Jumat, 04 Oktober 2013

Honestly : Chapter 6


6.       The Visit

Michisa berjalan diikuti Henji di tengah matahari sore. Walaupun tidak beriringan, ia bisa tahu Henji ada di belakangnya dengan mendengar suara langkahnya. Agak aneh sih. Ada suara, tapi tidak kelihatan wujudnya.
Eh, seperti Tasuku, ya?
Memang orang di belakangnya itu Tasuku sih. Awalnya kenyataan itu memang sulit dipercaya, tapi kemudian jadi tidak begitu mengejutkan. Entah kenapa.

Angin berhembus menerbangkan kelopak bunga sakura yang tersisa. Minggu depan sudah masuk bulan Juni, dan pada saat itu jugalah musim panas tiba. Pada masa ini hujan sering turun, termasuk tadi. Hujan yang tadi turun membuat jalan pulang mereka hari ini terasa sejuk.
Tak terasa sudah hampir satu bulan ini Michisa dan Henji pulang dan pergi sekolah bersama. Hanya sekedar "bersama", tidak lebih. Mereka nyaris tidak pernah mengobrol akrab. Entah itu membicarakan tentang diri sendiri, sekolah, pekerjaan, ataupun keluarga. Mereka hanya mengetahui apa yang terlihat, sisanya menduga-duga.
Misalnya Henji terhadap Michisa. Henji hanya tahu setelah berkunjung ke hunian Michisa bahwa Michisa tinggal bersama ibunya di sebuah apartemen kelas menengah. Ayahnya sudah tiada, ibunya dan dirinya sama-sama bekerja. Henji juga hanya mengetahui pekerjaan-pekerjaan Michisa yang sudah ada hasilnya, alias sudah dirilis di publik. Kalau yang masih rencana atau sedang proses, mana tahu Henji soal itu. Ia tidak ingin membuat Michisa yang sepertinya gampang emosi itu marah, jadi ia lebih banyak diam dan tidak bertanya apapun. Kalaupun bicara, ya... Hanya sedikit. Selama ini ia hanya menduga-duga gadis seperti apa Michisa itu. Termasuk sikapnya yang sepertinya sangat baik pada anak-anak.
Tapi belakangan ini Michisa jadi lebih tenang, tidak terlalu mudah terpancing emosi. Dan bagusnya, mereka sekarang semakin tahu tentang satu sama lain, walaupun cenderung ekstrim.
Michisa tahu bahwa sebenarnya Henji adalah Tasuku sang penyanyi bayangan.
Henji tahu bahwa Michisa adalah anak yang diusir dari keluarga besarnya di negara lain.
Mungkin dengan adanya rahasia-rahasia seperti itu, kepercayaan akan muncul di antara mereka. Yang paling dipikirkan oleh Henji saat ini adalah hubungan mereka. Apa boleh Henji menyebut Michisa sebagai kawan? Atau mereka hanya sekedar teman satu sekolah seperti yang sebelumnya? Henji merasa enggan menanyakan itu langsung pada Michisa. Selalu ada perasaan tidak enak yang muncul.

Michisa terus berjalan. Sebentar lagi ia sampai di rumah, apartemennya bisa terlihat olehnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang sedang menyebrang jalan. Salah satu dari mereka berjalan ke arah tempat Michisa berada sekarang. Gadis yang berjalan dengan kepala agak tertunduk. Sebagian wajahnya tertutup oleh rambut hitamnya yang tergerai panjang hampir sepunggung, lebih panjang dari rambut Michisa. Dari seragamnya, sepertinya dia anak SMP. Dia terlihat mendung, dan entah kenapa itu membuat Michisa jadi teringat laki-laki yang di belakangnya ini.
"Riichan?"
Langkah Michisa terhenti. Ia menoleh ke arah Henji yang barusan menyebut nama seseorang. Bahkan bukan sekedar nama, sepertinya panggilan akrab.
"Kakak?" Anak SMP itu menyahut.
Kakak katanya? Anak ini adik Henji?
"Kenapa lewat sini? Ini bukan jalan pulangmu yang biasanya 'kan?"
"Kakak sendiri? Harusnya 'kan Kakak tidak lewat sini."
Michisa terkesima dengan apa yang dilihatnya barusan. Gadis itu mengejutkan. Begitu namanya disebut, ia langsung mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah mereka, membuat wajahnya lebih terlihat. Begitu melihat Henji, wajahnya berubah ceria. Sinar matanya seolah muncul. Ia berubah dalam sekejap dari sosok yang suram ke sosok yang manis. Mengagumkan.
Henji tidak beda jauh. Wajahnya berubah ceria. Sosok Henji yang seperti itu jarang sekali Michisa lihat. Dia tampak begitu ceria saat mengobrol dengan adiknya. Michisa sadar bahwa untuk sesaat, Henji lupa akan kehadirannya.
"Ah, maaf, Hanazawa-san. Kenalkan, ini adikku, Riho," ujar Henji pada Michisa. "Riichan, ini... Hanazawa Michisa-san."
"Salam kenal, Kak, namaku Tasunaga Riho," sapa Riho malu-malu sambil membungkuk.
"Salam kenal, namaku Hanazawa Michisa," ujar Michisa sambil tersenyum manis dan balas membungkuk pada gadis berponi panjang itu. "Kalian berdua mirip sekali, ya."
Henji dan Riho sama-sama tertawa kecil.
"Kau habis dari mana?" Tanya Henji pada Riho.
"Aku habis membeli bibit bunga matahari untuk Harurun dari toko di sana," jawab Riho sambil menunjuk ke sebuah toko tanaman yang terlihat agak jauh dari sana. "Aku baru ingat kemarin kalau Harurun ingin ada bunga matahari di rumah selama musim panas ini. Kata ibu bibit bunga di toko itu bagus, jadi aku ke sana."
"Benar juga, ya. Harurun memang bilang kalau dia ingin kita menanam bunga matahari sama-sama."
"Kalau Kakak? Kenapa Kakak di sini?"
Henji melirik Michisa sebelum bertanya balik, "Kau ingat temanku yang kuceritakan pada Ibu?”
"Iya, aku ingat. Eh, jangan-jangan..."
"Dia orangnya."
Riho menatap Michisa. Sejak pertama melihatnya, Riho sudah berpikir kalau Michisa amat cantik. Melihat seragam yang dipakainya, dia tahu kalau kakak itu satu sekolah dengan kakaknya. Dia juga baru sadar sekarang bahwa gadis di depannya ini adalah bintang yang disukai adiknya.
Michisa sendiri hanya tersenyum pada Riho, lalu bertanya pada Henji, "Adik yang dulu pernah kau bicarakan itu, dia?"
Henji tampak mengingat-ingat sejenak, "Ah... bukan, yang dulu itu adik bungsuku. Aku punya dua adik."
"Maaf kalau selama ini kakakku pernah merepotkan Kakak," ujar Riho pada Michisa. "Eh, benar juga. Sepertinya aku menghalangi Kakak pulang, ya? Maafkan aku."
"Tidak, kok," jawab Michisa cepat. "Kalian pulang saja sama-sama. Rumahku sudah dekat, jadi pulang sendiri juga tidak masalah."
"Kau yakin?" Tanya Henji.
"Yakin. Daah."
Michisa meninggalkan Riho dan Henji. Mereka berdua menatapnya sampai ia masuk ke komplek apartemennya itu.
"Ternyata Kak Hanazawa memang lebih cantik kalau dilihat langsung," ujar Riho memecah keheningan.
Henji diam saja. Riho benar, sih. Michisa memang cantik. Tapi itu bukan hal yang harus diungkapkan.
"Orang lain pasti iri pada Kakak kalau bisa akrab dengan orang seperti itu," tambah Riho sambil berjalan pulang.
Henji mengikutinya, "Kami memang sering sama-sama, tapi kami ini nggak akrab, kok."
"Maksud Kakak?"
"Kami nggak sering mengobrol, jadi nggak benar-benar kenal satu sama lain. Tadi 'kan kau dengar sendiri, dia tahu aku punya adik, tapi nggak tahu kalau aku punya dua adik. Sikapnya juga beda terhadapku."
"Masa? Beda bagaimana? Tadi dia baik, kok."
"Memang, dia sangat baik pada orang lain, apalagi anak-anak. Tapi dia... Awalnya dia kasar padaku. Tapi belakangan dia juga bersikap dingin menusuk."
"Tapi rasanya dulu Kakak pernah cerita kalau Hanazawa Michisa itu baik, waktu tahun baru kemarin."
Henji diam sejenak sampai akhirnya ia berkata, "Waktu itu dia memang baik. Entah yang mana sifat aslinya."
"Kalau begitu, mungkin pernah terjadi sesuatu padanya, iya 'kan?"
"Entahlah," Henji berkata demikian sambil menerawang ke langit. "Aku pernah mendengar masalah pribadinya yang cukup rumit, tapi kurasa bukan itu penyebabnya."
"Kalau begitu, mungkin ada kelakuannya yang disengaja. Dia 'kan aktris, bisa punya banyak muka. Apa Kakak pernah berbuat sesuatu sehingga dia bersikap begitu pada Kakak?"
Riho benar. Mungkin ada kelakuan Henji yang tidak disukai Michisa, sehingga Michisa bersikap kasar padanya. Apa karena Henji menerima tawaran untuk melindunginya? Mungkin dia membenci Henji karena itu.
"Mungkin karena aku seenaknya ikut campur dalam kehidupannya, dia jadi membenciku."
Riho diam sejenak, "tapi kurasa Kakak bukan orang yang pantas dibenci."
Henji hanya mengelus kepala Riho, "Terima kasih, Riichan. Ayah bilang, kalau ada yang membenci kita, pasti ada juga yang menyukai kita. Keduanya akan membuat kita kuat. Sebanyak apapun orang yang membenciku, aku tetap aku."
Riho menatap kakaknya yang mengelusnya tanpa menoleh itu. Henji selalu percaya apapun yang dikatakan ayah mereka. Riho kagum akan ketabahan kakaknya. Kakaknya selalu memperhatikan orang lain walaupun sebenarnya dirinya sendiri lebih membutuhkan perhatian.
"Kapan-kapan Kakak harus mengajak Kak Hanazawa main ke rumah kita."
"Apa?"

*****

"Si Michisa itu berguna banget, ya."
"Kau benar. Sering ada di dekatnya saja, kau bakal jadi populer."
"Sebenarnya aku sudah bosan dengan dia, orangnya benar-benar nggak asyik! Padahal cantik begitu."
"Ah, sama... Aku juga merasa begitu. Dia diam terus, cuma senyum-senyum atau menanggapi sedikit saja apa yang kita lakukan. Sok anggun! Sok keren! Membosankan!"
"Ya, ya! Jarang jalan-jalan, jarang shopping, bahkan sekedar memberi update fashion terbaru juga nggak, apalagi mentraktir kita!"
"Cerita soal cowok juga nggak pernah! Dia cewek bukan sih? Kelihatannya saja cantik dan kaya, padahal ternyata dia miskin!"
"Kapan nih kita mau menyingkir? Toh, kita sudah populer. Apa kita mau bikin skenario biar dia tambah sakit?"
"Jangan, nanti reputasi kita di sekolah jadi jelek. Kita langsung saja menghindari dia diam-diam besok."
"Okee~"
Seketika tubuhnya terasa kaku. Michisa tanpa sengaja mendengar percakapan Naomi dan Miharu saat ia sedang berada di dalam salah satu bilik toilet. Ternyata di luar bilik-bilik itu, Naomi dan Miharu datang, dan langsung membicarakan itu.
Sebenarnya ia sudah merasakan sejak awal kalau Naomi dan Miharu tidak bermaksud untuk bersahabat dengannya. Ia tahu ada maksud lain di balik kebaikan dan keramahan mereka yang janggal. Tapi mendengarnya langsung seperti ini... Entah kenapa masih terasa sakit.
Tidak. Dia tak akan menangis. Tak akan pernah menangis.
Setelah memastikan Naomi dan Miharu sudah pergi, Michisa ikut meninggalkan toilet. Ia berpapasan dengan Henji di tangga.
Henji melirik Michisa yang ternyata juga meliriknya. Pada saat itu juga Henji langsung mengalihkan pandangannya dan berlalu.
"Jangan dekati aku di sekolah!"
Ah, benar juga. Michisa pernah bilang begitu pada Henji. Henji sudah bersikap benar. Michisalah yang sudah bersikap bodoh.

*****

"Hari ini sebaiknya kita cepat pulang, langit sangat mendung."
Michisa setengah mengabaikan kata-kata Henji barusan. Ia berjalan agak lebih cepat, namun tetap lambat. Henji yang di belakangnya terpaksa menyesuaikan supaya ia tidak membalap Michisa.
Benar saja, hujan kemudian turun. Henji cepat-cepat membuka payungnya. Michisa masih tetap berjalan tanpa mempedulikan sekelilingnya.
"Kau tidak bawa payung?" Tanya Henji.
Hujan semakin dan semakin deras. Michisa baru bergeming. Dengan lamban ia membuka payungnya. Sebagian tubuhnya basah akibat aksi lambatnya itu.
Henji yang dari tadi mengawasi saja mulai berpikir, hari ini Michisa begitu aneh. Walaupun hanya diam saja, Michisa belum pernah sampai bersikap lamban begini. Ekspresinya normal seperti biasa, namun bahasa tubuh dan tatapan matanya aneh. Seandainya ia bertanya ada apa, apa Michisa akan menjawab?
Hujan makin deras dan disertai angin kencang. Henji dan Michisa mulai kebasahan walaupun sudah memakai payung. Mereka harus berteduh.
"Hanazawa-san, hujan makin deras. Rumahku sudah sangat dekat dari sini, bagaimana kalau kau berteduh di sana dulu? Aku akan mengantarmu pulang kalau hujan sudah berhenti."
Michisa masih membisu. Angin makin kencang, akhirnya tanpa menunggu jawaban Michisa, Henji mengisyaratkan pada Michisa untuk mengikutinya.
"Ke sini, Hanazawa-san!"
Michisa mengikuti Henji sambil berlari-lari kecil. Baju mereka basah karena angin hujan. Hari ini, di luar perkiraannya sendiri, Michisa begitu shock akan kejadian di sekolah, saat memergoki teman-temannya yang munafik. Ia memang kelihatannya punya banyak teman, serta sering berbaur dengan mereka. Namun di antara mereka tak ada yang merupakan teman sejati. Ia juga sama sekali tak menduga bahwa ia akan tetap merasa sakit saat ia kehilangan teman palsu.
"Aku tak perlu siapapun," gumamnya sambil berlari kecil. Henji yang ada di depannya tak mendengar karena suara hujan.
Henji makin jauh. Langkah Michisa melambat. Pandangannya mulai kabur karena air mata.
"Aku tak perlu siapapun..."
Air matanya semakin berjatuhan. Ia tak kuat lagi menahan tangis. Rasa sepi yang ia simpan selama ini akhirnya berhasil mengikis dinding keteguhannya.
"Aku tak perlu siapapun... Aku tak pantas ditemani siapapun... Kyaa!"
Michisa tersandung di tengah gumamannya. Bajunya makin basah karena ia jatuh. Payungnya yang lepas dari tangan mulai diterbangkan angin. Wajahnya yang terkena angin hujan menyamarkan wajahnya yang menangis. Mulutnya memang bisa berbohong, tapi hatinya tidak. Ia ingin ada seseorang yang benar-benar menjadi temannya, menjadi sahabatnya. Tapi orang seperti itu tidak ia temukan di manapun, bahkan sampai sekarang.
"Hanazawa-san!" Henji menghampiri Michisa yang baru ia sadari tertinggal cukup jauh di belakang. Ia sempat menatap Michisa yang masih terkapar di jalanan.
"Hanazawa-san..."
Michisa diam terduduk. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Air hujan yang dingin dan air mata yang hangat bercampur di wajahnya.
"Maaf," Henji meraih lengan Michisa perlahan, "kau masih bisa jalan?"
Michisa mengangguk pelan sambil tetap menunduk. Henji membantunya berdiri dan kembali menuntunnya berlari kecil.
"Sabarlah sebentar lagi."
Michisa tetap membisu. Baguslah, Henji tak menyadari kalau ia menangis.


