Jumat, 04 Oktober 2013

Honestly Chapter 7


7.       Seventeen

Hari itu, Rabu pagi, Henji berangkat sekolah seperti biasa, mengawal gadis manis egois yang asyik dengan dunianya sendiri. Entah kenapa hari ini Michisa tampak seru sekali dengan ponselnya. Baru sebentar menutup ponsel, ponsel itu berdering lagi karena menerima pesan. Dibalas, ditutup, berdering lagi, dibalas lagi, begitu seterusnya. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Michisa sibuk dengan ponselnya benar-benar sejak berangkat dari rumah sampai ke sekolah.
Ya sudahlah. Sebaiknya Henji tidak usah ikut campur. Mungkin itu temannya.
Eh, ternyata Michisa punya teman ya?
Henji baru mulai memperhatikan sejak mendengar percakapan adik-adiknya dengan Michisa lusa kemarin, bahwa adik-adiknya kini berteman dengan Michisa. Ia juga baru ingat kalau Nona Reina pernah mengatakan bahwa Michisa tidak punya teman di sekolah.
Ternyata itu benar.
Selama ini Henji mengira kalau Michisa akrab dengan Inoue Miharu dan Osawa Naomi dari kelas 2-4. Mereka sekelas dengan Suzuki dan Michisa waktu kelas 1. Miharu dan Naomi dekat dengan Michisa juga sejak saat itu. Mereka selalu ke mana-mana bersama. Sebenarnya bisa ditebak dengan mudah bahwa Miharu dan Naomi jadi populer di sekolah karena dekat dengan Michisa, dan hal itu membuat persahabatan mereka diliputi isu-isu tidak baik. Puncaknya, kemarin mereka bertiga kelihatan aneh. Tersebar rumor di angkatan mereka kalau Miharu dan Naomi sengaja menghindari Michisa, sehingga kemarin Michisa benar-benar sendirian. Michisa sendiri juga memancarkan aura aneh yang membuat orang enggan mendekat, akibatnya orang lain tak ada yang menghampirinya.
Mungkin mereka bertengkar. Ya. Cepat atau lambat pasti baikan lagi.

*****

Kamis pagi. Michisa muncul dengan perban di lengan kanan atas, membuat kaget Henji. Caranya berjalan juga agak aneh, sehingga Henji menduga kalau terjadi sesuatu juga pada kakinya.
"Se-selamat pagi," sapa Henji. "Apa yang terjadi padamu?"
Yang ditanya diam saja. Ia terus berjalan tanpa mempedulikan Henji. Henji terus menatap Michisa dari belakang. Michisa sempat menoleh ke arahnya, namun begitu ia tahu Henji memperhatikannya, dengan cepat ia berpaling, membuat rambutnya tersibak. Henji makin kaget. Di pipi kanan Michisa ternyata juga ada plester yang sewarna dengan kulit.
"Hei, kenapa kau luka-luka begini?"
"Bukan urusanmu."
Henji menelan ludah, "Tentu saja urusanku. Aku ditugaskan untuk men-"
"Menjagaku? Hei, dengar ya. Ibuku memang memintamu menjagaku, tapi aku tidak. Aku tak pernah minta apa-apa darimu! Luka ini bukan urusanmu!"
Henji tidak bicara lagi. Michisa pasti membencinya. Ia melirik Michisa yang tertunduk sambil merengkuh tasnya. Dia terlihat kesal.

Michisa masuk ke gerbang sekolah lebih dulu. Henji masuk setelahnya, memanipulasi agar mereka tidak seperti datang bersamaan. Ternyata akibatnya dia malah mendengar murid lain yang sebelumnya menyapa Michisa bergosip.
"Hei, kenapa Hanazawa-san diperban begitu?"
"Eh, aku melihatnya kemarin di pertokoan. Sepertinya sepulang sekolah dia bertengkar."
"Ya, ya! Aku juga lihat! Dia bertengkar dengan dua temannya itu..."
"Yang di wajah itu pasti bekas tamparan kemarin. Jangan-jangan yang di lengan itu juga bekas cengkraman kemarin? Ah, seram..."
Henji diam tanpa kata. Ia yakin kemarin ia mengantar Michisa sampai apartemennya. Nona Reina juga tidak bilang apa-apa padanya, entah itu soal Michisa akan bekerja atau tanya-tanya kenapa Michisa begini-begitu. Jangan-jangan Michisa diam-diam pergi lagi di luar pekerjaannya tanpa sepengetahuan Henji, lalu menemui teman-temannya di pertokoan. Dan inilah hasil pertemuan mereka kemarin. Kenapa dia bisa seceroboh itu?
"Tasunaga!" Kazuto si ketua OSIS memanggilnya.
Henji merespon, "Ishimoto, selamat pagi."
"Pagi. Maaf tiba-tiba, tapi apa aku bisa minta tolong dua hari ini?" Tanya Kazuto.
"Soal apa?"
"Kami kekurangan panitia laki-laki untuk persiapan festival olahraga besok. Banyak perlengkapan yang harus diurus. Aku tidak enak kalau panitia perempuan yang menangani perlengkapan. Kau tidak ikut klub apapun 'kan? Bagaimana? Kau bisa?"
Henji berpikir sejenak, "Sepulang sekolah?"
"Benar."
OSIS kelihatan sangat repot. Henji ingin sekali membantu. Tapi kalau ia menerima, belum tentu Michisa mau menunggu sampai ia selesai. Tidak mungkin.

"Baiklah, aku bantu."
"Yosh! Terima kasih banyak, Tasunaga! Kutunggu di ruang OSIS sepulang sekolah!" Kazuto melesat pergi.

Menunggu sampai selesai? Michisa benci padanya. Jangankan menunggu, mungkin dia lebih suka kalau tidak pulang bersama Henji.

*****

Aku diminta OSIS membantu persiapan Festival Olahraga. Maaf, hari ini aku tidak bisa mengantarmu pulang.
Tasunaga Henji


Michisa melipat kembali kertas itu. Henji dan Michisa belum tahu email dan nomor kontak masing-masing, jadi Henji meninggalkan catatan di rak sepatunya. Lucu sekali. Besok festival olahraga, tapi tak disangka OSIS kekurangan orang sampai-sampai harus meminta bantuan Henji.
Ponsel Michisa berdering menerima panggilan. Ia menjawabnya sambil berjalan pulang. "Halo, Riho? Ya, ini aku... Aku sudah membelinya kemarin. Sepertinya besok aku tidak bisa ikut yang di rumah kalian. Itu 'kan acara keluarga... Apa? Ya... Terima kasih tawarannya, tapi aku tidak bisa. Besok kau beritahu aku saja kalau sudah siap, aku akan melaksanakan tugasku. Tapi mungkin akan sedikit terlambat. Aku ada urusan dengannya dan perlu banyak waktu..."

*****

Hari ini aku juga diminta OSIS membantu beres-beres setelah Festival Olahraga. Maaf, hari ini aku juga tidak bisa mengantarmu pulang.
Tasunaga Henji


Yang benar saja. Jangan bercanda. Hari ini juga? Tapi hari ini...
Michisa meraih ponselnya dengan cepat, menelepon seseorang.
"Riho... Tolong cepatlah!"

*****

"Kita mulai dari mana?"
"Aula olahraga. Maaf ya, Tasunaga. Kami benar-benar berterima kasih."
"Tak apa," Henji tersenyum.
"Ayo, kita ke aula," ajak Kazuto.
Henji mengikuti Kazuto ke aula. Baru berjalan sebentar, ponselnya berbunyi. Ia segera melihat pesan yang baru diterima. Henji kira itu dari keluarganya, tapi ini bukan dari alamat yang ia kenal.

Aku menunggumu! Jangan kelamaan!

Matanya membelalak sesaat, "Ishimoto, maaf, kau duluan saja ke aula."
"Ada apa? Kalau darurat, lebih baik-"
"Tidak, tidak apa-apa," Henji tampak mengutak-atik ponselnya, lalu menempatkannya di dekat telinga. Ia teringat betapa jarangnya dia menelepon orang.
Kazuto hanya mengamati Henji. Henji memang kelihatan cemas, tapi sepertinya memang bukan apa-apa. Mungkin hanya urusan pribadi Henji. Dia bersiap melangkahkan kakinya ke aula olahraga.
"Halo? Hanazawa-san?"
Langkahnya terhenti. Ia berpaling lagi ke arah Henji yang menarik nafas panjang.
"Ternyata benar kau. Kau tidak usah menungguku..."
"Tidak apa-apa."
"Tapi aku tidak tahu kapan aku selesai. Kenapa menungguku?"
"Itu... ada yang harus kubicarakan denganmu hari ini."
"Apa?"
"Pokoknya ada yang harus kubicarakan denganmu! Sudahlah, kau jangan cerewet. Aku tunggu kau!"
"To-tolong jangan menunggu di luar sekolah, Hanazawa-san. Hati-hati."
"Yaa, aku mengerti..."
"Sampai nanti," Henji mematikan telepon. Ia menghela nafas panjang dan menatap Kazuto. "Maaf aku jadi menghambatmu, Ishimoto."
Kazuto masih mematung, "Barusan kau... Menelepon Hanazawa Michisa-san??"
"Ah... Ya, yang barusan itu Hanazawa-san."
"Aku baru tahu kalian akrab..."
"Tidak juga kok, hanya saja orang tua kami pernah dekat," Henji memaksakan senyum dan berjalan duluan. "Ayo kita cepat beres-beres."
"Ya."

*****

"Akhirnya selesai~ terima kasih banyak untuk hari ini, semuanya!" Seru Kazuto lega. Panitia yang lain membalas seruannya.
"Ishimoto, aku duluan, ya!" ujar Henji sambil melesat pergi.
Kazuto hanya menatap Henji yang pergi menjauh. Ia tersenyum, lalu mengurus kembali panitia yang lain.
Henji berlari sebisanya. Sudah satu jam lebih ia membuat Michisa menunggu. Ia masuk ke gedung utama SMA Nosaka, tempat ruang OSIS berada. Ternyata Michisa ada di bangku panjang dekat ruang OSIS, dalam keadaan tertidur. Henji mengambil tasnya di ruang OSIS dan menghampiri Michisa.
"Hanazawa-san," Henji berusaha membangunkannya. Tidak baik baginya tidur di tempat seperti ini. "Ayo pulang. Bangunlah..."
Michisa membuka matanya perlahan.
"Maaf membuatmu menunggu lama. Ayo, kita pulang sekarang juga."
"Tu-tunggu!" Michisa menarik tangan Henji. "Duduklah!"
Henji kaget akibat aksi mendadak itu. Ia jatuh terduduk di sebelah Michisa yang tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah plastik kecil berisi kotak berwarna abu-abu.
"Hana-"
"Selamat ulang tahun!!" seru Michisa seraya menyodorkan kotak itu sambil menunduk.
Henji terkesiap dengan kalimat barusan. Ia menatap Michisa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Ah, eh, maaf, aku selalu begitu..." Michisa menarik nafas dalam-dalam, mengangkat kepalanya yang tertunduk, lalu menatap Henji dengan mantap sambil tersenyum tulus.
"Selamat ulang tahun, ya, Tasunaga."

"T-terima kasih," Henji menerima kotak abu-abu yang disodorkan Michisa. "Jadi... Ini yang mau kaubicarakan?"
"Salah satunya," Michisa berdiri. Ia menghadapkan tubuhnya pada Henji dan membungkuk dalam-dalam. "Maaf atas sikapku selama ini. Aku selalu bersikap buruk padamu, padahal kau begitu baik. Aku minta maaf."
Henji hanya tersenyum mendengar permintaan maaf Michisa, "Aku tidak pernah marah padamu."
"Aku tahu," Michisa bangkit melirik Henji sesaat, lalu membungkuk lagi. "Terima kasih karena dulu kau pernah menolongku dari orang jahil. Terima kasih sudah menolongku waktu aku sakit. Terima kasih sudah meladeni ibuku. Terima kasih sudah berbagi rahasia denganku. Untuk kesabaranmu, untuk semuanya, terima kasih banyak!"
"Hei, sudahlah..." Henji mulai merasa malu.
"Terakhir!" Serunya sambil tetap membungkuk. "Ini permohonan pertamaku untukmu. Kumohon, mulai sekarang, berteman baiklah denganku!"
Henji makin terkesiap. Ia masih sulit berkata-kata. Ia merasa begitu senang hari ini. Sangat senang. Dia mengelus kepala Michisa dan tersenyum lega, "Terima kasih karena kau mau berteman baik denganku."
Henji menarik Michisa agar ia duduk kembali, "Terima kasih juga karena menyukai lagu-laguku, Hanazawa-san."
Michisa tersenyum, lalu menghela nafas dalam-dalam, "Haah... Akhirnya semua bisa kukatakan. Ayo kita cepat pulang. Keluargamu pasti menunggu."
Henji mengikuti Michisa berjalan pergi. Ia memasukkan hadiah dari Michisa ke dalam tas, lalu mengecek ponselnya. Ada ucapan selamat dari Suzuki. Henji tersenyum membacanya, setelah ia balas dengan ucapan terima kasih, ponselnya ia tutup kembali. Dengan wajah santai ia mendongak ke langit.
Suzuki, hari ini akhirnya aku punya teman baru. Dia perempuan sih, tapi teman tetap teman 'kan? Aku juga merasa kalau Ishimoto menganggapku sebagai teman. Aku sangat lega sekarang karena berhasil mendapat lebih banyak teman. Kau juga, baik-baiklah kau di sana.

*****

"Sekarang, apa kau bisa bilang padaku kenapa kau bisa luka-luka begitu?" Henji mulai bicara. "Ada rumor kalau kau bertengkar dengan Inoue-san dan Osawa-san di Pertokoan Minami. Apa benar?"
Michisa tak langsung menjawab, "Kau jangan terlalu di belakang. Mendekatlah ke sini."
Henji mendekat. Mereka tetap tidak berjalan beriringan, namun jaraknya sudah tidak sejauh sebelumnya. Sepertinya Michisa masih belum mau bicara soal itu. Salah lagi deh.
"Rumor itu benar. Aku bertemu mereka di sana, dan mereka menyerangku. Aku tak menyerang balik, kok."
Syukurlah. Ternyata Michisa mau buka mulut. "Apa kau sengaja menemui mereka di sana?"
"Eh? Apa semua mengira begitu?" Michisa terlihat kaget. "Kami kebetulan bertemu, kok.
Hari itu aku ke pertokoan untuk membeli hadiahmu tadi, makanya aku tidak bilang padamu. Maaf, ya."
Henji mengangguk pelan mendengar penjelasan Michisa, "Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Bukan apa-apa. Naomi mencengkram kedua lenganku dari belakang, lalu Miharu menamparku."
Naomi mencengkram, lalu Miharu menampar. Henji pernah melihat kalau kuku mereka berdua panjang berhias. Pantas saja Michisa terluka.
"Lalu... Kakimu?"
Michisa menatap Henji tak percaya, "Tasunaga, kau menyadarinya?"
"Eh? Yah... Cara jalanmu agak aneh dari biasanya, jadi kupikir ada sesuatu."
Michisa membisu. Selama ini Henji selalu melihatnya berjalan dari belakang. Tentu besar kemungkinan bahwa Henji akan selalu menyadari bila terjadi sesuatu pada kakinya. Atau apa memang dirinya sendiri yang kurang pandai menyembunyikan itu? "A-aku terkilir waktu turun tangga apartemen, ka-karena melamun..." Jawabnya malu-malu. Ia memperlihatkan sosok lain dirinya untuk kesekian kalinya hari ini.
"Eh?"
"Jangan bilang 'eh' dengan muka begitu! Aku tahu itu bodoh, terkilir di tangga yang padahal kau lewati tiap hari... Kenapa aku bisa begitu? Kenapa? Kau boleh tertawa kalau mau, aku tak akan marah!"
"Ti-tidak kok..."
"Jangan menahan diri!"
"Tidak, sungguh," Henji tersenyum tipis dan tertunduk. "Maaf soal lukamu. Kalau kau tidak membeli hadiah ke pertokoan, kau tidak akan bertemu mereka."
Michisa ikut tertunduk, "Itu bukan salahmu. Lagipula, berkat itu aku jadi benar-benar yakin kalau mereka bukan temanku. Mereka hanya mengincar popularitas."
"Kau tegar," gumam Henji. Gumamannya terucap jelas sehingga Michisa mendengarnya.
"Tidak kok. Rasanya aku sudah terbiasa dengan orang-orang seperti itu."
Henji tiba-tiba teringat kata-kata ayahnya.
"Jangan kau anggap remeh permintaan Reina-san untuk menjaga putrinya. Keluarga mereka punya banyak rahasia yang tak bisa ditebak. Hati-hati."
Ia merasa ayahnya berlebihan. Tapi ia sadar, pasti ada sesuatu di balik permintaan Nona Reina.
"Boleh kutanya kau soal yang lain?" Tanya Henji lagi.
"Apa?"
"Ini sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan," Henji melirik Michisa sesaat. "Bagaimana kau bisa tahu namaku?"

Michisa bisa mengerti rasa heran Henji. Henji tak pernah memberitahukan namanya sendiri pada Michisa. Michisa sempat terdiam agak lama sebelum akhirnya menjawab, "Aku pernah mendengar Sugawara-kun memanggilmu, begitu saja. Itu 'kan bukan hal yang aneh, kenapa kau penasaran?"
Untuk beberapa menit mereka berjalan dalam diam.
"Bagaimana kau tahu ulang tahunku?"
"Riho yang bilang padaku."
"Lalu, kau sendiri... kapan ulang tahunmu?"
Michisa tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Untuk sesaat wajahnya berubah mendung. Ia memalingkan wajahnya ke arah langit dan menjawab, "14 Agustus."
"Eh? Benarkah?" Henji tampak takjub. "Itu juga ulang tahun Riho."
"Sungguh?" Michisa tampak senang. Tiba-tiba ponselnya berdering pendek. Begitu membaca pesan yang masuk, ia mempercepat langkah.
"Ke-kenapa buru-buru?"
"Aku baru ingat kalau ada yang harus kulakukan," Michisa meletakkan ponselnya kembali ke saku. Lalu begitu apartemennya terlihat, ia mendorong Henji pergi, "Sudah sampai 'kan?! Nah, sekarang kau cepat pulang! Keluargamu menunggu!"
"A-ah, baiklah, sampai jumpa. Terima kasih untuk hari ini."
Michisa tidak menjawab apa-apa. Henji menoleh kembali ke arahnya. Michisa tengah menatapnya sambil tersenyum ceria, "Ada apa? Kau harus cepat sampai ke rumah! Keluargamu sudah menunggu dari tadi!"
Henji mengangguk mantap, setengah berlari ia meninggalkan Michisa. Matahari sudah nyaris terbenam. Lampu-lampu di jalan mulai menyala, menyinari Henji yang pulang dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Tanpa ia sadari larinya bertambah cepat seiring dengan berkembangnya senyum di wajahnya. Rasanya lari kali ini begitu menyenangkan. Ia tidak cepat merasa lelah, malah justru ia merasa ingin terus berlari. Entah dari mana semangatnya itu.

"Aku pulang!"
"Selamat datang!"
Henji terdiam di pintu masuk rumahnya. Semua anggota keluarganya ada di rumah. Ayah, ibu, Riho, Harumi, semuanya ada. Mereka semua duduk di meja makan dengan tatapan senang dan lega.
"Akhirnya kau pulang juga," Tuan Ryuuji duluan bicara.
"Maaf aku pulang terlambat."
"Kami tahu kok. Ayo, Kak, ke sini!" Harumi menarik tangan Henji ke ruang makan. Di meja makan ada sebuah kue ulang tahun, juga masakan lain yang tidak biasanya mereka makan setiap hari. Makanan-makanan favorit Henji ada di meja. Ibu Henji hanya memasak seperti ini jika ada anggota keluarga yang berulang tahun.
"Selamat ulang tahun!"
Henji hanya bisa tertawa dengan perasaan haru di hatinya.
"Ayo, Henji, tiup lilin dan potong kuenya!"
"Buat permohonan dulu, Kak!"
Henji tersenyum, "Kuharap mulai sekarang dan seterusnya, kami semua akan tetap memiliki kekuatan untuk berbahagia menjalani hidup."
Henji meniup lilin dan memotong kue ulang tahun itu, lalu memberikan potongan pertama pada ibunya, lalu ayahnya, dan kemudian adik-adiknya. Mereka bersenda gurau sambil menikmati makan malam spesial hari itu.

"Waktunya hadiah!" Nona Hinata berseru ceria. Beliau mengeluarkan beberapa bingkisan dari dapur. "Ayo dibuka, Henji!"
Henji menyambut bingkisan-bingkisan itu dengan senyum. Dia membuka bingkisan pertama, isinya sebuah hoodie berwarna biru tua. Lalu ia membuka bingkisan-bingkisan yang lain.
"Hoodie itu dariku," celetuk Riho.
"Kalau headphone itu dariku," ujar Harumi.
"Tas itu dari Ibu."
Henji terdiam melihat isi hadiah terakhir. Sebuah keyboard. Ia melirik ayahnya yang menatapnya dengan senyum ramah.
"Ayah mendukung bakat musikmu. Ayah harap kau bisa membuat karya yang lebih bagus lagi jika ada itu," ujar ayahnya.
Henji tersenyum, "Terima kasih, Ayah. Semuanya, terima kasih banyak."
"Beginilah keluarga kita, Henji."
"Oya, tadi Kakak pulang bawa hadiah juga 'kan? Sudah dibuka belum?" Tanya Harumi.
"Ah, benar juga. Belum kubuka," Henji mengambil hadiah dari Michisa, lalu membukanya bersama keluarganya. Ternyata hadiah itu berisi sebuah jam tangan digital bergaya sporty berwarna hitam.
"Itu dari Kak Michisa?" Tanya Riho.
"Begitulah," jawab Henji.
"Cocok denganmu. Ternyata Michisa-chan pandai memilih hadiah, ya," celetuk ibunya.
Henji hanya tertawa pelan. Ia merasa sangat senang. Tahun ketujuh belasnya tidak akan sepi seperti sebelumnya. Tahun ini akan menjadi tahun yang hangat dan terang benderang. 

- Bersambung ke Chapter 8 - 

Catatan Penulis :

Terima kasih telah membaca Honestly Chapter 7 : Seventeen
Setelah merilis chapter 8, saya akan hiatus sementara dari Honestly. Tapi ceritanya tentu saja masih saya terus tulis! Saya terlanjur suka sekali pada proyek ini!
Chapter ini memiliki cerita utama tentang dimulainya persahabatan Henji dengan Michisa. Di sini terbahas juga ulang tahun Henji. Ngomong-ngomong, ulang tahun Henji tanggal 30 Mei. Ada yang samaan? Haha...
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! Akan hadir secepatnya lho (^_^)
FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar