1.
Inside
"Mama, aku bantu
beres-beres ya," ujar Michisa lembut.
"Jangan,
sayang, kau berangkat sekolah saja," ibu Michisa, Nona Reina merespon.
"Mama yakin?"
"Ya. Mama bisa
sendiri kok."
"Kalau begitu aku
berangkat, ya."
"Hati-hati," Nona Reina
melepas putri tunggalnya dengan senyum.
Michisa berjalan
selangkah demi selangkah. Sebenarnya ia sangat ingin membantu ibunya dulu, tapi
tugas utamanya adalah sekolah. Ia begitu menyayangi ibunya itu.
Michisa kini sudah dekat
gerbang sekolah. Sambil terus berjalan ia rapikan kembali rambut cokelat
keemasannya yang panjang dan seragam sekolahnya. Begitu masuk ke gerbang,
sinarnya seolah muncul.
"Ah, selamat pagi,
Hanazawa!" Anak-anak yang ia lewati menyapa satu persatu.
Michisa membalas dengan
senyuman sederhana, "selamat pagi."
Senior-senior sampai junior-juniornya pun ikut menyapa.
"Eh, itu
Hanazawa."
"Manis, ya, campuran
Inggris-Jepang yang sangat cantik."
"Huwaa lihat iklan
terbarunya nggak? Cantik banget..."
"Gimana caranya ya
biar bisa kayak dia? Dia populer banget, cantik, pintar pula..."
"Tapi susah, ya mendekatinya."
Rutinitas tiap pagi.
Orang-orang membicarakannya seperti itu. Padahal kalau mereka tahu sikapnya
saat bekerja, mungkin mereka akan berhenti mengaguminya.
"Misachi,
pagi~" sapa Miharu dan Naomi, teman sekelas Michisa waktu kelas 1 dulu.
"Pagi," balas
Michisa. Di sekolah, Michisa terlihat seperti geng dengan kedua orang itu. Mereka
seolah telah berteman lama.
Padahal sebenarnya tidak.
Sama sekali tidak.
Michisa tak punya teman
yang sebenarnya. Semua yang pernah menjadi temannya hanya sekedar numpang
tenar. Hatinya tak pernah dibahagiakan. Akhir-akhir ini juga banyak kejadian
tak mengenakkan terjadi padanya. Ia jadi sering diganggu pencuri atau orang
iseng saat berangkat dan pulang sekolah, entah ada stalker atau memang dirinya yang kurang beruntung. Tapi ia
bersyukur karena bila ia dilawan, ia hanya akan sedikit terluka dan berhasil
kabur. Hal lainnya adalah daya tahan tubuhnya yang menurun, serta kejadian saat
Tasunaga Henji memergoki sifat aslinya beberapa waktu lalu.
Kenapa harus orang itu yang
tahu akan hal itu? Ini roda nasib atau apa?
Michisa mendesah
berkali-kali hari itu.
*****
Henji menatap langit
mendung dari jendela kelasnya. Ramalan cuaca tadi pagi tepat. Sepertinya hari
ini akan hujan. Ibunya benar karena telah memaksanya membawa payung tadi pagi.
Hari ini sekolah begitu
sepi bagi Henji. Biasanya ia ngobrol dengan Suzuki saat istirahat, tapi karena
Suzuki tidak ada, ia benar-benar tak ada teman.
Kalau ia lewat, yang lain
lebih memilih menghindar, tak mau repot. Bahkan nyaris tak ada yang menyapanya
tadi pagi. Bahkan ia juga
tak yakin ada yang mengingat nama kecilnya, Henji.
Bukan wajah ini yang salah. Kemampuanku bersosialisasi yang buruk.
Itulah yang selalu ia
pikirkan untuk menghibur diri. Bel terakhir akhirnya berbunyi. Henji segera
berkemas, ingin cepat-cepat pulang. Saat mengganti sepatunya, ia sempat melihat
Michisa meninggalkan sekolah sendirian.
"Dia tak pulang dengan teman-temannya?" Pikir Henji. Ia pikir orang seperti Michisa pasti selalu punya
teman untuk pulang bersama. "Ah, kenapa
juga kupikirkan?"
Henji mulai meninggalkan
sekolah. Tak lama setelah itu, titik-titik air turun lebat dari langit. Dengan gesit Henji membuka
payungnya. Hasilnya, ia nyaris tak basah sedikitpun.
Agak jauh dari tempatnya
berdiri, Michisa tampak berlindung di bawah pohon sakura yang berguguran,
mencari-cari tempat berteduh yang lebih baik. Badannya sudah setengah basah
kuyup. Refleks, Henji langsung berlari kecil mendekatinya dan membagi
payungnya.
Michisa tertegun melihat
Henji muncul di belakangnya, tapi kemudian ia membuang muka, "sedang apa
kau?"
"Mencoba
membantumu," jawab Henji cepat, mengikuti Michisa yang terus berjalan.
"Pakai saja payung ini."
"Tidak usah!"
sanggah Michisa kasar sambil menyingkirkan payung itu. Ia menemukan tempat
teduh dan memutuskan
untuk berhenti sejenak di sana, walaupun tempat itu agak ramai. Banyak bapak-bapak yang
juga berteduh di situ.
Melihat kerumunan orang
itu, Henji mengikuti Michisa berteduh. Ia tahu Michisa kesal karena diikuti
terus, tapi ia merasa tempat itu kurang aman bagi Michisa. Michisa sendiri
menghela nafas panjang, kesal diikuti. Beberapa menit kemudian ia merasa bagian
atas lututnya disentuh. Ia refleks bereaksi, namun sepertinya reaksinya tak
membuat si pelaku menyerah. Tak lama setelah itu ia merasa tangan jahil itu
berpindah sedikit ke atas.
"Cih," Michisa
mendengus pelan. Nyaris tak terdengar.
"Sini," Henji
menarik lengan baju Michisa ke tepi kerumunan, "tukar tempat
denganku."
Michisa menurut. Henji
tersenyum tipis padanya, lalu menatap langit dengan ekspresi santai. Michisa
menatap Henji agak lama, ekspresinya berubah dari kesal menjadi tenang. Tanpa
dilihat Henji, ia mendesah lagi dengan penuh sesal, berlagak seolah memukul
dirinya sendiri. Lagi-lagi ia bersikap buruk pada orang yang sangat baik padanya.
Tiba-tiba Michisa menyadari
suatu hal yang harusnya ia sadari sejak awal, "hei, kau 'kan bawa payung.
Kenapa tidak duluan?"
Agak telat merespon,
Henji menjawab, "aku
tidak bisa membiarkan orang sepertimu sendirian begitu saja."
Michisa diam. Kalah. Benar,
sih, tadi Henji menawarinya payung. Ada pula kejadian tak mengenakkan barusan.
Michisa lalu kembali membuang muka seolah tak peduli lagi pada Henji.
Henji merasa gadis di
sebelahnya ini aneh. Sekilas tadi ia sempat bersikap perhatian, tapi tiba-tiba
kasar kembali. Walaupun tidak punya pertahanan, ia selalu berusaha melakukan
segalanya sendiri.
Beberapa lama kemudian, hujan akhirnya berhenti.
Orang-orang yang berteduh di situ mulai bubar. Begitu juga Michisa dan Henji.
"Kenapa kau
mengikutiku lagi?" Tanya Michisa ketus.
"Maaf, tapi rumahku
memang ke arah sini," jawab Henji yang berjalan di belakang Michisa.
"Maaf kalau jadinya seperti pulang sama-sama."
Michisa diam saja. Ia
semakin mendahului Henji beberapa langkah. Mereka tak saling bicara lagi. Henji
pasrah. Ia tahu dan benar-benar tahu kalau ia sama sekali tak pandai bicara.
Sebenarnya sejak awal ia merasa kikuk. Takut salah bersikap atau salah bicara.
Tapi dia benar-benar ingin membantu. Dan kini ia tak tahu gadis di depannya ini
memang benar-benar marah atau hanya mood-nya
yang sedang jelek.
Saat mereka melewati
persimpangan, Michisa hampir terserempet pengendara sepeda yang melaju
kencang. Beruntung Henji menyadarinya tepat waktu dan dengan cepat menarik
Michisa.
"Maaf, tolong jangan
melaju terlalu cepat!" Seru Henji pada pengendara sepeda itu.
Michisa masih kaget. Ia
tahu ia sedang melamun tadi. Kalau Henji tak ada, mungkin lengan dan kakinya terasa sakit sekarang.
"Hei, kau tidak
apa-apa 'kan?"
Michisa mengangguk tanpa menatap sang pemilik suara.
"Bagaimana kalau
kuantar kau sampai rumah? Kau kelihatan pucat."
"Hei, tidak usah..
Aku bisa sendiri!" Seru Michisa, "tadi aku hanya sedikit
melamun!"
Henji diam, merasa kalau
ia baru berbuat berlebihan, "begitu. Maaf."
Mereka berdua terus diam,
lalu berjalan kembali. Sampai di persimpangan berikutnya, Henji baru bicara
lagi.
"Aku ke arah
sini," ujarnya. "Kau hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Sampai
besok."
Michisa diam dengan
tatapan kosong.
Henji menatap Michisa
yang menjauh sambil terus berjalan. Di sekolah, Michisa tampak baik hati,
hidupnya lancar-lancar saja. Ternyata ia punya sikap kasar seperti itu.
Ternyata dia juga menghadapi cukup banyak masalah. Michisa sangat menjaga harga
diri. Walaupun tahu dirinya tidak mampu, dan akhirnya malah terkesan keras
kepala, ia terus maju tanpa mengharap bantuan orang lain. Henji merasa
seandainya tadi ia tak menolong Michisa pun, Michisa akan menerima akibat dari
kecelakaan itu dengan kekuatannya sendiri.
Dia gadis yang begitu
enggan untuk meminta bantuan, meskipun sebenarnya ia sangat butuh. Hal ini
seketika mengetuk kesadaran sosial Henji.
Apa boleh?
Apa boleh dia yang bukan
siapa-siapa ini memberi Michisa bantuan hanya karena ingin?
****
"Kau tadi berteduh
di halte bus ya?"
"Eh? Mama
lihat?" Sahut Michisa yang duduk santai di sofa.
"Yeah, mama ada di sisi jalan yang
satunya. Saat hujan turun mama langsung teringat padamu. Kau tidak bawa payung
hari ini, right?" Nona Reina
berkacak pinggang.
"Hehee sorry, aku tak memperhatikan ramalan cuaca tadi pagi."
Nona Reina menyalakan
televisi, "by the way, kau tidak
pernah cerita kalau kau dekat dengan teman laki-laki. Siapa yang tadi
bersamamu?" Beliau duduk di sebelah putrinya dengan senyuman usil,
"your boyfriend, I wonder?"
"Noooo, Mama jangan asal ngomong begitu. Laki-laki dan perempuan berdampingan
itu nggak semuanya pasangan, 'kan," Michisa
membuat tanda silang dengan tangannya. "Dia cuma teman sekolah,
dia kelas 2-5, aku kelas 2-3. Waktu kelas 1 juga dia tidak sekelas
denganku."
Ibunya hanya
manggut-manggut, walaupun beliau menyadari wajah putrinya yang merona hanya karena ia menyinggung soal
pacar. "Namanya?"
"Hmm.. Tasunaga
Henji."
Nona Reina sejenak
terkesiap. Senyumnya
makin mengembang saat beliau lanjut bertanya, "dia
baik, ya?"
"Ah.. Iya, dia
sering menolongku. Dia pernah dua kali menolongku dari orang jahat. Tadi juga
dia sempat menawariku payungnya, tapi kutolak. Makanya tadi aku pulang dalam
keadaan basah kuyup. Dan kalau dia tidak ada tadi, mungkin aku sudah diserempet
sepeda, hehee."
Nona Reina cengengesan,
anak itu hebat juga bisa menolong Michisa yang sering mengalami hal-hal aneh
begitu. "Tapi, apa kau bersikap baik padanya?"
Michisa yang tadinya ceria
itu langsung diam. Dia menunduk. Ibunya lalu tersenyum simpul.
"Kau memang dekat
dengannya?"
"Ah, tidak. Tapi
entah mengapa belakangan ini aku ketemu dia terus. Aku tak bisa bersikap baik
padanya, maaf."
Nona Reina hanya membalas
dengan senyum. Beliau menghela nafas.
Putrinya ini memang
benar-benar seorang tsundere*.
*****
Pulang sekolah keesokan
harinya, di tempat penukaran sepatu.
Usai mengganti sepatunya
dengan sepatu luar, Michisa berjalan pulang sambil menyentuh keningnya sendiri.
Sepertinya ia terkena efek kehujanan kemarin. Ia menyesal karena kemarin malah menerima tawaran kerja mendadak
dan bukannya istirahat.
Seharian ini ia merasa
pusing. Untungnya ia bisa bersikap biasa saja sampai-sampai tak
ada yang menyadarinya. Bahkan ia sanggup ikut pelajaran olahraga tadi. Seorang aktris tidak boleh kalah
dari hal seperti ini.
"Permisi, kau
kelihatan pucat. Apa
kau sendirian lagi?"
Michisa menoleh pada
Henji yang tiba-tiba ada di belakangnya. "Aku biasa
sendirian, kok,"
jawabnya dingin.
"Em, itu.. kebetulan
kita bertemu. Kita sama-sama saja, 'kan searah," ujar Henji, walau
terdengar aneh berhasil juga dia ucapkan.
Michisa diam saja dan terus
berjalan. Henji mengikutinya dengan menjaga jarak seperti halnya kemarin. Michisa
sedang pusing, jadi ia tidak ingin memperbesar masalah.
"Kemarin, setelah
menolongmu berkali-kali, akhirnya aku membuat keputusan. Aku sadar kau ini
sebenarnya kesulitan, jadi..."
Michisa menoleh pada
Henji dengan cepat. Entah mengapa ia merasa kesal, tapi tetap ingin
mendengarkan.
"... Eh, bukan
apa-apa, lupakan," lanjutnya.
Michisa memalingkan wajah
dari Henji dengan kesal. Henji tahu ia membuat Michisa marah. Tadinya ia
bermaksud untuk mengatakan bahwa dia ingin menolong Michisa, tapi dibatalkannya
karena ia tahu Michisa tak akan sudi, apalagi setelah melihat ekspresi kesalnya barusan. Lagipula
tawarannya itu konyol dan berlebihan.
Untuk beberapa saat
mereka berjalan dalam diam.
"Hei..."
Henji menoleh pada gadis
yang memanggilnya tanpa menoleh itu.
"Aku mengabaikan nasihatmu yang kemarin, maaf ya..."
Henji terdiam sejenak. Mencari-cari maksud ucapan gadis di
depannya ini. Segera setelah itu ia akhirnya tahu.
"Kau hati-hati, ya, jaga
kesehatan. Sampai besok."
Henji takjub. Baru kali ini ia mendengar Michisa
minta maaf. Tapi tiba-tiba Michisa tampak kehilangan keseimbangan tubuhnya dan
mulai jatuh. Henji dengan sigap menangkap Michisa, dan baru ia sadari wajah Michisa
lebih pucat dari yang sebelumnya. Padahal bahunya terlapisi seragam dan blazer
sekolah, namun Henji
masih bisa merasakan panasnya tubuh Michisa.
"Apa dia seperti ini sejak pagi??"
Pikir Henji. "Hei, rumahmu di mana?"
"A-apartemen Mizusawa..
yang di sebelah toko 24 jam..." Jawab Michisa putus-putus, "nomor... 24..."
"Bertahanlah, akan
kuantar kau."
Henji meraih tas sekolah
Michisa dan menggantungnya di lengan kanannya, bersamaan dengan tas miliknya.
Ia berusaha mengingat rute pulang Michisa yang jarang ia lewati, sambil membawa
Michisa sampai ke rumahnya. Saat ia akhirnya tiba di depan komplek apartemen
itu, ia bertemu dengan Hanazawa Reina.
Reina yang mengenali
putrinya langsung menghampiri Henji, "Michisa! Ada apa dengan dia??"
"Sepertinya dia
demam tinggi. Anda keluarganya?" Jawab Henji cepat.
"Ya, saya ibunya.
Ayo, ikuti saya."
Nona Reina menuntun Henji
masuk ke apartemen, lalu membantu membawa Michisa ke tempat tidurnya.
"Ma..." Michisa
memanggil ibunya.
"Just rest, honey. You can tell me later."
Michisa diam. Ibunya dan
Henji lalu hendak meninggalkan kamarnya. Namun ia sempat menahan lengan Henji.
Henji yang merasakan
panas di lengan bawahnya lalu kembali menoleh pada Michisa.
"Tasunaga.. Terima
kasih."
Henji tersenyum tipis,
"istirahatlah."
Reina dan Henji keluar
dari kamar itu, meninggalkan Michisa yang terlelap.
"Terima kasih sudah
menolong Michisa, ya. Namamu siapa?" Nona Reina bertanya pada Henji dengan
ramah.
"Sama-sama, nama
saya Tasunaga," Henji mencoba untuk tersenyum.
"Tasunaga ya? Nama
kecilmu?" Nona Reina bertanya lagi, walaupun sebenarnya beliau sudah bisa
menebaknya.
"Ah, em, Henji.
Tasunaga Henji."
"Oh, pantas mirip," Nona Reina
terlihat senang, "kau tidak sedang buru-buru 'kan? Bisa bicara denganku
sebentar?"
Henji menyanggupi. Nona
Reina menggiring Henji ke ruang tamu, lalu membuatkan lemon tea untuk dirinya dan Henji. Sementara Nona Reina membuat lemon tea, Henji menatap sekeliling. Di
dinding ruangan itu terdapat beberapa bingkai foto. Salah satunya adalah foto
Michisa dengan kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Sepertinya foto itu
bukan diambil di Jepang. Apa di Inggris? Michisa kecil memakai dress dengan
pita yang mengikat rambutnya, yang tak sepanjang sekarang. Ibunya juga memakai
gaun yang bagus. Ayahnya yang orang Inggris itu pun tampak sangat bersahabat
walau dengan tuksedo rapi.
Yang jelas, Henji merasa
bahwa keluarga di foto ini benar-benar bahagia. Ia tak pernah melihat Michisa
yang sekarang tersenyum seperti itu.
Kenapa?
"Maaf telah membuatmu menunggu."
Nona Reina kembali dengan
membawa dua gelas lemon tea. Beliau
memberikan yang satu pada Henji.
"Terima kasih,"
ujar Henji.
"Sama-sama, kita
langsung saja, ya. Kau kenal Tasunaga Ryuuji 'kan?"
"Ya, beliau ayahku. Anda mengenal-"
"Finally! Tuan Ryuuji adalah teman baik ayah
Michisa," potong Nona Reina senang, "tapi sudah lama sekali nggak saling
kontak. Tenang saja, bukan karena berkelahi kok."
Henji tampak terkejut. Ia
baru tahu hal itu, "benarkah?"
"Of course. Michisa juga tidak tahu sih.
Hei, Henji-kun, kau jangan
terlalu formal padaku, ya? Anggap saja aku bibimu. Kau pasti nggak ingat, tapi aku
pernah ketemu denganmu waktu kau masih bayi sekali. Maaf
juga aku sering menggunakan Bahasa Inggris, aku pernah tinggal di Inggris
selama total 15 tahun."
Henji tertarik. Ia
tersenyum dan mengangguk.
"Kau dekat dengan
Michisa, ya?"
"Ah, tidak kok.
Hanya teman sekolah
biasa. Bahkan sekedar kenal."
"Begitu? Tapi
kudengar kau menolong Michisa terus belakangan ini. Terima kasih banyak."
"Tidak
masalah. Aku memang suka membantu orang, mungkin sifat ini turunan ayah. Sudah
sangat melekat padaku."
"Betul juga sih, kau
mirip sekali dengan ayahmu."
Henji terkekeh pelan.
"Hei, Henji-kun,
kalau di sekolah Michisa itu seperti apa?"
"Hmm, dia nampak
baik-baik saja. Seolah-olah hidupnya tak ada masalah, orang-orang juga
menyukainya. Dia kelihatan sempurna," puji Henji. Ia lalu menghela nafas sebentar, "tapi, sepertinya dia memendam sesuatu, ya?"
"Ternyata kau sadar juga,
ya?"
"Ehm, mungkin aku
hanya asal bicara karena aku baru dua hari ini bersama dia. Tapi dia sangat
tidak suka dibantu, walaupun sebenarnya ia butuh bantuan. Dia selalu berusaha
menghadapi semuanya sendirian. Menurutku dia gadis yang kuat."
Nona Reina menghela nafas
sejenak, "dia juga bersikap kasar padamu, 'kan?"
Henji melambungkan
pikiran sejenak, "dia
memang cenderung keras kepala, tapi kurasa dia
sebenarnya baik."
"Maafkan dia, ya.
Kau memang benar, dia sebenarnya baik. Anak yang sangat baik malah. Aku tahu
dia sebenarnya tak punya sahabat, tapi dia selalu bilang padaku kalau dia punya
banyak teman di sekolah. Walaupun ia sibuk karena kariernya, ia selalu
menjaga prestasi sekolahnya. Dan walaupun kelelahan karena sekolah dan
pekerjaannya, dia selalu ada untukku di rumah," Nona Reina berkata
demikian dengan tatapan agak sedih.
"Maaf, apakah ayah Michisa
begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang ada di rumah?"
Nona Reina tersenyum
tipis, "aku ini single parent.
Ayah Michisa sudah meninggal sejak 4 tahun yang lalu."
Henji diam. Ia sama
sekali tak menduga hal itu. Tapi itu masuk akal. Wajar jika Michisa tak punya
kemampuan melindungi dirinya, karena ayahnya, satu-satunya lelaki di
keluarganya sudah tidak ada. Henji sendiri tak bisa membayangkan apa jadinya
bila ayahnya sendiri meninggal saat usianya 12 tahun.
"Apa terlalu sulit
dipercaya?"
"Ah.. Tidak,
maaf..."
Nona Reina berkata lagi
sambil menunduk, "kau mengerti 'kan? Satu-satunya lelaki di keluarga ini
sudah tiada cukup lama. Michisa juga tak punya saudara. Aku juga begitu sibuk
bekerja demi menghidupi kami berdua," wajahnya semakin mendung.
Henji tak bisa melakukan
apa-apa selain mendengarkan.
"Karena itu,
Henji-kun, kumohon, tolong lindungi Michisa!" Tambah beliau sambil tetap
menunduk. Lebih mirip seperti membungkuk.
Dan kata-kata beliau
barusan makin membuat Henji tak mampu berkata-kata.
___________________________________________________________________
tsundere : seseorang yang kasar di luar, namun baik di dalam, biasanya tidak jujur pada keinginan dan perasaannya sendiri.
___________________________________________________________________
tsundere : seseorang yang kasar di luar, namun baik di dalam, biasanya tidak jujur pada keinginan dan perasaannya sendiri.
- Bersambung ke Chapter 3 -
Catatan penulis :
Agak shock nih. Waktu dapat ide tentang "penyanyi bayangan", saya excited banget karena merasa belum pernah ada yang begitu. Beberapa bulan kemudian saya baru tahu tentang sebuah grup musik Jepang yang namanya sudah pernah saya dengar sebelumnya, "GReeeeN", bahwa ternyata mereka adalah grup di mana personilnya tak pernah menampakkan diri. Saya langsung berpikir dengan kecewa, "ternyata ideku bukan suatu hal yang baru ya..." (_ _)
Tapi ya karena terlanjur dibuat, teruskan saja, ya.... XD
FildzahPro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar