Selasa, 30 Juli 2013

Honestly Chapter 3



3.        And So on

"Tolong lindungi Michisa."
Dulu ia memang sempat berpikir untuk menolong Michisa. Ternyata sekarang malah ibu Michisa langsung yang memintanya untuk melindungi gadis itu.
Beliau terlihat begitu berharap.
Michisa yang sekarang juga tak bisa melakukan segalanya sendirian.
Dan tak ada seorangpun laki-laki di rumah itu.
Mereka butuh bantuan bukan?
Henji tertunduk dengan tangan terkepal. Ia membulatkan tekad dan menguatkan diri, "baiklah. Saya akan bantu."
Nona Reina mendongak senang, "really? Terima kasih banyak, Henji-kun! Hanya kau yang bisa kupercaya! Entah bagaimana aku harus berterima kasih!"
Henji hanya tersenyum saat Nona Reina menjabat tangannya. Tiba-tiba ia merasa seolah jadi menantu paksaan.
"Menantu paksaan".
Eh, benar juga.
Henji memang suka menolong orang, tapi kali ini berarti ia harus meladeni gadis kasar itu setiap hari. Bagaikan punya satu adik lagi yang harus diurus.
Ah, kenapa dia baru sadar sekarang...

Henji berjalan pulang ke rumahnya, masih terngiang akan kejadian di rumah Michisa tadi. Ia mencoba menghilangkan segala rasa keterpaksaan yang muncul.
"Henji, ingat ini. Seorang laki-laki diciptakan punya kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan, dan kelebihan laki-laki itu harus dimanfaatkan dengan baik. Karena itu tolonglah dan lindungilah orang lain, terutama perempuan, minimal adik-adik dan ibumu. Tapi jangan menolong orang kalau kau merasa terpaksa. Kau harus tulus membantu."
Kata-kata ayahnya terus membayangi langkah-langkahnya pulang. Ayahnya polisi berpangkat cukup tinggi, orang yang mengabdi pada masyarakat. Sejak kecil ayahnya selalu menyuruhnya berbuat baik, mengistimewakan lansia, anak-anak dan wanita. Saat ia naik kelas 1 SD, ia mulai diajari berbagai seni bela diri. Semakin besar, Henji juga merasakan kepuasan tersendiri saat menolong orang. Berkat didikan sejak kecil itulah dirinya kini begitu suka membantu.
Kali ini pun ia akan berusaha membantu, walaupun ia seolah-olah menjadi guardian.

*****

"Menjaga teman?"
"Ya. Temanku akhir-akhir ini gampang sakit dan sering diganggu orang. Orang tuanya yang memintaku. Mungkin sekarang aku akan pulang lebih sore dari yang sebelumnya. Aku terlalu semangat menolongnya, maaf."
Nona Hinata, ibu Henji, menatap putra satu-satunya itu, "tak apa. Memang itu ajaran ayahmu. Lagipula kau sudah besar, bisa mengatur diri sendiri. Di rumah masih ada Riichan, kok."
Henji tersenyum mendengar kata-kata ibunya. Ia bertekad untuk tetap berusaha menghidupi rumah ini.
"Aku lebih senang karena akhirnya kau punya teman lagi, Henji," tambah Nona Hinata.
"Ya, kuharap aku bisa berteman baik dengan dia," Henji menanggapi, walaupun ia tahu itu akan sulit.

*****

Michisa menyusuri jalannya menuju sekolah. Ia mampir sebentar ke toko 24 jam untuk membeli bento* karena tadi tidak sempat memasak. Ibunya harus pergi duluan sementara ia juga terlambat bangun.
Setelah absen sakit selama 2 hari, akhirnya hari ini dia bisa masuk sekolah. Saat ia tiba di perempatan jalan, ia terkejut melihat seorang lelaki yang dikenalnya berdiri sendirian di sebelah mesin penjual otomatis. Tasunaga Henji.
Henji menyadari kehadiran Michisa, "selamat pagi. Kau sudah sehat?"
Michisa menatap Henji dari atas sampai bawah, "kau menunggu seseorang?"
"Nanti kujelaskan sambil jalan. Ayo pergi," Henji berkata demikian seraya berjalan.
"Oi!" Michisa menyusulnya dan bertanya dengan kesal, "kau menungguku, ya? Kenapa?"
"Ibumu belum bilang apa-apa?"
"Apa?" Michisa terlihat bingung, "bilang apa?"
Henji diam sejenak, lalu menjawab, "waktu itu ibumu minta aku menjagamu."
Michisa kaget, "apa?! Dan kau menerimanya?!"
Henji mengangguk dengan agak gugup. Sepertinya gadis di sebelahnya akan... sangat marah.
"BODOH!!!"
Langkah Henji terhenti mendengar bentakan itu, ia menoleh pada Michisa, menangkap sekilas kekhawatiran di wajah marah gadis itu.
"Tak apa, sudahlah."
"Apanya yang 'tak apa'?! Kau benar-benar bodoh!!!" Michisa terus membentak. "Untuk apa kau menerimanya?! Apa untungnya buatmu?! Memangnya kau siapa, hah?!"
Henji diam tertunduk, lalu menatap Michisa kembali, "aku hanya suka menolong orang. Ini untuk kepuasanku sendiri."
Michisa diam sejenak, "lalu bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?" Suaranya tidak sekeras yang sebelumnya.
"Kau khawatir soal itu?" Henji berpaling ke jalanan dan tersenyum tipis. Pertanyaannya barusan membuat Michisa mengernyit tak jelas.
"Nggak, kok!" Michisa membantah dan mulai berjalan lagi, mendahului Henji. Henji mengikuti Michisa sambil tersenyum kecil. Entah kenapa ia merasa sikap gadis di depannya ini begitu lucu.
"Anggap saja aku bekerja pada ibumu, ya. Waktu utamaku bekerja adalah saat kau berangkat dari rumah sampai kau sudah pulang ke rumah. Mohon kerjasamanya."
Michisa hanya melirik Henji sekilas, lalu bertanya, "ibuku membayarmu?"
"Itu urusan aku dan ibumu. Kau tidak perlu tahu."
"Siapa juga yang mau tahu!" Michisa membuang muka. "Jangan dekat-dekat! Jangan dekati aku juga di sekolah!"
"Aku mengerti," Henji melangkah mundur agak menjauh. Gadis ini aktris junior yang sedang naik daun. "Kau tak terikat peraturan dilarang pacaran atau semacamnya seperti para idol kan?"
"Memang, tapi aku tak mau aku terekspos denganmu. Hei, kita sudah di dekat sekolah. Kalau pulang jangan tunggu aku di gerbang sekolah! Tunggu di dekat pohon sakura yang itu!" Michisa bicara dengan nada arogan sambil menunjuk pohon sakura di sebelah kanan jalan.
"Baiklah."
Mereka berdua berpisah di situ. Henji menatap Michisa yang pergi menjauh. Henji tahu sifat Michisa memang egois dan kasar. Sampai saat ini bukan egois yang parah sih. Seraya berjalan ke kelasnya, Henji merenungkan segala hal yang terjadi sejak ia mengantar Michisa pulang beberapa hari yang lalu.
Michisa cenderung menutup diri dan mengandalkan kekuatannya sendiri. Apartemen yang ditempati dia dan ibunya cukup sepi. Berarti mereka tidak sering bersosialisasi. Sebenarnya Henji merasa aneh, kenapa Nona Reina sampai meminta orang lain untuk melindungi Michisa? Apa ada yang mereka sembunyikan? Ada suatu hal pada mereka yang belum bisa disentuh Henji. Semoga saja itu bukan hal yang buruk.

*****

Pulang sekolah. Usai mengganti sepatunya, Michisa mengeluarkan music player dan headset dari tasnya. Ia sibuk menyiapkan playlist lagu yang akan didengarnya sambil berjalan ke arah pohon sakura, tempat ia meminta Henji menunggu.
Henji memang sudah ada di bawah pohon itu, tapi ia belum menyadari kehadiran Michisa. Mungkin karena Henji membelakangi arah jalan itu, sehingga ia belum menyadari Michisa yang datang dari belakangnya. Awalnya, Michisa ingin meninggalkan Henji. Ia masih merasa kesal dengan pertanyaannya tadi pagi : "kau khawatir soal itu?"
Biar saja dia tetap tak sadar seperti itu dan terus menunggu! Toh, akhirnya dia akan pulang sendiri. Tapi niat itu hilang saat ia sadar bahwa Henji sedang bernyanyi kecil.
Rasanya pernah ia mendengar suara ini. Nada itu juga, liriknya juga... Ah, tak salah lagi. Ini memang lagu Tasuku.

Kau yang memanggilku
Apa kau tidak salah orang?
Mungkin aku mirip orang lain
Yang bernama sama denganku

Kalau aku menjawabmu
Akan seperti apa reaksimu?
"Sedang apa kau di sini sendiri?"
Aku mengharapkan senyumanmu

Michisa membiarkan dirinya mendengar Henji bernyanyi. Dalam hatinya ia kagum, suara Henji mirip sekali dengan Tasuku. Mungkin Henji juga penggemar Tasuku, lalu meniru cara bernyanyinya. Atau jangan-jangan... Justru Henjilah Tasuku sang Shadow Singer itu?
Ah, tidak mungkin. Henji itu 'kan... Ya begitu. Dia selalu kelihatan mendung. Selalu sendirian, selalu diam. Sedangkan Tasuku, lewat suaranya, ia terdengar seperti seorang lelaki tampan yang ekspresif, damai, bahagia, juga disukai banyak orang. Mustahil kalau dia ternyata Henji yang suram itu. Michisa terus berpikir sambil memperhatikan Henji yang masih belum sadar juga akan kehadirannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya Henji tak seburuk itu. Henji memang kelihatan suram, tapi sebenarnya... Yah... Dia baik. Sangat baik dan tulus malah. Dia memang tidak sering tersenyum di sekolah, tapi ternyata di luar sekolah ia sering tersenyum. Sikap dan cara bicaranya sopan, bahkan cenderung lembut. Postur tubuhnya tegap, badannya juga tinggi. Sepertinya hampir atau memang sekitar 180 cm. Teman seangkatan mereka di sekolah enggan bicara pada Henji karena postur tubuhnya yang tinggi besar ini : seram. Dan wajahnya, walaupun terkesan sangar ternyata sebenarnya dia cukup tampan, bahkan Michisa tak menyangka wajahnya bisa setenang dan sedamai sekarang ini.  Apa karena ia sangat menikmati musik?
Eh, oi! Apa-apaan pikiran yang barusan? Michisa baru sadar ia sudah berpikir yang aneh-aneh. "Pengetahuan"-nya soal orang itu keluar begitu saja. Ia menyandarkan dirinya di sisi lain pohon itu. Ternyata itu membuat Henji akhirnya sadar akan kehadirannya.
"Hanazawa-san?" Henji lekas berbalik menatap Michisa. Michisa sendiri membuang muka ke arah lain. "Kau baik-baik saja? Wajahmu kelihatan meme-..."
"Aku nggak apa-apa!" Michisa memotong pertanyaan Henji dengan kasar.
Michisa berjalan duluan dengan tangan menutup mulutnya. Henji menyusul di belakangnya. Michisa merasa sangat aneh karena telah memikirkan Henji seperti barusan. Ia malu pada dirinya sendiri yang telah berpikir seperti itu tentang seseorang.
"Kalau kau tak enak badan, tolong bilang padaku, ya."
Michisa diam saja. 
Untungnya Henji tak menyadari apa yang dirasakannya selama ini.

_______________________________________________________________
bento : makanan bekal 


- Bersambung ke Chapter 4 - 
Catatan Penulis :

Selamat siang, apa kabar? Maaf atas keterlambatan memosting chapter ini. Saat ini saya sedang berusaha untuk semakin menyukai Henji dan Michisa. Ikuti terus yaa, terima kasih banyak (^u^)
FildzahPro

Minggu, 21 Juli 2013

Alhamdulillah, Prestasi Baru!

Assalamu'alaikum...

Alhamdulillah nih Alhamdulillah, bulan lalu aku ikut lomba Drawing Manga di acara Ninety Cup XIV SMAN 90 Jakarta. Pengalaman pertama nih ikut lomba Manga... Deg-degan gitu :v

Awalnya tahu soal keberadaan lomba ini dari temen ekskul di Alistra, yaitu Adis, yang juga menjabat sebagai wakil ketua. Dia bilang mau nambahin sertifikat buat masuk kuliah nanti, jadi dia ngajak ikut. Kemungkinan untuk menangnya besar karena dia bilang yang ikut sedikit, dan menang gak menang tetep dapet sertifikat.

Hari H lomba, saya datang kecepetan :v
Tapi jadi ada temen baru sih. Akhirnya aku nunggu waktu lomba mulai bareng dia. Akhwat juga, namanya Wulan dari SMAN 63. Sempet ngobrol-ngobrol soal anime, manga, dan sedikit juga tentang Rohis... (random ajah haha).

Oiya, jadi teknis lombanya itu disuruh bikin manga bebas bertema "Kegiatan di Musim Panas" dalam maksimal 4 halaman kertas A4. Lombanya hari Jumat. Dari hari Senin sebelum itu, aku udah mikir kalo aku mesti bikin name-nya dulu (name : istilah untuk sketsa kasar/storyboard). Biasanya kalo lomba "on the spot" gini, aku selalu kalah gara-gara waktu. Bisa jadi karena kurang persiapan atau kurang latihan.
Ternyata walaupun udah niat bikin name dari hari Senin, saya tak kunjung membuatnya karena idenya belum ada. Ceritanya apa ya... Ceritanya apa ya... Tiap hari mikir kayak gitu. Aku ngerasa harus bikin cerita yang bagus banget, jaga-jaga kalo ternyata nanti jomplang sama gambarnya. Tiba-tiba aku (jiaahh) teringat lomba Menulis Surat yang pernah aku menangkan waktu kelas 3 SD, walaupun itu juga Harapan I sih. Aku menang cuma karena menurut juri suratku menyentuh. Waktu itu aku nulis surat untuk guruku yang udah pindah.

Dari situ kuputuskan : aku harus bikin cerita yang mengaduk-aduk perasaan. Lagipula, kalau mendengar "musim panas", apa yang kebayang hayo? Sebagian besar pasti kegiatan yang menyenangkan : pantai, festival, kembang api, jangkrik, liburan, dan sebagainya.

Gimana kalau saat kegiatan menyenangkan itu berlangsung, ada orang lain yang justru bersedih?
Kayak lirik lagunya Aqua Timez, "mungkin saja saat aku sedang tertawa, aku tidak tahu kalau (di tempat lain) kau sedang menangis."

Akhirnya kubikin cerita tentang seorang siswi SMA bernama Hirakawa Natsumi. Namanya udah kubikin sesuai cerita juga lho (._.) "Hira" dari kanji "damai", "kawa" dari kanji "sungai", "Natsu" dari kanji "musim panas" dan "Mi" dari kanji "indah". Jadi kalau ditulis dalam aksara kanji Jepang bakal kayak gini :


  
Nah, si Natsumi ini sebenarnya anak yang periang. Seperti namanya, ia lahir di musim panas dan tumbuh besar dengan menyukai musim panas. Tapi suatu kali saat SMP, di tengah perayaan Festival Kembang Api, Natsumi kehilangan ibunya, orang yang paling dia cintai meninggalkan dia untuk selamanya. Sejak itu dia jadi benci pada musim panas terutama kembang api, karena ia menganggap musim panas itu mengambil ibunya dan kembang api itu bersorak gembira atas kematian ibunya.
Tapi kemudian ayahnya menasehati, "kau memang kehilangan ibumu di musim panas, tapi bukannya di musim panas juga ada banyak kenangan bersama ibu?"
Dan saat itulah ia sadar bahwa kebenciannya menutupi banyak kenangan indah yang ia punya bersama ibunya. Saat ibunya memakaikan yukata sambil bersenda gurau, lalu menonton kembang api bersamanya...
Setelah itu Natsumi mulai kembali ceria. Sadar bahwa tidak semua orang bahagia di musim panas, ia mulai sering mampir ke panti asuhan untuk bertemu anak-anak yang senasib dengannya, yang juga kehilangan satu atau bahkan kedua orang tua. Ia sadar ia lebih beruntung dibanding mereka yang usianya lebih muda darinya tapi sudah ditinggal orang tua. Cerita ditutup dengan ia bermain kembang api kecil bersama anak-anak itu.

Yang barusan kuceritain itu cuma 3 halaman (sengaja pendek biar irit waktu) loh. Paling satu halaman ada 9-12 panel... (._.)

Yosh, cerita beres. Tapi gimana dengan name-nya? Name itu akhirnya nggak selesai. Dari 3 lembar yang kurencanakan, name untuk lembar terakhir baru selesai setengah. Akhirnya aku tempur dengan keadaan seperti itu. Halaman terakhir kukerjakan nyaris tanpa mengikuti name.

Pesertanya ada sekitar 10 orang, dan yang diambil menjadi juara hanya 3 (dan akhirnya diubah lagi menjadi hanya 2). Di luar dugaan, aku selesai duluan. Mungkin karena aku nggak sampai proses inking (penebalan dan pemberian warna hitam-putih). Dan jujur itu yang paling bikin aku nggak pede. Yah, gimana sih rasanya cuma ngumpulin komik yang bentuknya masih sketsa, sedangkan yang lain pada nebelin pake drawing pen...
Karena udah selesai sendiri, aku sempet mikir apa aku tebelin aja, ya? Tapi akhirnya nggak jadi karena kalo dipikir baik-baik kembang api yang aku gambar memakai efek yang cuma bisa dibuat oleh pensil. Dan saat itu sudah larut sekali dan aku merasa harus cepat pulang atau aku dimarahi.

Usaha udah. Sekarang tinggal berdoa. Jangan lupa juga jaga hati orang.

Ternyata hasilnya manis. Aku sempet mikir, kalo ternyata aku menang dan Adis nggak menang, aku jadi nggak enak hati sama Adis. Karena Adis-lah yang ngajak aku ikut lomba ini. Cuma itu yang aku takut.
Aku sama Adis sama-sama nggak dateng waktu pengumuman juara.

Dan ternyata kedua juara itu adalah kami berdua.
Seneng banget, bersyukur... bisa menang sama-sama Adis... :')

Aku juara I, Adis juara II. Kami WhatsApp-an panjang cuma buat nyelamatin satu sama lain hahahaa...

Aku juga bersyukur banget karena akhirnya aku menang lomba gambar lagi. Lomba gambar manual terakhir yang aku ikuti itu waktu kelas X, lomba gambar komik Bahasa Prancis. Itu pun nggak menang karena nggak berhasil kuselesaikan. Lomba gambar manual terakhir yang kumenangkan itu waktu kelas 2 SD, Lomba Menggambar dan Mewarnai internal SD-ku tahun 2004. Juara I. Udah 9 tahun yang lalu. Lama 'kan? :)

Minggu lalu aku sama Adis ngambil hadiah dan pialanya bareng-bareng. Seneng deh. Piala pertama yang kubawa pulang dalam 10 tahun terakhir (biasanya diambil sekolah :v). Sertifikat ke-13 di masa SMA ini juga udah aman di map. Semoga ini bisa jadi batu loncatan untuk prestasi selanjutnya. Otsukaresama deshita! (^u^) Wassalam

Special Thanks :
- Adis yang ngajak ikut lomba dan banyak membantu mengurus banyak hal
- My Family :)
- Panitia Ninety Cup XIV, terutama JFC. Semoga tahun depan makin baik yaa... (^u^)
- Semuanya yang gak bisa lagi disebutin satu-satu! Terima kasih banyak!
Arigatou gozaimashita!






Senin, 15 Juli 2013

Semester 5!

Assalamu'alaikum, ane sekarang lagi di sekolah. Bisa nge-post berkat teknologi "post blog via email"~ *masih excited*

Kelas baru. Iyah kelas baru. Saya yang dulu kelas XI IS 4 sekarang kelas XII IS 2. Berasa kehilangan angka 4... Hahahaa. Sayangnya karena dateng telat, ane dapet bangku paling pojok kedua dari belakang. Kelihatankah tulisan di papan tulis? Entahlah. Cuma bisa bertahan. Temen sebangku juga sementara ini gak punya. Yah udahlah wkwk. Aku ngerasa jadi karakter di novel sendiri, di mana ia selalu merasa sendirian walaupun kelasnya ramai. Perasaan yang bagus banget kalo diungkapin ke dalam kata-kata di novel.

Ehm, ngomong-ngomong, kalo dari segi temen sekelas, menurutku temen-temen kali ini lebih enak dari yang sebelumnya. Tahun lalu berasa asing banget karena nggak ada kenalan yang agak deket. Tapi sekarang ada temen ekskul, temen lama, temen sehobi, pokoknya lebih enak. Mungkin emang awalnya aja kaku. Mungkin lama-lama kami juga bakal akur.

Akhirnya juga, ada adik kelas dari SMP yang sama masuk ke sini. Ikhwan sih. Tadi sempet nyapa, maksudnya mau negur bantuin. Tapi orangnya cuma bales senyum terus pergi, bahkan tanpa menatap ke ane. Serius, ane kangen temen kayak gitu. Ane teringat diri ane yang dulu pertama kali masuk ke sini. Masih jaga jarak banget sama lawan jenis. Ane pingin balik jadi yang dulu lagi. Selama dua tahun ini, standar ane terhadap nilai memang meninggi, tapi standar agama malah menurun. Sedih jadinya.

Yah, whatever. Tinggal setahun lagi. Semangat semangat semangat!

Hari ini, 15 Juli 2013
Tahun terakhirku di SMA dimulai!
Bismillahi Allahu Akbar! (^o^)9
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Minggu, 14 Juli 2013

Honestly : Chapter 2



1.         Inside

"Mama, aku bantu beres-beres ya," ujar Michisa lembut.
"Jangan, sayang, kau berangkat sekolah saja," ibu Michisa, Nona Reina merespon.
"Mama yakin?"
"Ya. Mama bisa sendiri kok."
"Kalau begitu aku berangkat, ya."
"Hati-hati," Nona Reina melepas putri tunggalnya dengan senyum.
Michisa berjalan selangkah demi selangkah. Sebenarnya ia sangat ingin membantu ibunya dulu, tapi tugas utamanya adalah sekolah. Ia begitu menyayangi ibunya itu.

Michisa kini sudah dekat gerbang sekolah. Sambil terus berjalan ia rapikan kembali rambut cokelat keemasannya yang panjang dan seragam sekolahnya. Begitu masuk ke gerbang, sinarnya seolah muncul.
"Ah, selamat pagi, Hanazawa!" Anak-anak yang ia lewati menyapa satu persatu.
Michisa membalas dengan senyuman sederhana, "selamat pagi."
Senior-senior sampai junior-juniornya pun ikut menyapa.
"Eh, itu Hanazawa."
"Manis, ya, campuran Inggris-Jepang yang sangat cantik."
"Huwaa lihat iklan terbarunya nggak? Cantik banget..."
"Gimana caranya ya biar bisa kayak dia? Dia populer banget, cantik, pintar pula..."
"Tapi susah, ya mendekatinya."

Rutinitas tiap pagi. Orang-orang membicarakannya seperti itu. Padahal kalau mereka tahu sikapnya saat bekerja, mungkin mereka akan berhenti mengaguminya.
"Misachi, pagi~" sapa Miharu dan Naomi, teman sekelas Michisa waktu kelas 1 dulu.
"Pagi," balas Michisa. Di sekolah, Michisa terlihat seperti geng dengan kedua orang itu. Mereka seolah telah berteman lama.
Padahal sebenarnya tidak. Sama sekali tidak.
Michisa tak punya teman yang sebenarnya. Semua yang pernah menjadi temannya hanya sekedar numpang tenar. Hatinya tak pernah dibahagiakan. Akhir-akhir ini juga banyak kejadian tak mengenakkan terjadi padanya. Ia jadi sering diganggu pencuri atau orang iseng saat berangkat dan pulang sekolah, entah ada stalker atau memang dirinya yang kurang beruntung. Tapi ia bersyukur karena bila ia dilawan, ia hanya akan sedikit terluka dan berhasil kabur. Hal lainnya adalah daya tahan tubuhnya yang menurun, serta kejadian saat Tasunaga Henji memergoki sifat aslinya beberapa waktu lalu.
Kenapa harus orang itu yang tahu akan hal itu? Ini roda nasib atau apa?
Michisa mendesah berkali-kali hari itu.

*****

Henji menatap langit mendung dari jendela kelasnya. Ramalan cuaca tadi pagi tepat. Sepertinya hari ini akan hujan. Ibunya benar karena telah memaksanya membawa payung tadi pagi.
Hari ini sekolah begitu sepi bagi Henji. Biasanya ia ngobrol dengan Suzuki saat istirahat, tapi karena Suzuki tidak ada, ia benar-benar tak ada teman.
Kalau ia lewat, yang lain lebih memilih menghindar, tak mau repot. Bahkan nyaris tak ada yang menyapanya tadi pagi. Bahkan ia juga tak yakin ada yang mengingat nama kecilnya, Henji.
Bukan wajah ini yang salah. Kemampuanku bersosialisasi yang buruk.
Itulah yang selalu ia pikirkan untuk menghibur diri. Bel terakhir akhirnya berbunyi. Henji segera berkemas, ingin cepat-cepat pulang. Saat mengganti sepatunya, ia sempat melihat Michisa meninggalkan sekolah sendirian.
"Dia tak pulang dengan teman-temannya?" Pikir Henji. Ia pikir orang seperti Michisa pasti selalu punya teman untuk pulang bersama. "Ah, kenapa juga kupikirkan?"
Henji mulai meninggalkan sekolah. Tak lama setelah itu, titik-titik air turun lebat dari langit. Dengan gesit Henji membuka payungnya. Hasilnya, ia nyaris tak basah sedikitpun.
Agak jauh dari tempatnya berdiri, Michisa tampak berlindung di bawah pohon sakura yang berguguran, mencari-cari tempat berteduh yang lebih baik. Badannya sudah setengah basah kuyup. Refleks, Henji langsung berlari kecil mendekatinya dan membagi payungnya.
Michisa tertegun melihat Henji muncul di belakangnya, tapi kemudian ia membuang muka, "sedang apa kau?"
"Mencoba membantumu," jawab Henji cepat, mengikuti Michisa yang terus berjalan. "Pakai saja payung ini."
"Tidak usah!" sanggah Michisa kasar sambil menyingkirkan payung itu. Ia menemukan tempat teduh dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sana, walaupun tempat itu agak ramai. Banyak bapak-bapak yang juga berteduh di situ.
Melihat kerumunan orang itu, Henji mengikuti Michisa berteduh. Ia tahu Michisa kesal karena diikuti terus, tapi ia merasa tempat itu kurang aman bagi Michisa. Michisa sendiri menghela nafas panjang, kesal diikuti. Beberapa menit kemudian ia merasa bagian atas lututnya disentuh. Ia refleks bereaksi, namun sepertinya reaksinya tak membuat si pelaku menyerah. Tak lama setelah itu ia merasa tangan jahil itu berpindah sedikit ke atas.
"Cih," Michisa mendengus pelan. Nyaris tak terdengar.
"Sini," Henji menarik lengan baju Michisa ke tepi kerumunan, "tukar tempat denganku."
Michisa menurut. Henji tersenyum tipis padanya, lalu menatap langit dengan ekspresi santai. Michisa menatap Henji agak lama, ekspresinya berubah dari kesal menjadi tenang. Tanpa dilihat Henji, ia mendesah lagi dengan penuh sesal, berlagak seolah memukul dirinya sendiri. Lagi-lagi ia bersikap buruk pada orang yang sangat baik padanya.
Tiba-tiba Michisa menyadari suatu hal yang harusnya ia sadari sejak awal, "hei, kau 'kan bawa payung. Kenapa tidak duluan?"
Agak telat merespon, Henji menjawab, "aku tidak bisa membiarkan orang sepertimu sendirian begitu saja."
Michisa diam. Kalah. Benar, sih, tadi Henji menawarinya payung. Ada pula kejadian tak mengenakkan barusan. Michisa lalu kembali membuang muka seolah tak peduli lagi pada Henji.
Henji merasa gadis di sebelahnya ini aneh. Sekilas tadi ia sempat bersikap perhatian, tapi tiba-tiba kasar kembali. Walaupun tidak punya pertahanan, ia selalu berusaha melakukan segalanya sendiri.
Beberapa lama kemudian, hujan akhirnya berhenti. Orang-orang yang berteduh di situ mulai bubar. Begitu juga Michisa dan Henji.
"Kenapa kau mengikutiku lagi?" Tanya Michisa ketus.
"Maaf, tapi rumahku memang ke arah sini," jawab Henji yang berjalan di belakang Michisa. "Maaf kalau jadinya seperti pulang sama-sama."
Michisa diam saja. Ia semakin mendahului Henji beberapa langkah. Mereka tak saling bicara lagi. Henji pasrah. Ia tahu dan benar-benar tahu kalau ia sama sekali tak pandai bicara. Sebenarnya sejak awal ia merasa kikuk. Takut salah bersikap atau salah bicara. Tapi dia benar-benar ingin membantu. Dan kini ia tak tahu gadis di depannya ini memang benar-benar marah atau hanya mood-nya yang sedang jelek.
Saat mereka melewati persimpangan, Michisa hampir terserempet pengendara sepeda yang melaju kencang. Beruntung Henji menyadarinya tepat waktu dan dengan cepat menarik Michisa.
"Maaf, tolong jangan melaju terlalu cepat!" Seru Henji pada pengendara sepeda itu.
Michisa masih kaget. Ia tahu ia sedang melamun tadi. Kalau Henji tak ada, mungkin lengan dan kakinya terasa sakit sekarang.
"Hei, kau tidak apa-apa 'kan?"
Michisa mengangguk tanpa menatap sang pemilik suara.
"Bagaimana kalau kuantar kau sampai rumah? Kau kelihatan pucat."
"Hei, tidak usah.. Aku bisa sendiri!" Seru Michisa, "tadi aku hanya sedikit melamun!"
Henji diam, merasa kalau ia baru berbuat berlebihan, "begitu. Maaf."
Mereka berdua terus diam, lalu berjalan kembali. Sampai di persimpangan berikutnya, Henji baru bicara lagi.
"Aku ke arah sini," ujarnya. "Kau hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Sampai besok."
Michisa diam dengan tatapan kosong.
Henji menatap Michisa yang menjauh sambil terus berjalan. Di sekolah, Michisa tampak baik hati, hidupnya lancar-lancar saja. Ternyata ia punya sikap kasar seperti itu. Ternyata dia juga menghadapi cukup banyak masalah. Michisa sangat menjaga harga diri. Walaupun tahu dirinya tidak mampu, dan akhirnya malah terkesan keras kepala, ia terus maju tanpa mengharap bantuan orang lain. Henji merasa seandainya tadi ia tak menolong Michisa pun, Michisa akan menerima akibat dari kecelakaan itu dengan kekuatannya sendiri.
Dia gadis yang begitu enggan untuk meminta bantuan, meskipun sebenarnya ia sangat butuh. Hal ini seketika mengetuk kesadaran sosial Henji.
Apa boleh?
Apa boleh dia yang bukan siapa-siapa ini memberi Michisa bantuan hanya karena ingin?

****

"Kau tadi berteduh di halte bus ya?"
"Eh? Mama lihat?" Sahut Michisa yang duduk santai di sofa.
"Yeah, mama ada di sisi jalan yang satunya. Saat hujan turun mama langsung teringat padamu. Kau tidak bawa payung hari ini, right?" Nona Reina berkacak pinggang.
"Hehee sorry, aku tak memperhatikan ramalan cuaca tadi pagi."
Nona Reina menyalakan televisi, "by the way, kau tidak pernah cerita kalau kau dekat dengan teman laki-laki. Siapa yang tadi bersamamu?" Beliau duduk di sebelah putrinya dengan senyuman usil, "your boyfriend, I wonder?"
"Noooo, Mama jangan asal ngomong begitu. Laki-laki dan perempuan berdampingan itu nggak semuanya pasangan, 'kan," Michisa membuat tanda silang dengan tangannya. "Dia cuma teman sekolah, dia kelas 2-5, aku kelas 2-3. Waktu kelas 1 juga dia tidak sekelas denganku."
Ibunya hanya manggut-manggut, walaupun beliau menyadari wajah putrinya yang merona hanya karena ia menyinggung soal pacar. "Namanya?"
"Hmm.. Tasunaga Henji."
Nona Reina sejenak terkesiap. Senyumnya makin mengembang saat beliau lanjut bertanya, "dia baik, ya?"
"Ah.. Iya, dia sering menolongku. Dia pernah dua kali menolongku dari orang jahat. Tadi juga dia sempat menawariku payungnya, tapi kutolak. Makanya tadi aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Dan kalau dia tidak ada tadi, mungkin aku sudah diserempet sepeda, hehee."
Nona Reina cengengesan, anak itu hebat juga bisa menolong Michisa yang sering mengalami hal-hal aneh begitu. "Tapi, apa kau bersikap baik padanya?"
Michisa yang tadinya ceria itu langsung diam. Dia menunduk. Ibunya lalu tersenyum simpul.
"Kau memang dekat dengannya?"
"Ah, tidak. Tapi entah mengapa belakangan ini aku ketemu dia terus. Aku tak bisa bersikap baik padanya, maaf."
Nona Reina hanya membalas dengan senyum. Beliau menghela nafas.
Putrinya ini memang benar-benar seorang tsundere*.

*****

Pulang sekolah keesokan harinya, di tempat penukaran sepatu.
Usai mengganti sepatunya dengan sepatu luar, Michisa berjalan pulang sambil menyentuh keningnya sendiri. Sepertinya ia terkena efek kehujanan kemarin. Ia menyesal karena kemarin malah menerima tawaran kerja mendadak dan bukannya istirahat.
Seharian ini ia merasa pusing. Untungnya ia bisa bersikap biasa saja sampai-sampai tak ada yang menyadarinya. Bahkan ia sanggup ikut pelajaran olahraga tadi. Seorang aktris tidak boleh kalah dari hal seperti ini.
"Permisi, kau kelihatan pucat. Apa kau sendirian lagi?"
Michisa menoleh pada Henji yang tiba-tiba ada di belakangnya. "Aku biasa sendirian, kok," jawabnya dingin.
"Em, itu.. kebetulan kita bertemu. Kita sama-sama saja, 'kan searah," ujar Henji, walau terdengar aneh berhasil juga dia ucapkan.
Michisa diam saja dan terus berjalan. Henji mengikutinya dengan menjaga jarak seperti halnya kemarin. Michisa sedang pusing, jadi ia tidak ingin memperbesar masalah.
"Kemarin, setelah menolongmu berkali-kali, akhirnya aku membuat keputusan. Aku sadar kau ini sebenarnya kesulitan, jadi..."
Michisa menoleh pada Henji dengan cepat. Entah mengapa ia merasa kesal, tapi tetap ingin mendengarkan.
"... Eh, bukan apa-apa, lupakan," lanjutnya.
Michisa memalingkan wajah dari Henji dengan kesal. Henji tahu ia membuat Michisa marah. Tadinya ia bermaksud untuk mengatakan bahwa dia ingin menolong Michisa, tapi dibatalkannya karena ia tahu Michisa tak akan sudi, apalagi setelah melihat ekspresi kesalnya barusan. Lagipula tawarannya itu konyol dan berlebihan.
Untuk beberapa saat mereka berjalan dalam diam.
"Hei..."
Henji menoleh pada gadis yang memanggilnya tanpa menoleh itu.
"Aku mengabaikan nasihatmu yang kemarin, maaf ya..."
Henji terdiam sejenak. Mencari-cari maksud ucapan gadis di depannya ini. Segera setelah itu ia akhirnya tahu.
"Kau hati-hati, ya, jaga kesehatan. Sampai besok."
Henji takjub. Baru kali ini ia mendengar Michisa minta maaf. Tapi tiba-tiba Michisa tampak kehilangan keseimbangan tubuhnya dan mulai jatuh. Henji dengan sigap menangkap Michisa, dan baru ia sadari wajah Michisa lebih pucat dari yang sebelumnya. Padahal bahunya terlapisi seragam dan blazer sekolah, namun Henji masih bisa merasakan panasnya tubuh Michisa.
"Apa dia seperti ini sejak pagi??" Pikir Henji. "Hei, rumahmu di mana?"
"A-apartemen Mizusawa.. yang di sebelah toko 24 jam..." Jawab Michisa putus-putus, "nomor... 24..."
"Bertahanlah, akan kuantar kau."
Henji meraih tas sekolah Michisa dan menggantungnya di lengan kanannya, bersamaan dengan tas miliknya. Ia berusaha mengingat rute pulang Michisa yang jarang ia lewati, sambil membawa Michisa sampai ke rumahnya. Saat ia akhirnya tiba di depan komplek apartemen itu, ia bertemu dengan Hanazawa Reina.
Reina yang mengenali putrinya langsung menghampiri Henji, "Michisa! Ada apa dengan dia??"
"Sepertinya dia demam tinggi. Anda keluarganya?" Jawab Henji cepat.
"Ya, saya ibunya. Ayo, ikuti saya."
Nona Reina menuntun Henji masuk ke apartemen, lalu membantu membawa Michisa ke tempat tidurnya.
"Ma..." Michisa memanggil ibunya.
"Just rest, honey. You can tell me later."
Michisa diam. Ibunya dan Henji lalu hendak meninggalkan kamarnya. Namun ia sempat menahan lengan Henji.
Henji yang merasakan panas di lengan bawahnya lalu kembali menoleh pada Michisa.
"Tasunaga.. Terima kasih."
Henji tersenyum tipis, "istirahatlah."
Reina dan Henji keluar dari kamar itu, meninggalkan Michisa yang terlelap.
"Terima kasih sudah menolong Michisa, ya. Namamu siapa?" Nona Reina bertanya pada Henji dengan ramah.
"Sama-sama, nama saya Tasunaga," Henji mencoba untuk tersenyum.
"Tasunaga ya? Nama kecilmu?" Nona Reina bertanya lagi, walaupun sebenarnya beliau sudah bisa menebaknya.
"Ah, em, Henji. Tasunaga Henji."
"Oh, pantas mirip," Nona Reina terlihat senang, "kau tidak sedang buru-buru 'kan? Bisa bicara denganku sebentar?"
Henji menyanggupi. Nona Reina menggiring Henji ke ruang tamu, lalu membuatkan lemon tea untuk dirinya dan Henji. Sementara Nona Reina membuat lemon tea, Henji menatap sekeliling. Di dinding ruangan itu terdapat beberapa bingkai foto. Salah satunya adalah foto Michisa dengan kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Sepertinya foto itu bukan diambil di Jepang. Apa di Inggris? Michisa kecil memakai dress dengan pita yang mengikat rambutnya, yang tak sepanjang sekarang. Ibunya juga memakai gaun yang bagus. Ayahnya yang orang Inggris itu pun tampak sangat bersahabat walau dengan tuksedo rapi.
Yang jelas, Henji merasa bahwa keluarga di foto ini benar-benar bahagia. Ia tak pernah melihat Michisa yang sekarang tersenyum seperti itu.
Kenapa?
"Maaf telah membuatmu menunggu."
Nona Reina kembali dengan membawa dua gelas lemon tea. Beliau memberikan yang satu pada Henji.
"Terima kasih," ujar Henji.
"Sama-sama, kita langsung saja, ya. Kau kenal Tasunaga Ryuuji 'kan?"
"Ya, beliau ayahku. Anda mengenal-"
"Finally! Tuan Ryuuji adalah teman baik ayah Michisa," potong Nona Reina senang, "tapi sudah lama sekali nggak saling kontak. Tenang saja, bukan karena berkelahi kok."
Henji tampak terkejut. Ia baru tahu hal itu, "benarkah?"
"Of course. Michisa juga tidak tahu sih. Hei, Henji-kun, kau jangan terlalu formal padaku, ya? Anggap saja aku bibimu. Kau pasti nggak ingat, tapi aku pernah ketemu denganmu waktu kau masih bayi sekali. Maaf juga aku sering menggunakan Bahasa Inggris, aku pernah tinggal di Inggris selama total 15 tahun."
Henji tertarik. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Kau dekat dengan Michisa, ya?"
"Ah, tidak kok. Hanya teman sekolah biasa. Bahkan sekedar kenal."
"Begitu? Tapi kudengar kau menolong Michisa terus belakangan ini. Terima kasih banyak."
"Tidak masalah. Aku memang suka membantu orang, mungkin sifat ini turunan ayah. Sudah sangat melekat padaku."
"Betul juga sih, kau mirip sekali dengan ayahmu."
Henji terkekeh pelan.
"Hei, Henji-kun, kalau di sekolah Michisa itu seperti apa?"
"Hmm, dia nampak baik-baik saja. Seolah-olah hidupnya tak ada masalah, orang-orang juga menyukainya. Dia kelihatan sempurna," puji Henji. Ia lalu menghela nafas sebentar, "tapi, sepertinya dia memendam sesuatu, ya?"
"Ternyata kau sadar juga, ya?"
"Ehm, mungkin aku hanya asal bicara karena aku baru dua hari ini bersama dia. Tapi dia sangat tidak suka dibantu, walaupun sebenarnya ia butuh bantuan. Dia selalu berusaha menghadapi semuanya sendirian. Menurutku dia gadis yang kuat."
Nona Reina menghela nafas sejenak, "dia juga bersikap kasar padamu, 'kan?"
Henji melambungkan pikiran sejenak, "dia memang cenderung keras kepala, tapi kurasa dia sebenarnya baik."
"Maafkan dia, ya. Kau memang benar, dia sebenarnya baik. Anak yang sangat baik malah. Aku tahu dia sebenarnya tak punya sahabat, tapi dia selalu bilang padaku kalau dia punya banyak teman di sekolah. Walaupun ia sibuk karena kariernya, ia selalu menjaga prestasi sekolahnya. Dan walaupun kelelahan karena sekolah dan pekerjaannya, dia selalu ada untukku di rumah," Nona Reina berkata demikian dengan tatapan agak sedih.
"Maaf, apakah ayah Michisa begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang ada di rumah?"
Nona Reina tersenyum tipis, "aku ini single parent. Ayah Michisa sudah meninggal sejak 4 tahun yang lalu."
Henji diam. Ia sama sekali tak menduga hal itu. Tapi itu masuk akal. Wajar jika Michisa tak punya kemampuan melindungi dirinya, karena ayahnya, satu-satunya lelaki di keluarganya sudah tidak ada. Henji sendiri tak bisa membayangkan apa jadinya bila ayahnya sendiri meninggal saat usianya 12 tahun.
"Apa terlalu sulit dipercaya?"
"Ah.. Tidak, maaf..."
Nona Reina berkata lagi sambil menunduk, "kau mengerti 'kan? Satu-satunya lelaki di keluarga ini sudah tiada cukup lama. Michisa juga tak punya saudara. Aku juga begitu sibuk bekerja demi menghidupi kami berdua," wajahnya semakin mendung.
Henji tak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan.
"Karena itu, Henji-kun, kumohon, tolong lindungi Michisa!" Tambah beliau sambil tetap menunduk. Lebih mirip seperti membungkuk. 
Dan kata-kata beliau barusan makin membuat Henji tak mampu berkata-kata.

___________________________________________________________________
tsundere : seseorang yang kasar di luar, namun baik di dalam, biasanya tidak jujur pada keinginan dan perasaannya sendiri.

- Bersambung ke Chapter 3 - 



Catatan penulis :

Agak shock nih. Waktu dapat ide tentang "penyanyi bayangan", saya excited banget karena merasa belum pernah ada yang begitu. Beberapa bulan kemudian saya baru tahu tentang sebuah grup musik Jepang yang namanya sudah pernah saya dengar sebelumnya, "GReeeeN", bahwa ternyata mereka adalah grup di mana personilnya tak pernah menampakkan diri. Saya langsung berpikir dengan kecewa, "ternyata ideku bukan suatu hal yang baru ya..." (_ _)
Tapi ya karena terlanjur dibuat, teruskan saja, ya.... XD
FildzahPro