"Aku pulang!" seru Henji saat ia dan Michisa masuk ke rumah. Mereka berdua basah kuyup dan terlihat agak terengah-engah.
"Selamat datang," ibu Henji, Nona Hinata, menyambut mereka. Ia hanya menatap kedua anak itu tanpa bertanya apa-apa.
"Ibu, hujannya sangat deras, bolehkah dia berteduh dulu di sini?"
"Tentu saja," Nona Hinata menghampiri Michisa dan menatap wajahnya yang basah bercampur sembap. Beliau tersenyum, "Selamat datang di rumah Keluarga Tasunaga. Tenanglah, sudah tak apa-apa."
Michisa terpaku dengan kata-kata itu. Wanita ini membaca ekspresinya? Atau kata-katanya hanya kebetulan saja?
Riho muncul. Begitu melihat Michisa, ia langsung menghampirinya.
"Kak Hanazawa?" Riho memastikan kalau orang di depannya benar-benar Michisa, karena Michisa kelihatan kacau. Kakaknya juga. Mereka berdua basah kuyup dan berantakan.
"Henji, kau keringkan dulu dirimu. Biar ibu yang mengurus temanmu ini," ujar Nona Hinata. Henji menurut, melepas kaos kaki, menggulung celana panjangnya yang basah, lalu meninggalkan gadis-gadis itu. Ia menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.
Nona Hinata tersenyum pada Michisa, "siapa namamu?"
"Ah, saya... Hanazawa Michisa," jawab Michisa. Ia sudah agak lebih tenang sekarang.
"Oh, jadi kau ini anaknya Hanazawa Reina-san?"
"Y-Ya, benar," Michisa agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ibu Henji ternyata juga mengenal ibunya.
"Kau basah kuyup, bersihkanlah dirimu dan ganti bajumu. Akan kami pinjamkan. Riichan, tolong bantu dia, ya."
"Baik, Bu," Riho menurut.
"Michisa-chan, bagaimana kalau kau di sini sampai setelah makan malam? Hujan sepertinya masih akan turun. Nanti Henji bisa mengantarmu pulang."
"Ah... Jangan repot-repot..."
"Tidak, tidak repot kok! Aku sangat senang karena akhirnya ada teman Henji yang datang ke rumah," ujar Nona Reina senang.
Michisa diam mencerna kata-kata itu. Ia akhirnya mengangguk pasrah.
"Ikut aku, Kak. Kita ke kamarku saja," ajak Riho ceria.
Michisa mengikuti Riho naik tangga ke lantai atas rumah Henji. Ia mengedarkan pandangan seraya berjalan. Di luar dugaan, rumah Henji cukup besar. Nuansanya gabungan antara tradisional dan modern. Hunian yang kelihatannya lebih menyenangkan daripada apartemennya yang telah ia tinggali selama empat tahun itu.
Pikirannya beralih pada gadis di depannya, Tasunaga Riho. Gadis ini punya sorot mata yang mirip dengan Henji. Tegas namun menyembunyikan sesuatu. Sikap dan tutur katanya juga baik. Gadis yang sangat manis.
Enak ya, punya adik perempuan.
"Aku boleh memanggilmu 'Riho-san'?" Michisa memberanikan diri.
Riho berhenti berjalan, diam sebentar, lalu memutar badannya ke arah Michisa, "Ka.. Kakak mau memanggilku begitu?" Matanya berbinar-binar tak percaya.
Michisa tersenyum, "Tentu saja. Kamu boleh memanggilku 'Michisa'."
"Aku senang sekali ada orang lain yang memanggilku dengan nama kecil. Terima kasih, Kak!" ujar Riho dengan ceria. Nama panggilan bisa menggambarkan kedekatan hubungan antara dua orang. "Ayo, Kakak mandi saja. 'Kan basah begini. Akan kupinjamkan bajuku dan kusiapkan air hangat. Ah, Kak, adik perempuanku fans berat Kak Michisa, lho."
"Ternyata benar ya? Terima kasih banyak. Dia ada?"
"Ada," jawab Riho sambil menaiki anak tangga yang terakhir. Ia menuntun Michisa ke arah kanan, di sana ada tiga pintu.
"Ini toiletnya, yang paling kanan. Yang di tengah ini pintu kamarku, dan yang satu lagi kamar adikku, Harumi," jelas Riho. "Kalau yang di ujung sana itu kamar Kak Henji dan kamar orang tua kami."
Michisa mengangguk-angguk. Ia menoleh ke sisi kiri ruangan itu. Di sana ada televisi, rak buku, lemari, dan karpet. Ia menduga kalau di situlah tiga saudara ini bersantai. Mengobrol, makan kudapan, membaca manga, atau main game.
"Sini, Kak. Masuklah ke kamar mandi, airnya sudah siap. Aku akan siapkan baju dan kuurus barang-barang Kakak yang basah," tuntun Riho.
Michisa mengikuti arahan gadis itu dan segera membersihkan diri.


Henji keluar dari kamarnya dengan membawa handuk dan baju bersih. Ia berjalan menuju kamar mandi lain yang ada di antara kamarnya dan orang tuanya. Ia merasa ragu saat hendak membuka pintu kamar mandi. Sepertinya ada orang.
"Ada orang di dalam?" Tanya Henji sambil mengetuk pintu.
"Aku di sini, Kak! Buka saja pintunya, nggak dikunci!"
Itu suara Harumi. Henji membuka pintu perlahan, mendapati adiknya sedang mencuci gelas dan kuas-kuas cat air.
"Di kamar mandi yang satu lagi ada orang, jadi aku ke sini. Oh, Kakak kehujanan, ya?" tanya Harumi.
Henji tersenyum lembut, "Ya, begitulah. Aku basah dan kotor sekali, jadi harus mandi. Harurun habis melukis apa?"
"Rahasia!" Jawab Harumi ceria.
Henji tertawa kecil, "Hei, Harurun. Teman sekolahku datang ke rumah, lho."
"Eh?? Benarkah? Di mana dia?"
"Sepertinya dia sedang bersama Riichan. Kamu pasti senang kalau tahu siapa dia."
Harumi terdiam sebentar, berpikir. Lalu ia lekas menyelesaikan pekerjaannya. Ia membawa alat-alat lukisnya ke kamar. Henji menatap adiknya dengan senyum lalu masuk ke kamar mandi.
Harumi keluar dari kamarnya. Ia melihat kamar mandi yang tadinya ada orang sudah kosong, lalu masuk ke kamar kakak perempuannya tanpa mengetuk pintu.
"Kak Rii!"
"Harurun?"
"Kak Rii, kata Kak Henji temannya datang..." ucapan Harumi terhenti. Kakaknya tengah duduk di kursi meja belajar, menghadap ke tempat tidur. Sementara ada seorang gadis lain yang duduk di tempat tidur kakaknya. Rambut gadis yang memakai baju kakaknya itu masih terbalut handuk. Wajahnya tak asing bagi Harumi, tapi ini kali pertama mereka bertemu langsung.
"Michisa..." Harumi bergumam pelan.
"Kak Michisa, ini anak bungsu dalam keluarga kami, Tasunaga Harumi. Kami biasa memanggilnya Harurun," jelas Riho pada Michisa.
Michisa tersenyum menatap Harumi, "Halo, namaku Hanazawa Michisa."
Harumi langsung menghampiri Michisa. Ia grogi namun senang karena bisa bertemu idolanya. "Na-namaku Tasunaga Harumi! Aku tujuh tahun! Aku penggemar Kak Michisa! Aku senang sekali Kak Michisa ke sini!"
"Benarkah? Terima kasih banyak," ujar Michisa. "Duduk di sini, Harumi-chan."
Harumi sangat senang. Ia duduk di samping Michisa dengan semangat. "Kata Kak Henji kalung ini pemberian Kak Michisa. Apa benar?" Tanya Harumi sambil menunjukan kalung bintangnya.
Michisa mengangguk manis. Kenangan masa lalu muncul saat ia melihat kalung bintang itu.
"Tunggu sebentar, ya, Kak!" Harumi berlari cepat menuju kamarnya, mengambil sesuatu, lalu kembali lagi membawa topi cap hitam-putih bertandatangan Michisa. "Ini juga benar tandatangan Kakak?"
Michisa mengangguk lagi, "Ya. Aku senang ternyata kau benar-benar menjaganya, Harumi-chan."
Harumi tertawa senang.
"Kak Henji sangat suka memakai topi cap seperti ini. Dia punya beberapa. Sebenarnya yang ini salah satu topi favoritnya, tapi dia mengorbankan topi ini demi Harurun. Topi ini jadi milik Harurun sejak Kak Michisa menandatanganinya," ujar Riho.
"Begitu, ya? Aku baru tahu Tasunaga suka topi seperti ini. Kalau sekolah dia nggak pernah memakainya," ujar Michisa sambil memegang topi itu. Ia teringat kejadian di musim dingin yang lalu. Kalau dipikir baik-baik, mungkin itulah awal dari segalanya. Awal di mana Henji mulai melindunginya dari berbagai hal.
Ehm, mikir apa dia barusan? Melindungi agak berlebihan. Mungkin lebih tepatnya menolong... Ya, menolong.
Michisa mengobrol dengan Riho dan Harumi. Asyik sekali. Rasanya hangat.
"Kita bertiga berteman mulai sekarang 'kan?" tanya Harumi. Pertanyaan itu membuat Riho dan Michisa terdiam.
Teman... Akhirnya.
"Kita teman 'kan, Kak?" Riho bertanya lagi.
Michisa mengangguk dengan perasaan senang dan lega. Benar juga. Dia sebenarnya tak pernah sendirian. Dia bukannya tak punya teman. Dia punya Nijika, Hihara, dan sekarang juga ada Riho dan Harumi.
Riho dan Michisa bertukar alamat email dan nomor ponsel.
"Kak, kalau boleh jujur, sebenarnya Kakak teman pertamaku," ujar Riho pelan.
"Aku juga," tambah Michisa. "Berteman baiklah denganku, Riho."
Mereka semua tersenyum. Sekarang tidak ada yang sendirian lagi.
Henji berdiri di depan kamar Riho. Ia lega mengetahui bahwa Riho akhirnya punya teman. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia meninggalkan gadis-gadis itu, menyusul ibunya di dapur.
Apa ini artinya sekarang tinggal aku yang sendirian?
"Ibu, ada yang bisa kubantu?" Tanya Henji begitu ia tiba di dapur.
"Hmm, sepertinya tidak ada," ujar Nona Hinata sambil tersenyum penuh misteri. "Hari ini ayah makan malam di rumah, lho."
"Benarkah?" Henji bertanya lagi dengan semangat. Ayahnya selalu sibuk bekerja sehingga biasanya beliau pulang setelah makan malam.
"Ya," jawab Nona Hinata. "Ah, dengar suara itu? Sepertinya ada yang membuka gerbang. Mungkin itu ayah."
Henji berlari cepat ke arah pintu rumah seperti bocah. Ia mengintip lewat jendela. Ternyata benar itu ayahnya, Tuan Ryuuji.
"Aku pulang," ujar Tuan Ryuuji begitu masuk ke rumah.
"Selamat datang, Ayah," Henji dan Nona Hinata menyambutnya. Henji menyambut barang bawaan ayahnya, membawanya ke kamar orang tuanya seperti biasa. Sebelum turun kembali, ia berhenti sebentar di depan kamar Riho.
"Hei, ayah pulang!" Serunya dengan ceria, lalu langsung pergi lagi.
Riho dan Harumi ikut senang.
"Kak Michisa, ayo kita turun ke bawah! Kakak harus ketemu ayah!" ajak Harumi.
Mereka bertiga turun ke bawah. Yang paling harus bertemu dengan Michisa justru adalah ayah. Karena ayahlah yang paling kenal dengan keluarga Michisa.
"Ayah, selamat dataang!" Harumi melompat ke pelukan ayahnya. "Ayah, teman Kak Henji datang ke rumah! Dia akan makan malam bersama kita!"
Tuan Ryuuji menanggapi anak-anaknya dengan senyum. Michisa menatapnya. Wajah beliau mirip sekali dengan Henji. Terlihat sangar, namun saat tersenyum, aura wajahnya berubah.
"Siapa namamu?"
"Saya Hanazawa Michisa. Senang bisa bertemu Anda," Michisa membungkuk hormat.
"Hanazawa? Kamu anaknya Hanazawa Reina-san itu?" Tuan Ryuuji terlihat agak heran.
"Benar."
Tuan Ryuuji tertawa kecil, entah kenapa. "Sepertinya aku salah paham, tapi abaikan saja, ya. Kau benar-benar mirip dengan ayahmu, Hanazawa-san. Pasti sulit bagimu dan ibumu. Tapi kalian tabah sekali. Aku salut."
Michisa mengangkat kepalanya. Ia senang ada yang mengatakan kalau dia mirip ayahnya. Melihat sosok Tuan Ryuuji, entah mengapa ia jadi teringat pada almarhum ayahnya. Dia menahan diri agar tidak membuat matanya berkaca-kaca.
Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali merasakan seperti apa makan malam keluarga yang lengkap anggotanya. Begitu ramai, ceria, juga hangat.

*****

Michisa berdiri di ruang tamu, menunggu Henji yang akan mengantarnya pulang. Ia sibuk menatap foto keluarga besar Henji yang terpajang di sana. Tak lama kemudian, Henji datang.
"Maaf sudah membuatmu menunggu. Ayo pergi, Hanazawa-san."
"Tasunaga."
Henji diam. Ia memperhatikan Michisa menunjuk ke arah foto di dinding, "Itu... Sugawara Suzuki-kun, ya?"
Henji ikut melihat foto itu, "Ya, benar. Kalian sekelas, 'kan? Tentu saja kau kenal dia. Dia sepupuku."
"Sepupu?"
"Ya. Dia sepupu dan sekaligus satu-satunya temanku."
"Begitu."
"Kau tahu? Setelah dia, kaulah teman pertamaku yang pernah datang ke rumah ini."
Michisa menatap wajah Henji yang tersenyum santai melihat foto itu. Henji lalu menoleh padanya. Michisa terkejut dan berpaling ke arah foto itu lagi untuk menghindari pandangannya.
Henji mengamati mata Michisa dari samping. Ternyata benar, matanya bukan hitam.
"Ayo berangkat," ajak Michisa. Ia berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada seluruh anggota keluarga Henji. Ia lalu pulang diantar Henji.
"Ternyata benar kalau matamu bukan hitam," Henji memberanikan diri memulai percakapan, mencoba memecah kesunyian malam. "Aku baru menyadarinya tadi. Itu bukan lensa kontak, ya?"
"Ini warna mata ayahku," ujar Michisa tanpa menoleh ke arah Henji.
"Ah, maaf."
Michisa diam saja.
Salah lagi, deh. Maksud hati ingin memecah kesunyian, malah bikin tambah suram.
"Terima kasih untuk hari ini," ujar Michisa.
"Aku... Mungkin lebih pantas minta maaf. Aku seenaknya menyuruhmu datang."
"Kubilang, terima kasih. Jawab saja 'sama-sama'! Minta maaf terus! Kau ini kenapa deh?!"
Henji diam tertunduk. Salah lagi.
Mereka terus diam. Saat mereka melewati toko aksesoris, Michisa berhenti.
"Hei, tunggu sebentar, ya!" sahutnya sambil melesat masuk ke dalam toko setelah menitipkan barang bawaannya pada Henji. Tak lama kemudian ia kembali membawa sepasang jepit rambut.
"Berikan ini pada Riho," ujarnya sambil mengambil barangnya kembali.
"Terima kasih," Henji menyimpan jepit rambut itu di sakunya. Ternyata Michisa perhatian juga. Sepertinya dia sengaja memberikan ini pada Riho agar poni Riho yang panjang tidak menutupi wajahnya lagi. Padahal Henjilah yang selama ini selalu bersama Riho. "Aku tak pernah terpikir untuk memberinya jepit rambut."
"Mungkin karena kami sama-sama perempuan," sahut Michisa. "Kau jangan sedih begitu. Kau tidak salah kok."
"A-aku..." Henji salah tingkah.
Michisa tersenyum jahil ke arah Henji, "Kenapa? Kau cemburu karena aku bisa jadi kakak yang begitu baik?"
"Ka-kata siapa??"
Michisa tertawa lepas melihat reaksi Henji. Henji sendiri mulai bisa bersikap normal lagi. Jarang sekali ia melihat Michisa seperti ini. Henji selalu melihat wajahnya yang kesal, marah, menahan derita, bahkan mungkin ada yang senyum palsu. Walaupun Henji juga pernah melihat Michisa tersenyum tulus pada teman-teman kecilnya, semua itu bukan karena Henji.
Henji memperhatikan Michisa yang tertawa. Namun lama-lama ia merasa malu.
"Hei, sudahlah. Ayo kita jalan lagi. Memangnya aku sekonyol itu?"
Michisa masih menertawakannya, "Aku juga tak menyangka ternyata kau ini anak papa. Kau berubah jadi bocah dalam sekejap hanya karena ayahmu!"
"Me-memangnya kau beda??"
Michisa berjalan duluan sambil terus tertawa. Perlahan tapi pasti, tawanya menghilang. Kali ini benar-benar tak ada yang bicara sampai mereka tiba di apartemen Michisa.
"Terima kasih sudah datang ke rumah kami, Hanazawa-san," ujar Henji sambil sedikit membungkuk.
Tak ada respon dari Michisa. Karena membungkuk, Henji menatap ke bawah. Ia tak tahu ekspresi Michisa waktu itu. Michisa hanya memalingkan tubuhnya masuk ke apartemen.
"Selamat malam."
"Selamat malam. Sampai besok."
Henji tak berlama-lama di sana. Ia segera pergi.


"Aku pulang."
"Ah, welcome home, Michisa. Bagaimana rumah Henji-kun?"
Michisa terdiam sesaat, "menyenangkan."
"Syukurlah."
"Aku tidur duluan, Ma."
"Ya. Selamat tidur."
Michisa masuk ke kamarnya. Ia terduduk di balik pintu dengan tatapan kosong. Ia sudah berusaha keras.
"Kenapa? Kau cemburu karena aku bisa jadi kakak yang begitu baik?"
"Aku juga tak menyangka ternyata kau ini anak papa. Kau berubah jadi bocah dalam sekejap hanya karena ayahmu!"
"Me-memangnya kau beda??"
Henji benar.
Dia iri pada Henji yang punya saudara.
Dia iri pada Henji yang masih punya ayah.
Dia juga iri pada Henji yang akrab dengan sepupunya.
Dia iri pada Henji yang bisa dengan bangga memajang foto keluarga besar di rumah.
Ah, aku benar-benar payah. Padahal akhirnya aku bisa mendapat teman baru. Harusnya aku lebih bersyukur.

_______________________________________________________________

- Bersambung ke Chapter 7 - 

Catatan Penulis :

Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 6 : The Visit
Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! Akan hadir secepatnya lho (^_^)
FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar