Sabtu, 19 Oktober 2013

Honestly Chapter 8


8.       Lovability

Henji berjalan secepat mungkin. Nyaris berlari. Tadi pagi ia terlambat bangun, padahal ia harus selalu bangun lebih cepat karena harus mampir ke rumah Michisa dulu. Ternyata, ia bertemu Michisa di tengah jalan.
"Ah! Syukurlah. Kupikir kau tidak masuk," ujar Michisa.
"Maaf..." Balas Henji sambil terengah-engah.
Michisa tersenyum ramah melihat Henji, "Selamat pagi."
"Selamat pagi," Henji dengan kikuk balas tersenyum. "Maaf, tadi aku terlambat bangun."
"Tak apa. Aku bisa mengerti," sahut Michisa seraya berjalan kembali.
Henji mengikuti Michisa dan menjaga jarak satu langkah di belakang gadis itu. Dibanding dulu, jarak ini begitu dekat. Ia melirik Michisa dari atas sampai bawah.
"Kau sudah buka hadiah dariku?" tanya Michisa.
Henji menunjukan pergelangan tangannya sambil tersenyum tipis, "Ini 'kan?"
"Wah, sudah kau pakai? Syukurlah itu pas untukmu."
"Terima kasih, ya."
Michisa hanya membalas dengan senyum, lalu menoleh kembali ke jalan.

"Kemarin ayahku cerita, sebenarnya beliau mengira kau ini laki-laki," Henji kembali memulai pembicaraan.
"Eh? Begitu, ya? Memang sih waktu aku ke rumahmu, beliau bilang ada 'kesalahpahaman'..."
"Dan ternyata bukan cuma ayahku, tapi ibuku dan Riho juga mengira begitu."
Michisa diam sejenak, "Keluargamu tahu akan permintaan ibuku padamu?"
"Ya. Aku bilang pada mereka kalau 'aku diminta menjaga teman', dan mereka mengira teman yang dimaksud itu adalah seorang laki-laki. Begitu kuberitahu namamu, mereka baru tahu kalau kau perempuan."
"Kalau ayahmu berteman dengan ayahku, kenapa ayahmu bisa tidak tahu aku perempuan?"
"Beliau bilang orang tua kita terakhir bertemu waktu aku masih bayi sekali, usia 2 bulan. Saat itu kau masih dalam kandungan, dan diperkirakan sebagai anak laki-laki. Mereka tidak saling kontak lagi sejak kepulangan orang tuamu, jadi mereka terus menganggap kau ini laki-laki sampai akhirnya mereka bertemu langsung denganmu."
"Oh... Ibuku sama sekali tidak pernah cerita soal itu," ujar Michisa sambil tertawa kecil. "Mungkin bagus juga kalau aku ini laki-laki..."
"Apa?"
"Apa jadi laki-laki itu enak?"
Henji terdiam, "bukannya jadi perempuan atau laki-laki sama-sama ada enak dan tidak enaknya?"
"Hmm, benar sih..."
Henji memandang Michisa dari samping belakang. Kemudian ia menyadari sesuatu dan memperlambat langkah, "Ah, sudah dekat gerbang sekolah. Sampai nanti, ya."
"Hei!" Michisa menarik baju Henji. "Masuklah denganku! Sekarang kita teman 'kan?"
Henji sempat tertegun, namun akhirnya menurut. Ia mengikuti Michisa di belakang. Benar juga, ya. Mereka bukan lagi "majikan-budak" seperti dulu.

Begitu Michisa masuk ke gerbang sekolah, orang-orang menyapanya tanpa mempedulikan Henji. Henji hanya memperhatikan cara Michisa merespon mereka.
"Rasanya aneh," komentar Henji setelah sapaan kepada Michisa berhenti. "Entah kenapa aku merasa sebenarnya kau ini canggung menghadapi mereka."
Michisa sempat terdiam, "Yah, kadang-kadang aku merasa kesulitan, sih."
"Mau kubantu?" tanya Henji refleks.
"Bantu apa?" sahut Michisa sambil tertawa kecil. "Kau sangat sensitif dengan kata 'kesulitan', ya. Kau semangat sekali membantu orang."
Henji tersenyum tipis, "Maaf."
"Itu pujian kok. Justru itulah kelebihan utamamu," ujar Michisa sambil menatap Henji, lalu ia menunduk. "Entah apa sebenarnya kelebihanku..."
"Bukannya kau punya banyak? Kau ini baik dan ma-"
Henji menghentikan ucapannya. Ia menyadari apa yang awalnya ingin dia katakan barusan.
"Ma... Apa?" Michisa menoleh ke arah Henji, menunggu jawaban sembari rona merah di pipinya mulai terlihat sedikit.
"Lu-lupakan saja," Henji membuang muka. Wajahnya agak merona. Ia melirik Michisa yang menatapnya heran, lalu melempar pandangannya ke arah lain. Michisa juga melepas tatapannya dari Henji dan mulai memasuki gedung sekolah diikuti Henji.
"Aku ganti sepatuku dulu," ujar Henji seraya pergi meninggalkan Michisa. Rak sepatu mereka agak berjauhan karena kelas mereka berbeda.

Henji terpaku di depan loker sepatunya. Tadi dia hampir mengatakan pada Michisa kalau ia "manis". Jadi malu sekali rasanya. Sepertinya ini dipicu oleh kegembiraan karena sekarang ia dan Michisa benar-benar berteman.
Benar juga, ya. Ternyata punya teman sangat menyenangkan. Ada teman untuk bicara, menghabiskan waktu bersama, pokoknya segalanya. Dulu Henji hanya bisa mengobrol dengan Suzuki. Sekarang, ia punya Michisa, dan mungkin juga Kazuto.

"Yoo, pagi, Henjii~" sapa Kazuto.
"Ah, ya, selamat pagi, Ishimoto," balas Henji sembari tersenyum menyadari Kazuto memanggilnya dengan nama kecil. "Bagaimana kabarmu?"
"Yaah, seperti biasa. Aku agak sibuk dengan kegiatan-kegiatan OSIS. Semester dua nanti ada festival budaya, lho. Kau mau bantu kami?"
"Kalau aku sempat, boleh saja."
"Tasunaga, kau sudah selesai?" Michisa tiba-tiba muncul di tengah pembicaraan kedua lelaki itu. "Ah, maaf, aku nggak tahu kalian sedang bicara."
Kazuto tersenyum pada Michisa, "Selamat pagi, Hanazawa-san."
"Selamat pagi, Ketua Ishimoto."
Kazuto melirik Henji dan Michisa bergantian, "Kalian sepertinya makin akrab, ya?"
Michisa terlihat bingung dengan pertanyaan itu.
"Maaf, Hanazawa-san. Waktu itu dia melihatku meneleponmu. Dia dengar sejak awal hingga akhir," ujar Henji pada Michisa sambil tertunduk malu.
"Oh, itu..." Michisa mengangguk pelan. Soal tunggu-tungguan itu, ya...
"Waktu itu Henji kelihatan cemas banget," sahut Kazuto sambil tersenyum usil. "Kau harus jaga diri baik-baik supaya dia tidak cemas."
"Ishimoto..."
"Bercanda, hehe. Tapi aku serius, kau memang harus jaga diri baik-baik. Hei, kalian mau ikut naik ke atas sama-sama?"
Michisa dan Henji menurut. Mereka bertiga naik ke lantai dua bersama, tempat kelas Henji dan Kazuto berada. Sedangkan kelas Michisa berada di lantai tiga.
"Jadi orang tua kalian berteman, ya?" tanya Kazuto sambil berjalan.
"Ketua tahu banyak soal kami, ya?" tanya Michisa.
"Ah, tidak, kok. Aku hanya tahu sebatas itu karena Henji hanya bilang begitu."
Michisa melirik Henji dan Kazuto, lalu mengangguk pelan, "Ketua dan Tasunaga juga... Ternyata dekat, ya."
"Begitukah? Senangnya... Henji itu ternyata punya bakat di organisasi, lho, Hanazawa-san! Huh! Harusnya kau jadi anggota OSIS saja!" Kazuto memukul bahu Henji main-main.
"Nggak, kok..." Henji tertawa pelan melihat Kazuto. "Sayangnya banyak hal lain yang harus kulakukan. Terima kasih pujiannya."
"Ini dan itu, ya," Michisa menatap Henji dengan tatapan penuh maksud. "Misalnya kau harus hati-hati supaya tidak menyanyi di sembarang tempat."
"Hei, jangan bahas itu di sini, Hanazawa-san..."
"Maaf," Michisa tersenyum simpul. "Habis, senang rasanya melihatmu seperti ini. Ah, kalian sampai sini 'kan? Aku harus naik ke atas lagi. Sampai nanti."
"Sampai nanti."
Michisa menaiki tangga, meninggalkan Kazuto dan Henji yang juga berjalan pergi menuju kelas mereka.

"Kalau kelas kita sama, mungkin aku akan menanyakan banyak hal," ujar Kazuto. "Khususnya soal kalian berdua."
"Memangnya kami kenapa? Hanazawa-san hanya temanku."
"Habisnya kau seperti menyembunyikan sesuatu tadi, dan hanya kalian berdua yang tahu. Kalian seperti sudah lama saling kenal."
"Nggak begitu, kok."
"Hm, jadi sekarang kau ini teman dekatnya Hanazawa-san, ya? Dia bertengkar dengan Osawa-san dan Inoue-san dari kelasku 'kan?"
Henji diam menghela nafas, "Mau kubilang benar juga, nggak begitu sih..."
"Sebenarnya, aku melihat kalian berdua di koridor depan ruang OSIS setelah festival olahraga. Jujur saja, waktu itu kalian seperti pacaran."
"I-Itu..." Henji agak merona. "Wa-waktu itu Hanazawa-san hanya memberiku hadiah ulang tahun."
"Kau yakin 'hanya'? Pasti ada maksudnya," Kazuto masih terus bertanya. "Dan- eh, tunggu dulu. Ulang tahun katamu? Jadi waktu itu kau ulang tahun??"
Henji lega ia berhasil mengalihkan topik. Ia hanya tersenyum mengiyakan.
"Huooo maaf aku nggak tahu! Selamat ulang tahun, ya! Selamat! Selamat!"
"Terima kasih... Hei, kelasmu di sana 'kan?"
"Ya! Hehe, sampai nanti, Tasunaga!"
Henji menghela nafas lega setelah Kazuto menjauh. Pagi ini begitu heboh dibanding biasanya, tapi terasa menyenangkan.

Tapi kelas ini tetap sama saja.
Saat ia masuk, beberapa memandangnya aneh, lalu berbisik-bisik dengan temannya. Biasanya malah mereka tak menghiraukannya. Tak ada seorang pun yang menyapanya. Henji langsung menghampiri mejanya di barisan tengah dekat jendela, lalu duduk di sana. Tak lama kemudian guru pun masuk dan pelajaran dimulai.

******

"Sekarang istirahat makan siang, lho. Kesepian? Temui aku di taman belakang gedung utama, ya (-,-)"

Henji duduk menopang dagu di bangkunya sambil menutup ponsel. Beberapa saat kemudian ia mendapati dirinya senyum-senyum sendiri. Rasanya aneh. Begitu membacanya, ia langsung ingin sekali menemui Michisa. Dia beranjak pergi ke taman belakang sekolah.

Begitu sampai di sana, ia melihat Michisa bersama seorang laki-laki. Sepertinya dia kakak kelas.
"Kakak ingin bicara apa?" tanya Michisa pada orang itu.
Henji memilih untuk diam di tempat sampai pembicaraan mereka selesai. Kelihatannya penting. Sebenarnya menguping juga tidak baik, sih... Tapi mau ke mana lagi.
"Michisa-san, a-aku menyukaimu."

Henji terkejut. Ternyata ini pernyataan cinta. Ia melirik Michisa yang terlihat tenang-tenang saja. Michisa akan menjawab apa? Dia akan menolak? Atau menerima?

"M-maukah kau jadi pacarku?"
Michisa terdiam sesaat, "Maaf, senior. Aku sangat berterima kasih karena kau menyukai orang sepertiku. Tapi saat ini aku sedang tidak ingin punya pacar."
"Jadi..."
"Maaf, aku tidak bisa," ujar Michisa sambil membungkuk sedikit.
"Ah, ya..." Kakak kelas itu terpaku, "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mendengarkan."
Orang itu beranjak pergi, meninggalkan Michisa dengan tatapan kosong. Michisa sendiri juga berwajah dingin.
"Hanazawa-san..."
Michisa langsung menoleh ke sumber suara. Wajah dinginnya berubah menjadi senyum, "Tasunaga, sini!"
Henji menghampiri Michisa, "Maaf, tanpa sengaja aku mendengar percakapan barusan."
"Tak apa, abaikan saja," Michisa tersenyum manis. "Jangan khawatir soal itu. Itu biasa, kok."
"Ja-jadi itu sering terjadi?" Henji kaget, tak menyangka Michisa 'selaku' itu.
"Yah, untuk kasusku, seminggu bisa dua kali," Michisa duduk, lalu membuka kotak bekalnya. "Kalau identitasmu yang penyanyi bayangan itu terkuak, aku yakin kau juga akan kebanjiran pernyataan cinta."
"Untungnya tidak," Henji ikut duduk dan membuka bekalnya sambil melirik Michisa sesekali. "Kau pasti kerepotan, ya."
"Tentu saja," Michisa balik menatap Henji. "Tapi aku bisa mengatasinya, kok. Hm, kau tidak makan bekal?"
"Akan kumakan."
"Waa, itu buatan ibumu atau Riho?"
"Campuran keduanya."
"Bagusnya. Aku nyaris selalu membuatnya sendiri. Jadi rasanya biasa banget."
"Hebat."
"Hei, responmu pendek-pendek amat," Michisa menggerutu. "Hmm, selamat makan."

Untuk beberapa saat mereka makan dalam diam. Henji memperhatikan Michisa beberapa kali. Michisa lucu sekali kalau sedang makan.
"Kenapa melihatku terus?"
"Ah, nggak apa-apa," Henji terkekeh pelan dan mengalihkan muka ke arah lain.
"Apa yang lucu?"
"Nggak, kok, nggak ada..."
Michisa tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia berhenti bertanya. Setelah ia diam beberapa saat, wajahnya kelihatan sedikit merona, "Hei, Tasunaga."
"Hm?"
"Boleh aku memanggilmu 'Henji'?"
Henji langsung kembali menoleh pada Michisa, "Ah, y-ya... Sesukamu saja."
"Dan juga, tolong jangan panggil aku 'Hanazawa-san'. Setidaknya hilangkan 'san' itu."
"Baiklah, Hanazawa."
Michisa tersenyum puas sambil menepuk-nepuk pundak Henji, "Bagus, begitu, Henji-kun."
Henji tersenyum, lalu tertunduk dan tertawa pelan dengan tangan menutupi wajah. "Hei, Hanazawa."
"Hm?"
"Terima kasih, ya," Henji melirik Michisa sambil tetap tertunduk.
Michisa hanya menatap Henji, menunggunya melanjutkan kalimatnya.
"Kalau kau nggak ada, saat ini aku pasti sedang makan sendirian di samping jendela. Nggak bicara sepatah kata pun, walaupun banyak orang yang mengobrol di kelas. Aku hanya akan melamun atau sibuk dengan hal lain sendirian."
Michisa menarik nafas, "Sama-sama. Kalau aku nggak bersamamu saat ini, aku pasti juga sedang makan tanpa bicara sepatah kata pun, walaupun banyak yang makan bersamaku. Terima kasih juga, ya."
Henji tersenyum lembut. Refleks, ia mengelus kepala Michisa. Michisa langsung terkikik pelan.
"Ke-kenapa?"
"Sepertinya kau sering mengelus kepala orang, ya. Aku melihatmu mengelus kepala Riho dan Harumi beberapa kali dalam sekali kunjungan ke rumahmu."
Henji langsung menarik tangannya, "Maaf, sepertinya itu kebiasaan yang ditularkan ayahku. Maaf, ya."
"Nggak apa-apa. Aku bisa mengerti."
Henji dan Michisa kembali sibuk dengan makanan mereka masing-masing.

"Yo! Boleh gabung?"
Michisa dan Henji melirik ke sumber suara. Ternyata itu Kazuto. Mereka melirik satu sama lain sebelum Henji akhirnya menjawab, "Silakan."
Kazuto duduk bersama mereka dan dengan ceria membuka makanannya, "Maaf, ya. Aku nggak punya teman makan."
Henji diam menatap Kazuto, "Kau cuma makan itu? Roti melon?"
"Eh? Ya, hari ini aku lupa bawa bekal," Kazuto cengengesan. "Tapi tenang saja, aku puas dengan ini, kok."
"Makan denganku saja. Itu kurang mengenyangkan."
"Ah! Nggak, makasih banyak! Kau baik sekali," ujar Kazuto sambil mulai melahap roti melon itu.
"Maaf, tapi... Kenapa ketua bisa sampai nggak punya teman makan?" tanya Michisa.
"Makan dengan siapa itu suka-suka aku 'kan. Hari ini aku inginnya makan dengan kalian."
"Kenapa?"
"Habisnya kalian menarik," jawab Kazuto di sela-sela makannya. "Menurut pengamatanku, Henji itu siswa yang paling sering menyendiri di angkatan kita! Introvert!"
Henji tampak kaget, "Oi, kau benar-benar mengamatiku begitu?"
"Kalau Hanazawa-san, menurut pengamatanku, walaupun populer dan dikelilingi banyak orang, kau cenderung irit bicara dan menghindari orang! Introvert juga!"
Michisa mematung. Kalah. Ketua OSIS memang hebat. Henji agak kaget juga mendengar komentar Kazuto soal Michisa. Berlawanan sekali dengan Michisa yang mengobrol dengannya dari tadi.
"Sebenarnya aku memperhatikan kalian selama beberapa saat tadi. Maaf, ya."
Henji dan Michisa makin kaget. Malu, deh.
"Dan sifat kalian kalau sedang bersama jadi beda, ya. Kalian berdua jadi lebih banyak bicara," Kazuto tersenyum lebar di tengah presentasinya. "Banyak sifat baru kalian yang belum pernah kulihat. Makanya kubilang kalian menarik."
Jadi begitu maksudnya.

Henji menghela nafas, "Kau memang suka sekali memperhatikan orang, ya, Ishimoto."
Kazuto tersenyum bangga, "Panggil 'Kazuto' saaja, Henji-kuun..."
Henji agak shock, "Dan ternyata tadi kau benar-benar nguping, ya?"
"Nguping nggak, yaa..."
Jadi dia dengar soal pergantian nama panggilan itu? Dasar Kazuto...
"Terima kasih makanannya," Michisa menyudahi makan. "Aku duluan, ya."
"Kau sudah selesai?" tanya Henji.
"Ya," Michisa berdiri dan mulai melangkah pergi, tapi kemudian ia menoleh kembali, "oh iya, Henji-kun, pulang nanti bisa temani aku ke pertokoan?"
Henji diam sesaat, lalu tersenyum, "Tentu."
"Terima kasih. Sampai jumpa di pohon itu," Michisa tersenyum, lalu meninggalkan kedua laki-laki itu.

"Hmm. Aku dicuekin, deh. Kalian marah?" celetuk Kazuto.
"Aku nggak marah, kok."
Untuk beberapa saat tak ada yang bicara.
Kazuto menatap Henji yang bersikap cuek, lalu tersenyum jahil, "Hanazawa-san manis, ya."
"Memang dia selalu begitu."
Kazuto tertegun, tak menyangka umpannya berhasil, "Hee... Selalu?"
Henji tergelak menyadari kata-katanya barusan. Wajahnya memerah malu melihat Kazuto yang menatapnya dengan senyum kemenangan usil.
"Bahkan Tasunaga Henji juga laki-laki biasa yang tertarik pada perempuan. Barusan dia bilang Hanazawa-san SELALU manis," Kazuto mulai bicara dengan nada mendongeng.
"Bu-bukan cuma aku yang berpikir begitu, 'kan??"
"Memang. Hanazawa-san banyak yang suka. Setiap pekan pasti ada yang nembak."
"Di-dia hanya sekedar teman baikku," Henji memalingkan muka.
"Perasaanmu itu hanya perasaan kagum atau perasaan suka? Dari mata turun ke hati, lho."
Henji hanya diam. Wajahnya belum kembali normal. Ia malu sekali akan kalimat pujian tanpa pikir itu.
"Maaf, ya. Hari ini aku usil sekali."
Henji menghela nafas beberapa kali, "Sudahlah."

"Boleh aku tanya? Orang tua kalian memang berteman, tapi kurasa itu tak ada hubungannya dengan kedekatan kalian. Kenapa kalian selalu sama-sama?"
"Ibunya minta aku menjaga dia."
"Heh? Menjaga dalam arti 'mengawasi' atau 'melindungi'?"
"Melindungi."
"Ke-kenapa segitunya?"
"Entahlah. Aku merasa ada hal yang mereka sembunyikan, tapi aku belum bisa tahu apa itu. Aku yakin itu bukan hal yang jahat," Henji menyuap suapan makanan terakhirnya. "Ngomong-ngomong, aku cerita begini karena aku menganggapmu teman, jadi tolong jaga sebagai rahasia, ya, Kazuto."
"Siap!" Kazuto tampak ceria. "Tapi aku masih heran. Kenapa ibunya sampai minta orang lain menjaga dia?"
Henji diam sejenak, "Jangan bilang siapapun, ya. Tapi... ayah Hanazawa sudah meninggal."
Kazuto kaget. Sama sekali tak menyangka, "Aku pernah dengar dia anak tunggal. Jadi dia hanya tinggal dengan ibunya? Memang terdengar nggak aman, sih. Apalagi dia aktris yang sedang naik daun."
"19 tahun yang lalu ayahnya pernah jadi klien ayahku, dan menurut ayahnya kinerja ayahku sangat bagus. Mungkin ibunya berpikir kinerja ayahku itu turun juga ke putranya, alias aku. Jadilah ibunya memintaku."
"Hei, tunggu, deh. Sekarang kau dan Hanazawa-san jadi terdengar seperti majikan dan pengawalnya," Kazuto berkomentar tanpa pikir.
"Memang, sih. Ada sedikit rasa terpaksa yang muncul waktu aku setuju akan menjaganya. Secara nggak langsung aku dan dia jadi atasan-bawahan. Tapi langsung kutepis karena ayahku pernah mengajarkan kalau menolong orang itu harus tulus."
"Terus, bagaimana reaksi awal Hanazawa-san?"
Henji tersenyum tipis sembari mengingat-ingat, "Dia marah besar. Dulu, kalau nggak bersikap kasar, dia akan bersikap dingin padaku. Sampai-sampai aku berpikir kalau dia sebenarnya membenciku."
"Mungkin dia khawatir padamu," Kazuto tersenyum simpul.
"Mungkin," Henji mendongak ke langit sesaat. "Agak berlebihan, sih, tapi di hari setelah festival olahraga itu, semuanya berubah. Mmm, sebelumnya... Waktu itu kau melihat sejauh apa?"
"Sebenarnya waktu itu aku nggak bermaksud mengintip. Aku mau ke ruang OSIS karena ada barang yang ingin kuambil. Ternyata waktu baru masuk ke koridor aku melihat Hanazawa-san membungkuk padamu. Aku nggak bisa mendengar apa yang kalian bicarakan. Lalu aku melihat kau mengelus kepalanya dan menariknya duduk..." Kazuto mulai merona malu.
"Oi, kenapa kau merona?"
"Jujur saja, waktu itu kukira kau mau menciumnya. Tapi aku tahu, kok, aku salah besar," Kazuto menutup wajahnya dengan tangan. "Lalu kalian pergi. Hanya itu yang kulihat."
Henji yang mulai kembali normal jadi merona lagi mendengar ucapan Kazuto, "Aku nggak akan melakukan itu, kok."
"Ya. Maafkan dugaanku," Kazuto menghela nafas panjang. "Berarti Hanazawa-san yang dulu dan sekarang beda sekali, ya?"
Henji tersenyum menerawang, "ya. Dia yang sekarang kelihatan lebih hidup. Aku jadi senang juga melihatnya begitu."
Kazuto tersenyum juga, "Sebenarnya, kalau kau tetap menolong orang lain seperti ini, aku yakin kau akan segera mendapat banyak teman. Jadi, tetaplah begitu. Hanazawa-san juga. Kalian berdua harus lebih ramah dan sering tersenyum. Menurutku kalian hanya kurang jujur."
"Kurang jujur?"
"Ya. Kalian kurang jujur. Kalian bisa bersikap jujur pada orang-orang tertentu, tapi nggak bisa begitu pada orang lain. Bicaralah yang tulus. Nggak perlu takut dijauhi, 'kan sekarang kalian punya satu sama lain. Ada aku juga, kok."
Henji mencerna kata-kata Kazuto. Ia tertawa kecil, "Kau memang hebat. Kurasa semua ucapanmu tepat sasaran."
"Sebenarnya aku hanya menduga-duga apa yang kalian rasakan saat aku mengamati kalian. Kalau soal perasaan, perempuan lebih ahli. Mereka lebih sensitif," tambah Kazuto. "Ah, terakhir, tolong sampaikan permintaan maafku pada Hanazawa-san, ya. Aku takut dia marah."
"Tentu. Akan kusampaikan."

*****

Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, Henji pergi keluar kelas. Ia segera turun ke lantai dasar sekolah, lalu mengganti sepatu. Saat hendak keluar, ia melihat sosok gadis berambut cokelat keemasan panjang yang baru mau membuka loker sepatu. Hanazawa Michisa.
Tanpa pikir panjang, Henji langsung menghampirinya, "Hanazawa!"
Yang dipanggil langsung menoleh, "Ah, Henji-kun."
"Kebetulan ketemu di sini."
"Ya. Maaf, ya, kalau aku mengganggu rencana awalmu setelah pulang sekolah," ujar Michisa sambil membuka loker sepatunya. Ternyata ia melihat benda lain selain sepatunya ada di dalam situ. "Eh? Surat, ya? Sudah lama sekali nggak ada yang begini."
Henji menatap surat yang dipegang Michisa. Amplop dan kertasnya berwarna biru pastel. "Surat apa?"
Michisa tidak langsung menjawab. Ia membacanya dulu, kemudian menoleh pada Henji, "Pengirimnya minta aku menemuinya di taman samping gerbang sekolah."
"Eh?" Henji tampak agak cemas melihat Michisa langsung berjalan pergi. "Kau mau ke sana? Memangnya itu aman? Kau nggak tahu siapa pengirimnya 'kan?"
"Hei, tenang saja. Itu 'kan bukan surat tantangan," sanggah Michisa. "Ja-jangan-jangan ini pertama kalinya kau melihat yang begitu?"
"Me-memang sebenarnya itu apa?" Tanya Henji polos.
"Se-se-serius? Kau belum pernah lihat atau dengar?" Michisa menatap Henji kaku, "biasanya itu surat cinta. Pengirimnya minta aku menemuinya supaya dia bisa nembak. Sampai sini kau mengerti?"
"Oh," Henji manggut-manggut pelan.
"Aku bisa saja mengabaikannya supaya kita bisa langsung pergi. Bagaimana menurutmu?"
"Kasihan kalau kau menolaknya mentah-mentah dengan nggak datang, 'kan."
Michisa tertegun mendengar ucapan Henji, lalu tersenyum, "Baiklah, akan kutemui dia," ujarnya seraya menarik tangan Henji. "Kau juga ikut."
"Hah?" Henji kaget, tapi tidak memberontak. "Bukannya itu privasi?"
"Ikut, lalu sembunyi. Seperti yang kau lakukan tadi siang," ujar Michisa sambil tersenyum jahil.
Henji membuang mukanya karena malu. Dia jadi merasa seperti penjahat karena pernah menguping.

Dari jauh, kelihatan seorang laki-laki yang menunggu di tempat pertemuan. Dari dasi seragamnya, sepertinya dia seangkatan Henji. Seragam SMA Nosaka memang memiliki angka berbeda pada ujung dasinya, menandakan level pemakainya.
Michisa menyuruh Henji menunggu di sebuah pohon di dekat sana, sementara ia menemui laki-laki itu.

"Maaf karena baru datang," ucap Michisa sambil menunduk sedikit.
"Tak apa-apa. Terima kasih sudah kemari," laki-laki itu tersenyum malu. "Namaku Maeda Mizuki, aku kelas 2-1, sekaligus wakil ketua klub karate. Aku ingin membicarakan sesuatu..."
Michisa menunggu kelanjutan kata-kata Mizuki dengan tenang. Ekspresinya biasa saja.
"Mau jadi pacarku tidak? Aku suka padamu sejak kita naik ke kelas dua."
Michisa tak langsung menjawab. Setelah menatap Mizuki beberapa saat, ia menjawab, "Maaf, Maeda-kun. Aku sedang tidak ingin punya pacar, jadi aku tidak bisa."
Mizuki kaget, ia terdiam beberapa saat, "Be-begitu, ya... Apa boleh buat..."
Michisa mulai bertatapan dingin.
"Lalu... Laki-laki yang tadi itu siapa?"
"Apa?"
"Tadi aku melihatmu keluar gedung sekolah sambil menarik tangannya. Dia pacarmu?"
"Maksudmu Henji-kun?" tanya Michisa. "Dia hanya temanku."
"Teman?" ekspresi Mizuki mulai berubah curiga. "Dia seangkatan kita? Aku nggak ingat ada anak bernama 'Henji' di angkatan, bahkan di sekolah. Kenapa juga siswi terkenal sepertimu berteman dengan orang suram macam di-"
"Dia teman terbaikku," potong Michisa sambil tersenyum kesal. "Kalau tidak mengenalnya, tolong jangan bicara sembarangan soal dia, Maeda-kun. Aku permisi."

Michisa melangkah pergi dengan perasaan kesal. Entah kenapa dia merasa tidak suka sekali kalau ada yang menjelek-jelekan Henji. Dia bergegas menuju pohon tempat Henji menunggu.
"Kau sudah selesai?" Tanya Henji begitu melihat Michisa.
Michisa diam saja. Ia menatap Henji dari bawah sampai atas, lalu berhenti di wajahnya, "Aku bingung."
Henji tampak heran, "apa?"
"Kau baik sekali," ujarnya sambil tersenyum haru. "Tapi kenapa kau sendirian terus?"
Henji sedikit merona karena tersanjung, namun diam tak bisa menjawab. Ia terlihat ragu, "Mungkin..."
"Yah, sudahlah. Yang kuat, ya!" seru Michisa sambil meninju bahu Henji main-main. Ia lalu pergi dengan senyum di wajahnya.
Henji mengikutinya di belakang. Michisa aneh sekali. Apa ada sesuatu dalam pernyataan cinta tadi? Pembicaraan Michisa dengan laki-laki itu ternyata tidak bisa terdengar jelas dari tempat Henji menunggu. Henji hanya melihat Michisa dengan ekspresi yang tak jauh beda dibanding tadi siang : menyikapi pernyataan cinta dengan tenang, bahkan dingin. Hanya saja yang barusan sepertinya diakhiri dengan ekspresi kesal.
Henji menyusul Michisa, "Sebenarnya kau kenapa?"
"Bukan apa-apa," Michisa tersenyum, namun nada bicaranya terdengar sedih. "Aku hanya kesal karena dia menjelek-jelekan teman baikku."
"Aku yakin dia hanya asal bicara."
"Aku tahu. Seandainya dia mengenalmu, dia nggak akan bicara begitu."
Henji diam sesaat, "Jadi teman yang kau maksud itu aku?"
Michisa menoleh pada Henji dengan cepat, "Bodoh, dari tadi aku membicarakanmu! Memangnya tadi kau nggak mendengar apa yang dia katakan?"
"Ma-maaf, tapi pembicaraan kalian kurang jelas terdengar dari pohon itu."
Michisa tampak kaget, "Ah... Ya, sudahlah."
Hening. Tak ada lagi yang bicara. Langit sore hari itu begitu indah.


Begitu tiba di kompleks pertokoan, Michisa mampir ke sebuah toko musik.
"Jadi kau mau beli CD?" tanya Henji.
"Ya. Sebenarnya aku belum beli single terakhir Tasuku," jawabnya sambil tersenyum malu.
"Hee... Kenapa belum? Kukira kau penggemarnya..."
"Apa sih? Yang penting aku beli 'kan?" sanggahnya sambil mengambil sekeping CD. "Summer Alone... Kenapa pilih judul begitu?"
"Lihat liriknya dulu," jawab Henji sambil tersenyum. Kelihatannya ia percaya diri sekali.
Michisa tertegun melihat Henji. Jarang sekali Henji berwajah begitu. Ia lalu membawa CD itu ke kasir. Setelah dibayar, ia menghampiri player yang tersedia di sana, mencoba apakah CD-nya berfungsi baik atau tidak. Michisa memakai headphone lalu memutar CD itu, Sementara Henji menunggunya dengan melihat-lihat koleksi lain toko itu.
Entah kenapa ia jadi teringat saat-saat ia mulai benar-benar membiasakan diri dengan Bahasa Jepang. Dulu nilai tes mendengarkan miliknya selalu jelek.
Musiknya mulai terdengar. Michisa menghayati musik musim panas itu sambil mendengarkan liriknya baik-baik, walaupun sebenarnya ia bisa saja melihat teks liriknya.

Ayahku memanaskan mobil
Ibuku menyiapkan bekal
Adik-adikku terus tertawa
Kami akan ke pantai

Satu musim panas lagi dating
Sebulan penuh dengan keluarga
Namun kini, di pantai ini
Aku melihatmu sendirian

Kulihat dirimu dari jauh
Mengapa kau sendirian?
Tanpa teman atau keluarga
Menerawang laut biru
Adakah yang engkau tutupi?
Kau bisa cerita apapun
Kubayangkan diriku di sana
Berdiri tepat di sisimu...

Aku memang pantas sendirian
Tak punya teman untuk pergi
Namun bukan itu alasanmu
Untuk pergi sendiri

Kalau aku datang mendekat
Apa kau akan marah padaku?
Begitu kebetulan rasanya
Kita bertemu di sini

Kulihat dirimu dari jauh
Mengapa kau sendirian?
Tanpa teman atau keluarga
Menerawang laut biru
Adakah yang engkau tutupi?
Kau bisa cerita apapun
Kubayangkan diriku di sana
Berdiri tepat di sisimu...

Hanya dengan
Satu gerakan mata
Semua berubah

Kau melambaikan tangan padaku
Memanggilku dengan ceria
Butuh waktu menyadarinya
Ini bukan khayalan lagi
Kau berlari menuju tempatku
Menyapa adik perempuanku
Ternyata justru dirimu yang telah
Berdiri tepat di sisiku...

Kalau kau sendirian, datanglah
Aku akan menemanimu
Berdiri tepat di sisimu...
Berdiri tepat di sisiku...
Ini bukan lagi
Musim panas seorang diri


Michisa mendapati dirinya menatap Henji saat lagu itu selesai. Bagus sekali. Entah kenapa liriknya begitu mengena di hatinya. Dia memasukkan CD-nya kembali ke kotak, lalu menghampiri Henji.
"Sudah?" tanya Henji ceria.
Michisa hanya tersenyum manis dan mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Ia lalu berjalan keluar. Tanpa disuruh, Henji pun mengikutinya.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya ingin tahu.
"Judulnya terdengar sedih, tapi ternyata lagunya happy ending, ya. Unik," jawab Michisa. "Hei, Henji-kun..."
Henji tertegun, "apa?"
"Kau menulis lirik seperti itu, dan lirik seperti di lagu sebelumnya juga... Sepertinya kau pernah punya pengalaman jatuh cinta, ya?"
Henji terdiam sesaat, "Sebenarnya nggak, sih. Jujur saja, aku belum pernah jatuh cinta. Aku hanya mengira-ngira waktu menulis liriknya," jawab Henji ragu-ragu. "Menurutku laguku hanya lagu cinta yang setengah-setengah. Nggak jelas untuk siapa."
"Tapi tetap bagus, lho. Sebenarnya aku juga suka menulis lirik, tapi aku nggak bisa mencari nada," tambah Michisa.
"Kalau begitu tolong tuliskan satu untukku."
Michisa terkejut, "Hah?"
"Kazuto bilang, kalau soal perasaan, perempuan lebih ahli," ujar Henji. "Ah, benar juga. Tadi dia minta tolong sampaikan permintaan maafnya untukmu. Dia takut kau marah."
Michisa menghela nafas panjang, "Permintaan maaf diterima. Soal menulis lirik, aku nggak yakin..."
"Kau pasti bisa. Biar kuberi kau buku catatan. Silakan kau tulis apapun sesukamu. Kalau ada kata-kata yang bagus, akan kujadikan lagu. Dan kalau lagunya bagus, mungkin bisa kumasukkan ke single berikutnya. Oke? Ayo, kita ke toko buku di sana."
Michisa hanya bisa menurut. Henji kelihatan senang sekali. Terakhir kali ia melihat Henji seperti ini adalah saat ia datang ke rumah Henji. Henji juga jadi agak pemaksa. Rasanya jadi tidak tega kalau dibantah.
"Yang ini nggak apa-apa 'kan?" Henji menyodorkan sebuah catatan berwarna ungu muda pada Michisa.
"Maksudmu 'memberikan' itu... Kau mau membelikan aku catatan?"
"Ya. Anggap saja ucapan terima kasih."
"Hei, jangan. Biar kubeli sendiri..."
"Nggak apa-apa," potong Henji sambil tersenyum.
Michisa tertegun. Henji punya banyak sisi lain. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat pertemuan pertamanya dengan Henji musim dingin lalu. Saat ia menawarkan Henji traktiran sebagai ucapan terima kasih, laki-laki itu memaksa menolak. Tapi sekarang, saat Henji ingin memberikan buku catatan sebagai ucapan terima kasih, ia tak bisa menolak.
"Kau curang," gumamnya.
Tapi siapa yang bisa menolak Henji yang sekarang? Baik hati, ceria, percaya diri... Hati Michisa berdebar senang. Untunglah Henji berubah jadi sosok yang luar biasa. Untunglah dia tak sendirian lagi. Untunglah, dia tak menyadari apa yang Michisa rasakan sejak dulu.

*****

"Kak, kok bengong?"
Henji tersadar dari lamunannya. Ia melihat Riho duduk di sebelahnya sambil membaca buku, "Ah, nggak apa-apa."
"Sebenarnya setelah hari ulang tahun Kakak tempo hari, aku merasa Kakak jadi banyak melamun."
"Su-sungguh?"
"Sungguh."
"Perasaanmu saja, 'kan?"
"Uhumm..."
Riho tak bicara lagi. Ia asyik dengan buku bacaannya.

Henji berdiri, lalu masuk ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur. Memandang langit-langit kamar sambil merenung.
Sebenarnya ia sendiri merasa kalau dirinya jadi sering melamun saat di rumah. Riho memang tidak salah. Ini dimulai sejak malam di hari ulang tahunnya tempo hari.

"Selamat ulang tahun, ya, Tasunaga."
Wajah Michisa waktu tersenyum memberikan ucapan selamat, wajah itu terbayang terus.
Wajah tersenyumnya terbayang terus.
Dan entah kenapa ia merasa Michisa yang saat itu adalah Michisa yang paling cantik yang pernah ia lihat. Begitu manis dan tulus.

Akhirnya Henji jadi memikirkan banyak hal tentang Michisa. Ayah Michisa meninggal saat usianya 12 tahun. Tak lama setelah itu neneknya mengusir dia dan ibunya ke Jepang. Apa waktu itu dia memang sudah biasa dengan Bahasa Jepang? Sebelumnya 'kan dia di Inggris terus. Kalau belum, hebat sekali dia. Berarti dia menjalani masa SMP di negara lain walau tidak benar-benar mengerti bahasa mereka. Lalu kenapa dia memutuskan masuk SMA Nosaka? Apa dia senang di sini? Apa yang dia suka? Apa dia tidak suka?

Henji ingin tahu lebih banyak tentang Michisa. Ingin tahu sifat-sifat tak terduga lainnya yang dimiliki teman baiknya itu.
"Aku hanya kesal karena dia menjelek-jelekan teman baikku."
Henji tak tahu apa yang dibicarakan orang lain soal dirinya. Tapi ia pun merasa, kalau seandainya Michisa dijelek-jelekkan orang lain, dia juga akan merasa kesal.
"Bahkan Tasunaga Henji juga laki-laki biasa yang tertarik pada perempuan. Barusan dia bilang Hanazawa-san SELALU manis."
Ah, sial. Tiba-tiba Kazuto yang muncul. Michisa teman baiknya. Bukannya wajar memuji teman sendiri? Michisa memang sosok yang hebat.
"Perasaanmu itu hanya perasaan kagum atau perasaan suka? Dari mata turun ke hati, lho."
Henji menggeram tak jelas. Dia bisa gila kalau terus memikirkan ini. Memangnya perasaan ini perasaan suka? Apa banyak memikirkan berarti suka? Belakangan ini kalau di rumah Henji banyak memikirkan Michisa. Tapi di sekolah, ia juga banyak memikirkan keluarganya. Apa itu perasaan yang sama? Dan bagaimana caranya tahu perasaan apa itu jika teman perempuannya hanya Michisa seorang? Apa ia begini ke setiap teman perempuan? Atau hanya Michisa?
Henji merasa suatu hari nanti dia akan benar-benar gila.


- Bersambung ke Chapter 9 - 
<<< Chapter 7 : Seventeen
Honestly Chapters 
Chapter 9 : Growing Seeds >>>

Catatan Penulis :

Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 8 : Lovability
Untuk kesekian kalinya kuumumkan, setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Harap maklum karena saat ini saya ada di "kelas tiganya kelas tiga".

Btw chapter ini banyak latar belakangnya, nih. Pertama mulai dari judul chapternya, Lovability. Ini adalah salah satu kata dalam Bahasa Inggris yang paling aku suka setelah "Halcyon". Artinya kurang lebih "kemampuan untuk mencintai". Kode? Iya deh bodo amat -_-
Aku (atau saya? Nggak konsisten) pertama denger kata itu dari albumnya ZE:A, boyband K-Pop. Kebetulan pas untuk chapter ini, jadi kupakelah.

Terus, untuk orang yang baca chapter ini dan tahu seperti apa saya di dunia nyata, mungkin Anda bakal ngerasa jomplang banget. Iya. Fildzah yang luarnya alim itu ternyata nulisnya beginian. Mungkin Anda bakal mikir gitu.

Tapi ya, segala hal yang nggak bisa kulakukan di dunia nyata, kutuangkan dalam bentuk fiksi. Dunia fiksi nggak punya aturan, hanya diikuti oleh etika dunia nyata. Jadi maksudnya saya ngerasa seolah-olah melampiaskan keterbatasan dunia nyata ke dunia lain, gitu. Jadi saya kehilangan keinginan untuk melakukan hal-hal yang dilarang di dunia nyata. Oke maaf penjelasannya membingungkan.

Masalah lain yang kutemui saat menulis chapter ini adalah sudut pandang. Sebenarnya udah ngerasa gini dari awal nulis novel ini sih. Aku perempuan. Tokoh utamanya laki-laki. Apa aku yang perempuan ini bisa mengungkapkan perasaan seorang laki-laki dengan benar? Itu yang masih kubingungkan.

Karena itulah saya mohon sekali kritik dan saran Anda jika memang ada. Cukup sekian dulu, ya. Terima kasih telah membaca Honestly!

FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar