia sengaja
memberikan ini pada Riho agar poni Riho yang panjang tidak menutupi wajahnya
lagi. Padahal Henjilah yang selama ini selalu bersama Riho. "Aku tak
pernah terpikir untuk memberinya jepit rambut."
"Mungkin karena kami sama-sama
perempuan," sahut Michisa. "Kau jangan sedih begitu. Kau tidak salah
kok."
"A-aku..." Henji salah tingkah.
Michisa tersenyum jahil ke arah Henji, "Kenapa?
Kau cemburu karena aku bisa jadi kakak yang begitu baik?"
"Ka-kata siapa??"
Michisa tertawa lepas melihat reaksi Henji. Henji
sendiri mulai bisa bersikap normal lagi. Jarang sekali ia melihat Michisa
seperti ini. Henji selalu melihat wajahnya yang kesal, marah, menahan derita,
bahkan mungkin ada yang senyum palsu. Walaupun Henji juga pernah melihat
Michisa tersenyum tulus pada teman-teman kecilnya, semua itu bukan karena
Henji.
Henji memperhatikan Michisa yang tertawa. Namun
lama-lama ia merasa malu.
"Hei, sudahlah. Ayo kita jalan lagi.
Memangnya aku sekonyol itu?"
Michisa masih menertawakannya, "Aku juga tak
menyangka ternyata kau ini anak papa. Kau berubah jadi bocah dalam sekejap
hanya karena ayahmu!"
"Me-memangnya kau beda??"
Michisa berjalan duluan sambil terus tertawa.
Perlahan tapi pasti, tawanya menghilang. Kali ini benar-benar tak ada yang
bicara sampai mereka tiba di apartemen Michisa.
"Terima kasih sudah datang ke rumah kami,
Hanazawa-san," ujar Henji sambil sedikit membungkuk.
Tak ada respon dari Michisa. Karena membungkuk,
Henji menatap ke bawah. Ia tak tahu ekspresi Michisa waktu itu. Michisa hanya
memalingkan tubuhnya masuk ke apartemen.
"Selamat malam."
"Selamat malam. Sampai besok."
Henji tak berlama-lama di sana. Ia segera pergi.
"Aku pulang."
"Ah, welcome
home, Michisa. Bagaimana rumah Henji-kun?"
Michisa terdiam sesaat, "menyenangkan."
"Syukurlah."
"Aku tidur duluan, Ma."
"Ya. Selamat tidur."
Michisa masuk ke kamarnya. Ia terduduk di balik
pintu dengan tatapan kosong. Ia sudah berusaha keras.
"Kenapa?
Kau cemburu karena aku bisa jadi kakak yang begitu baik?"
"Aku
juga tak menyangka ternyata kau ini anak papa. Kau berubah jadi bocah dalam
sekejap hanya karena ayahmu!"
"Me-memangnya
kau beda??"
Henji benar.
Dia iri pada Henji yang punya saudara.
Dia iri pada Henji yang masih punya ayah.
Dia juga iri pada Henji yang akrab dengan
sepupunya.
Dia iri pada Henji yang bisa dengan bangga
memajang foto keluarga besar di rumah.
Ah, aku benar-benar payah. Padahal akhirnya aku
bisa mendapat teman baru. Harusnya aku lebih bersyukur.
Catatan Penulis :
Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 6 : The Visit!
_______________________________________________________________
- Bersambung ke Chapter 7 -
Catatan Penulis :
Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 6 : The Visit!
Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! Akan hadir secepatnya lho (^_^)
FildzahPro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar