7.
Seventeen
Hari itu, Rabu
pagi, Henji berangkat sekolah seperti biasa, mengawal gadis manis egois yang
asyik dengan dunianya sendiri. Entah kenapa hari ini Michisa tampak seru sekali
dengan ponselnya. Baru sebentar menutup ponsel, ponsel itu berdering lagi
karena menerima pesan. Dibalas, ditutup, berdering lagi, dibalas lagi, begitu
seterusnya. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Michisa sibuk dengan ponselnya
benar-benar sejak berangkat dari rumah sampai ke sekolah.
Ya sudahlah.
Sebaiknya Henji tidak usah ikut campur. Mungkin itu temannya.
Eh, ternyata
Michisa punya teman ya?
Henji baru mulai
memperhatikan sejak mendengar percakapan adik-adiknya dengan Michisa lusa
kemarin, bahwa adik-adiknya kini berteman dengan Michisa. Ia juga baru ingat
kalau Nona Reina pernah mengatakan bahwa Michisa tidak punya teman di sekolah.
Ternyata itu
benar.
Selama ini Henji
mengira kalau Michisa akrab dengan Inoue Miharu dan Osawa Naomi dari kelas 2-4.
Mereka sekelas dengan Suzuki dan Michisa waktu kelas 1. Miharu dan Naomi dekat
dengan Michisa juga sejak saat itu. Mereka selalu ke mana-mana bersama.
Sebenarnya bisa ditebak dengan mudah bahwa Miharu dan Naomi jadi populer di
sekolah karena dekat dengan Michisa, dan hal itu membuat persahabatan mereka
diliputi isu-isu tidak baik. Puncaknya, kemarin mereka bertiga kelihatan aneh.
Tersebar rumor di angkatan mereka kalau Miharu dan Naomi sengaja menghindari
Michisa, sehingga kemarin Michisa benar-benar sendirian. Michisa sendiri juga
memancarkan aura aneh yang membuat orang enggan mendekat, akibatnya orang lain
tak ada yang menghampirinya.
Mungkin mereka
bertengkar. Ya. Cepat atau lambat pasti baikan lagi.
*****
Kamis pagi.
Michisa muncul dengan perban di lengan kanan atas, membuat kaget Henji. Caranya
berjalan juga agak aneh, sehingga Henji menduga kalau terjadi sesuatu juga pada
kakinya.
"Se-selamat
pagi," sapa Henji. "Apa yang terjadi padamu?"
Yang ditanya
diam saja. Ia terus berjalan tanpa mempedulikan Henji. Henji terus menatap
Michisa dari belakang. Michisa sempat menoleh ke arahnya, namun begitu ia tahu
Henji memperhatikannya, dengan cepat ia berpaling, membuat rambutnya tersibak.
Henji makin kaget. Di pipi kanan Michisa ternyata juga ada plester yang sewarna
dengan kulit.
"Hei,
kenapa kau luka-luka begini?"
"Bukan
urusanmu."
Henji menelan
ludah, "Tentu saja
urusanku. Aku ditugaskan untuk men-"
"Menjagaku?
Hei, dengar ya. Ibuku memang memintamu menjagaku, tapi aku tidak. Aku tak
pernah minta apa-apa darimu! Luka ini bukan urusanmu!"
Henji tidak
bicara lagi. Michisa pasti membencinya. Ia melirik Michisa yang tertunduk
sambil merengkuh tasnya. Dia terlihat kesal.
Michisa masuk ke
gerbang sekolah lebih dulu. Henji masuk setelahnya, memanipulasi agar mereka
tidak seperti datang bersamaan. Ternyata akibatnya dia malah mendengar murid
lain yang sebelumnya menyapa Michisa bergosip.
"Hei,
kenapa Hanazawa-san diperban begitu?"
"Eh, aku
melihatnya kemarin di pertokoan. Sepertinya sepulang sekolah dia bertengkar."
"Ya, ya!
Aku juga lihat! Dia bertengkar dengan dua temannya itu..."
"Yang di
wajah itu pasti bekas tamparan kemarin. Jangan-jangan yang di lengan itu juga
bekas cengkraman kemarin? Ah, seram..."
Henji diam tanpa
kata. Ia yakin kemarin ia mengantar Michisa sampai apartemennya. Nona Reina
juga tidak bilang apa-apa padanya, entah itu soal Michisa akan bekerja atau
tanya-tanya kenapa Michisa begini-begitu. Jangan-jangan Michisa diam-diam pergi
lagi di luar pekerjaannya tanpa sepengetahuan Henji, lalu menemui
teman-temannya di pertokoan. Dan inilah hasil pertemuan mereka kemarin. Kenapa
dia bisa seceroboh itu?
"Tasunaga!"
Kazuto si ketua OSIS memanggilnya.
Henji merespon,
"Ishimoto, selamat pagi."
"Pagi. Maaf
tiba-tiba, tapi apa aku bisa minta tolong dua hari ini?" Tanya Kazuto.
"Soal
apa?"
"Kami
kekurangan panitia laki-laki untuk persiapan festival olahraga besok. Banyak
perlengkapan yang harus diurus. Aku tidak enak kalau panitia perempuan yang
menangani perlengkapan. Kau tidak ikut klub apapun 'kan? Bagaimana? Kau
bisa?"
Henji berpikir
sejenak, "Sepulang
sekolah?"
"Benar."
OSIS kelihatan
sangat repot. Henji ingin sekali membantu. Tapi kalau ia menerima, belum tentu
Michisa mau menunggu sampai ia selesai. Tidak mungkin.
"Baiklah,
aku bantu."
"Yosh!
Terima kasih banyak, Tasunaga! Kutunggu di ruang OSIS sepulang sekolah!"
Kazuto melesat pergi.
Menunggu sampai
selesai? Michisa benci padanya. Jangankan menunggu, mungkin dia lebih suka
kalau tidak pulang bersama Henji.
*****
“Aku
diminta OSIS membantu persiapan Festival Olahraga. Maaf, hari ini aku tidak
bisa mengantarmu pulang.
Tasunaga Henji”
Michisa melipat
kembali kertas itu. Henji dan Michisa belum tahu email dan nomor kontak
masing-masing, jadi Henji meninggalkan catatan di rak sepatunya. Lucu sekali.
Besok festival olahraga, tapi tak disangka OSIS kekurangan orang sampai-sampai
harus meminta bantuan Henji.
Ponsel Michisa
berdering menerima panggilan. Ia menjawabnya sambil berjalan pulang. "Halo, Riho? Ya, ini aku... Aku sudah
membelinya kemarin. Sepertinya besok aku tidak bisa ikut yang di rumah kalian.
Itu 'kan acara keluarga... Apa? Ya... Terima kasih tawarannya, tapi aku tidak
bisa. Besok kau beritahu aku saja kalau sudah siap, aku akan melaksanakan
tugasku. Tapi mungkin akan sedikit terlambat. Aku ada urusan dengannya dan
perlu banyak waktu..."
*****
“Hari
ini aku juga diminta OSIS membantu beres-beres setelah Festival Olahraga. Maaf,
hari ini aku juga tidak bisa mengantarmu pulang.
Tasunaga Henji”
Yang benar saja.
Jangan bercanda. Hari ini juga? Tapi hari ini...
Michisa meraih
ponselnya dengan cepat, menelepon seseorang.
"Riho...
Tolong cepatlah!"
*****
"Kita mulai
dari mana?"
"Aula
olahraga. Maaf ya, Tasunaga. Kami benar-benar berterima kasih."
"Tak
apa," Henji tersenyum.
"Ayo, kita
ke aula," ajak Kazuto.
Henji mengikuti
Kazuto ke aula. Baru berjalan sebentar, ponselnya berbunyi. Ia segera melihat
pesan yang baru diterima. Henji kira itu dari keluarganya, tapi ini bukan dari
alamat yang ia kenal.
“Aku
menunggumu! Jangan kelamaan!”
Matanya membelalak
sesaat, "Ishimoto, maaf, kau duluan saja ke aula."
"Ada apa?
Kalau darurat, lebih baik-"
"Tidak,
tidak apa-apa," Henji tampak mengutak-atik ponselnya, lalu menempatkannya
di dekat telinga. Ia teringat betapa jarangnya dia menelepon orang.
Kazuto hanya
mengamati Henji. Henji memang kelihatan cemas, tapi sepertinya memang bukan
apa-apa. Mungkin hanya urusan pribadi Henji. Dia bersiap melangkahkan kakinya
ke aula olahraga.
"Halo?
Hanazawa-san?"
Langkahnya
terhenti. Ia berpaling lagi ke arah Henji yang menarik nafas panjang.
"Ternyata
benar kau. Kau tidak usah menungguku..."
"Tidak apa-apa."
"Tapi aku
tidak tahu kapan aku selesai. Kenapa menungguku?"
"Itu... ada yang harus kubicarakan
denganmu hari ini."
"Apa?"
"Pokoknya ada yang harus kubicarakan
denganmu! Sudahlah, kau jangan cerewet. Aku tunggu kau!"
"To-tolong
jangan menunggu di luar sekolah, Hanazawa-san. Hati-hati."
"Yaa, aku mengerti..."
"Sampai
nanti," Henji mematikan telepon. Ia menghela nafas panjang dan menatap
Kazuto. "Maaf aku jadi menghambatmu, Ishimoto."
Kazuto masih
mematung, "Barusan
kau... Menelepon Hanazawa Michisa-san??"
"Ah... Ya,
yang barusan itu Hanazawa-san."
"Aku baru
tahu kalian akrab..."
"Tidak juga
kok, hanya saja orang tua kami pernah dekat," Henji memaksakan senyum dan
berjalan duluan. "Ayo kita cepat beres-beres."
"Ya."
*****
"Akhirnya
selesai~ terima kasih banyak untuk hari ini, semuanya!" Seru Kazuto lega.
Panitia yang lain membalas seruannya.
"Ishimoto,
aku duluan, ya!" ujar Henji sambil melesat pergi.
Kazuto hanya
menatap Henji yang pergi menjauh. Ia tersenyum, lalu mengurus kembali panitia
yang lain.
Henji berlari
sebisanya. Sudah satu jam lebih ia membuat Michisa menunggu. Ia masuk ke gedung
utama SMA Nosaka, tempat ruang OSIS berada. Ternyata Michisa ada di bangku
panjang dekat ruang OSIS, dalam keadaan tertidur. Henji mengambil tasnya di
ruang OSIS dan menghampiri Michisa.
"Hanazawa-san,"
Henji berusaha membangunkannya. Tidak baik baginya tidur di tempat seperti ini.
"Ayo pulang. Bangunlah..."
Michisa membuka
matanya perlahan.
"Maaf
membuatmu menunggu lama. Ayo, kita pulang sekarang juga."
"Tu-tunggu!"
Michisa menarik tangan Henji. "Duduklah!"
Henji kaget
akibat aksi mendadak itu. Ia jatuh terduduk di sebelah Michisa yang tampak mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. Sebuah plastik kecil berisi kotak berwarna abu-abu.
"Hana-"
"Selamat
ulang tahun!!" seru
Michisa seraya menyodorkan kotak itu sambil menunduk.
Henji terkesiap
dengan kalimat barusan. Ia menatap Michisa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Ah, eh,
maaf, aku selalu begitu..." Michisa menarik nafas dalam-dalam, mengangkat
kepalanya yang tertunduk, lalu menatap Henji dengan mantap sambil tersenyum
tulus.
"Selamat
ulang tahun, ya, Tasunaga."
"T-terima
kasih," Henji menerima kotak abu-abu yang disodorkan Michisa.
"Jadi... Ini yang mau kaubicarakan?"
"Salah
satunya," Michisa berdiri. Ia menghadapkan tubuhnya pada Henji dan
membungkuk dalam-dalam. "Maaf atas sikapku selama ini. Aku selalu bersikap
buruk padamu, padahal kau begitu baik. Aku minta maaf."
Henji hanya
tersenyum mendengar permintaan maaf Michisa, "Aku tidak pernah marah
padamu."
"Aku
tahu," Michisa bangkit melirik Henji sesaat, lalu membungkuk lagi.
"Terima kasih karena dulu kau pernah menolongku dari orang jahil. Terima
kasih sudah menolongku waktu aku sakit. Terima kasih sudah meladeni ibuku.
Terima kasih sudah berbagi rahasia denganku. Untuk kesabaranmu, untuk semuanya,
terima kasih banyak!"
"Hei,
sudahlah..." Henji mulai merasa malu.
"Terakhir!"
Serunya sambil tetap membungkuk. "Ini permohonan pertamaku untukmu.
Kumohon, mulai sekarang, berteman baiklah denganku!"
Henji makin
terkesiap. Ia masih sulit berkata-kata. Ia merasa begitu senang hari ini.
Sangat senang. Dia mengelus kepala Michisa dan tersenyum lega, "Terima kasih karena kau mau
berteman baik denganku."
Henji menarik Michisa
agar ia duduk kembali, "Terima
kasih juga karena menyukai lagu-laguku, Hanazawa-san."
Michisa
tersenyum, lalu menghela nafas dalam-dalam, "Haah... Akhirnya semua bisa kukatakan. Ayo
kita cepat pulang. Keluargamu pasti menunggu."
Henji mengikuti
Michisa berjalan pergi. Ia memasukkan hadiah dari Michisa ke dalam tas, lalu
mengecek ponselnya. Ada ucapan selamat dari Suzuki. Henji tersenyum membacanya,
setelah ia balas dengan ucapan terima kasih, ponselnya ia tutup kembali. Dengan
wajah santai ia mendongak ke langit.
Suzuki, hari ini akhirnya aku punya teman
baru. Dia perempuan sih, tapi teman tetap teman 'kan? Aku juga merasa kalau
Ishimoto menganggapku sebagai teman. Aku sangat lega sekarang karena berhasil
mendapat lebih banyak teman. Kau juga, baik-baiklah kau di sana.
*****
"Sekarang,
apa kau bisa bilang padaku kenapa kau bisa luka-luka begitu?" Henji mulai
bicara. "Ada rumor kalau kau bertengkar dengan Inoue-san dan Osawa-san di
Pertokoan Minami. Apa benar?"
Michisa tak
langsung menjawab, "Kau
jangan terlalu di belakang. Mendekatlah ke sini."
Henji mendekat. Mereka tetap tidak
berjalan beriringan, namun jaraknya sudah tidak sejauh sebelumnya. Sepertinya
Michisa masih belum mau bicara soal itu. Salah lagi deh.
"Rumor itu
benar. Aku bertemu mereka di sana, dan mereka menyerangku. Aku tak menyerang
balik, kok."
Syukurlah.
Ternyata Michisa mau buka mulut. "Apa kau sengaja menemui mereka di
sana?"
"Eh? Apa
semua mengira begitu?" Michisa terlihat kaget. "Kami kebetulan
bertemu, kok.
Hari itu aku ke pertokoan untuk
membeli hadiahmu tadi, makanya aku tidak bilang padamu. Maaf, ya."
Henji mengangguk
pelan mendengar penjelasan Michisa, "Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Bukan
apa-apa. Naomi mencengkram kedua lenganku dari belakang, lalu Miharu
menamparku."
Naomi
mencengkram, lalu Miharu menampar. Henji pernah melihat kalau kuku mereka
berdua panjang berhias. Pantas saja Michisa terluka.
"Lalu...
Kakimu?"
Michisa menatap
Henji tak percaya, "Tasunaga, kau menyadarinya?"
"Eh? Yah...
Cara jalanmu agak aneh dari biasanya, jadi kupikir ada sesuatu."
Michisa membisu.
Selama ini Henji selalu melihatnya berjalan dari belakang. Tentu besar
kemungkinan bahwa Henji akan selalu menyadari bila terjadi sesuatu pada
kakinya. Atau apa memang dirinya sendiri yang kurang pandai menyembunyikan itu?
"A-aku terkilir waktu turun tangga apartemen, ka-karena melamun..."
Jawabnya malu-malu. Ia memperlihatkan sosok lain dirinya untuk kesekian kalinya
hari ini.
"Eh?"
"Jangan
bilang 'eh' dengan muka begitu! Aku tahu itu bodoh, terkilir di tangga yang
padahal kau lewati tiap hari... Kenapa aku bisa begitu? Kenapa? Kau boleh
tertawa kalau mau, aku tak akan marah!"
"Ti-tidak
kok..."
"Jangan
menahan diri!"
"Tidak,
sungguh," Henji tersenyum tipis dan tertunduk. "Maaf soal lukamu.
Kalau kau tidak membeli hadiah ke pertokoan, kau tidak akan bertemu
mereka."
Michisa ikut
tertunduk, "Itu bukan
salahmu. Lagipula, berkat itu aku jadi benar-benar yakin kalau mereka bukan
temanku. Mereka hanya mengincar popularitas."
"Kau
tegar," gumam Henji. Gumamannya terucap jelas sehingga Michisa
mendengarnya.
"Tidak kok.
Rasanya aku sudah terbiasa dengan orang-orang seperti itu."
Henji tiba-tiba
teringat kata-kata ayahnya.
"Jangan kau anggap remeh permintaan
Reina-san untuk menjaga putrinya. Keluarga mereka punya banyak rahasia yang tak
bisa ditebak. Hati-hati."
Ia merasa
ayahnya berlebihan. Tapi ia sadar, pasti ada sesuatu di balik permintaan Nona Reina.
"Boleh
kutanya kau soal yang lain?" Tanya Henji lagi.
"Apa?"
"Ini
sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan," Henji melirik Michisa sesaat.
"Bagaimana kau bisa tahu namaku?"
Michisa bisa
mengerti rasa heran Henji. Henji tak pernah memberitahukan namanya sendiri pada
Michisa. Michisa sempat terdiam agak
lama sebelum akhirnya menjawab, "Aku pernah mendengar Sugawara-kun
memanggilmu, begitu saja. Itu 'kan bukan hal yang aneh, kenapa kau
penasaran?"
Untuk beberapa
menit mereka berjalan dalam diam.
"Bagaimana
kau tahu ulang tahunku?"
"Riho yang
bilang padaku."
"Lalu, kau
sendiri... kapan ulang tahunmu?"
Michisa tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Untuk sesaat wajahnya berubah mendung. Ia
memalingkan wajahnya ke arah langit dan menjawab, "14 Agustus."
"Eh?
Benarkah?" Henji tampak takjub. "Itu juga ulang tahun Riho."
"Sungguh?"
Michisa tampak senang. Tiba-tiba ponselnya berdering pendek. Begitu membaca
pesan yang masuk, ia mempercepat langkah.
"Ke-kenapa
buru-buru?"
"Aku baru
ingat kalau ada yang harus kulakukan," Michisa meletakkan ponselnya
kembali ke saku. Lalu begitu apartemennya terlihat, ia mendorong Henji pergi,
"Sudah sampai 'kan?! Nah, sekarang kau cepat pulang! Keluargamu
menunggu!"
"A-ah,
baiklah, sampai jumpa. Terima kasih untuk hari ini."
Michisa tidak
menjawab apa-apa. Henji menoleh kembali ke arahnya. Michisa tengah menatapnya
sambil tersenyum ceria, "Ada
apa? Kau harus cepat sampai ke rumah! Keluargamu sudah menunggu dari
tadi!"
Henji mengangguk
mantap, setengah berlari ia meninggalkan Michisa. Matahari sudah nyaris
terbenam. Lampu-lampu di jalan mulai menyala, menyinari Henji yang pulang
dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Tanpa ia sadari larinya bertambah cepat
seiring dengan berkembangnya senyum di wajahnya. Rasanya lari kali ini begitu
menyenangkan. Ia tidak cepat merasa lelah, malah justru ia merasa ingin terus
berlari. Entah dari mana semangatnya itu.
"Aku
pulang!"
"Selamat
datang!"
Henji terdiam di
pintu masuk rumahnya. Semua anggota keluarganya ada di rumah. Ayah, ibu, Riho,
Harumi, semuanya ada. Mereka semua duduk di meja makan dengan tatapan senang
dan lega.
"Akhirnya
kau pulang juga," Tuan Ryuuji duluan bicara.
"Maaf aku
pulang terlambat."
"Kami tahu
kok. Ayo, Kak, ke sini!" Harumi menarik tangan Henji ke ruang makan. Di
meja makan ada sebuah kue ulang tahun, juga masakan lain yang tidak biasanya
mereka makan setiap hari. Makanan-makanan favorit Henji ada di meja. Ibu Henji hanya memasak seperti ini
jika ada anggota keluarga yang berulang tahun.
"Selamat
ulang tahun!"
Henji hanya bisa
tertawa dengan perasaan haru di hatinya.
"Ayo,
Henji, tiup lilin dan potong kuenya!"
"Buat
permohonan dulu, Kak!"
Henji tersenyum,
"Kuharap mulai sekarang dan
seterusnya, kami semua akan tetap memiliki kekuatan untuk berbahagia menjalani
hidup."
Henji meniup
lilin dan memotong kue ulang tahun itu, lalu memberikan potongan pertama pada
ibunya, lalu ayahnya, dan kemudian adik-adiknya. Mereka bersenda gurau sambil
menikmati makan malam spesial hari itu.
"Waktunya
hadiah!" Nona Hinata berseru ceria. Beliau mengeluarkan beberapa bingkisan
dari dapur. "Ayo dibuka, Henji!"
Henji menyambut
bingkisan-bingkisan itu dengan senyum. Dia membuka bingkisan pertama, isinya
sebuah hoodie berwarna biru tua. Lalu
ia membuka bingkisan-bingkisan yang lain.
"Hoodie itu dariku," celetuk Riho.
"Kalau headphone itu dariku," ujar Harumi.
"Tas itu
dari Ibu."
Henji terdiam
melihat isi hadiah terakhir. Sebuah keyboard.
Ia melirik ayahnya yang menatapnya dengan senyum ramah.
"Ayah
mendukung bakat musikmu. Ayah harap kau bisa membuat karya yang lebih bagus
lagi jika ada itu," ujar ayahnya.
Henji tersenyum,
"Terima kasih, Ayah.
Semuanya, terima kasih banyak."
"Beginilah
keluarga kita, Henji."
"Oya, tadi
Kakak pulang bawa hadiah juga 'kan? Sudah dibuka belum?" Tanya Harumi.
"Ah, benar
juga. Belum kubuka," Henji mengambil hadiah dari Michisa, lalu membukanya
bersama keluarganya. Ternyata hadiah itu berisi sebuah jam tangan digital
bergaya sporty berwarna hitam.
"Itu dari
Kak Michisa?" Tanya Riho.
"Begitulah,"
jawab Henji.
"Cocok
denganmu. Ternyata Michisa-chan pandai memilih hadiah, ya," celetuk
ibunya.
Henji hanya
tertawa pelan. Ia merasa sangat senang. Tahun ketujuh belasnya tidak akan sepi
seperti sebelumnya. Tahun ini akan menjadi tahun yang hangat dan terang
benderang.
- Bersambung ke Chapter 8 -
Catatan Penulis :
Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 7 : Seventeen!
Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
Chapter ini memiliki cerita utama tentang dimulainya persahabatan Henji dengan Michisa. Di sini terbahas juga ulang tahun Henji. Ngomong-ngomong, ulang tahun Henji tanggal 30 Mei. Ada yang samaan? Haha...
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! Akan hadir secepatnya lho (^_^)
FildzahPro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar