Berawal dari awal Oktober 2016, sebuah benjolan berdiameter 2 cm muncul di leher kananku.
Waktu itu aku hectic menyiapkan acara terbesar UKM-ku tahun itu. Aku ketua panitianya, jadi banyak yang harus kuurus. Suruhan teman-teman untuk periksa ke dokter tidak langsung kuindahkan.
Tanggal 3 November 2016, aku akhirnya periksa ke poli umum di klinik kampus. Dokter memberi aku antibiotik dan menyuruhku kembali tiga hari lagi.
Namun, karena terjadi miskomunikasi antara aku, dokter, dan apoteker, perintah dokter tidak kuturuti. Obat kuminum tidak rutin. Kuliah dan organisasi jadi alasan aku tidak kunjung periksa lagi.
Beberapa pekan setelah periksa pertama, tanggal 21 November, aku kembali periksa ke klinik kampus karena benjolan itu bertambah. Sekarang jadi ada tiga benjolan di leher kananku.
Kebetulan dokter yang piket adalah dokter yang memeriksa aku sebelumnya. Aku langsung dinasehati macam-macam perihal 'anjuran dokter', dan dapat pelajaran bahwa "kalau dokter dan apoteker mengatakan hal yang berbeda, ikuti dokter. Sebab dokter yang tahu seperti apa keadaan pasiennya."
Berkesan banget.
Oleh Bu Dokter, aku diberi antibiotik lagi. Bahkan sampai ditentukan jam minum obatnya oleh beliau. Beliau juga mewanti-wanti kalau aku harus datang periksa lagi dalam tujuh hari.
Kali ini aku benar-benar nurut. Tujuh hari setelahnya aku kembali lagi ke klinik kampus.
Kali ini yang memeriksa aku Pak Dokter. Catatan medisku diperiksa. Benjolanku tidak mengecil walaupun sudah diberi antibiotik. Keringat malam tidak ada, demam nggak, batuk-batuk juga nggak. Beliau akhirnya memberi aku surat rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam.
Aku rujuk ke rumah sakit di dekat rumah. Ibuku menemani aku periksa ke bagian penyakit dalam. Oleh dokter di RS itu, aku diminta tes darah, ronsen paru-paru, juga tes mantoux. Tes mantoux itu disuntik cairan di bawah kulit, yang tiga hari kemudian dicek perubahan yang terjadi pada kulitnya apa. Dokter bilang akan lebih baik kalau ada indikasi 'positif' tuberculosis pada hasil pemeriksaan ini, karena kalau negatif bisa jadi aku menderita penyakit lain yang menuntut operasi kecil, atau kalau parah, kanker.
Jadilah aku jalani berbagai tes. Pengalaman pertama dirontgen dan tes suntik mantoux. Kali kedua dites periksa darah sejak kelas 3 SD.
Sayangnya, karena jadwal periksaku selanjutnya bentrok dengan akhir pekan (tahun baru), dokter di RS libur. Ibuku membawaku ke rumah temannya yang dokter spesialis paru-paru. Temannya bilang hasil tes mantoux tidak ada artinya kalau tidak langsung dilihat setelah tiga hari. Jadilah beliau yang menanganiku.
Menurut analisis beliau, aku positif menderita TBC Kelenjar Getah Bening. Paru-paruku juga kena, kata beliau. Hasil rontgen menunjukkan ada peradangan. Hasil tes mantoux juga positif. Kulitku yang kemarin disuntik menonjol kemerahan dan permukaannya seperti kulit jeruk. Aku positif TBC.
Bingung lho sebenarnya. Yang aku tahu penderita TBC itu demam dan batuk parah, sampai batuk darah malah. Tapi (alhamdulillah)-nya aku sama sekali nggak mengalami itu. Ibuku lalu bilang kalau beberapa bulan terakhir aku sering berdehem, batuk kecil gitu. Ibu itu emang luar biasa ya. Sadar hal-hal kecil kayak gitu.
Oleh amah dokter, aku diberi resep obat yang harus aku minum rutin selama sembilan bulan ke depan (kayak hamil lol). Nggak boleh sekip satu haripun atau pengobatannya ulang dari awal. Aku juga disuruh cari sinar matahari pagi, karena sesungguhnya itu obat TBC dari Allah.
Tiga pekan sudah berlalu sejak aku mulai minum obat. Aku mulai biasa minum 7 butir obat setiap pagi, mulai terbiasa dengan urinku yang kemerahan karena efek obat... Disuruh suntik juga nggak kaget haha. Mungkin ini hukumanku karena nggak membiarkan matahari masuk ke kamar kosanku, karena kadang malas makan... ya gitu mungkin.
Intinya mah, jaga kesehatan da. Sakit itu ga enak.
Yang bela-belain ikut KKN,
Fildzah Nur Fadhilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar