Minggu, 14 Juli 2013

Honestly : Chapter 2



1.         Inside

"Mama, aku bantu beres-beres ya," ujar Michisa lembut.
"Jangan, sayang, kau berangkat sekolah saja," ibu Michisa, Nona Reina merespon.
"Mama yakin?"
"Ya. Mama bisa sendiri kok."
"Kalau begitu aku berangkat, ya."
"Hati-hati," Nona Reina melepas putri tunggalnya dengan senyum.
Michisa berjalan selangkah demi selangkah. Sebenarnya ia sangat ingin membantu ibunya dulu, tapi tugas utamanya adalah sekolah. Ia begitu menyayangi ibunya itu.

Michisa kini sudah dekat gerbang sekolah. Sambil terus berjalan ia rapikan kembali rambut cokelat keemasannya yang panjang dan seragam sekolahnya. Begitu masuk ke gerbang, sinarnya seolah muncul.
"Ah, selamat pagi, Hanazawa!" Anak-anak yang ia lewati menyapa satu persatu.
Michisa membalas dengan senyuman sederhana, "selamat pagi."
Senior-senior sampai junior-juniornya pun ikut menyapa.
"Eh, itu Hanazawa."
"Manis, ya, campuran Inggris-Jepang yang sangat cantik."
"Huwaa lihat iklan terbarunya nggak? Cantik banget..."
"Gimana caranya ya biar bisa kayak dia? Dia populer banget, cantik, pintar pula..."
"Tapi susah, ya mendekatinya."

Rutinitas tiap pagi. Orang-orang membicarakannya seperti itu. Padahal kalau mereka tahu sikapnya saat bekerja, mungkin mereka akan berhenti mengaguminya.
"Misachi, pagi~" sapa Miharu dan Naomi, teman sekelas Michisa waktu kelas 1 dulu.
"Pagi," balas Michisa. Di sekolah, Michisa terlihat seperti geng dengan kedua orang itu. Mereka seolah telah berteman lama.
Padahal sebenarnya tidak. Sama sekali tidak.
Michisa tak punya teman yang sebenarnya. Semua yang pernah menjadi temannya hanya sekedar numpang tenar. Hatinya tak pernah dibahagiakan. Akhir-akhir ini juga banyak kejadian tak mengenakkan terjadi padanya. Ia jadi sering diganggu pencuri atau orang iseng saat berangkat dan pulang sekolah, entah ada stalker atau memang dirinya yang kurang beruntung. Tapi ia bersyukur karena bila ia dilawan, ia hanya akan sedikit terluka dan berhasil kabur. Hal lainnya adalah daya tahan tubuhnya yang menurun, serta kejadian saat Tasunaga Henji memergoki sifat aslinya beberapa waktu lalu.
Kenapa harus orang itu yang tahu akan hal itu? Ini roda nasib atau apa?
Michisa mendesah berkali-kali hari itu.

*****

Henji menatap langit mendung dari jendela kelasnya. Ramalan cuaca tadi pagi tepat. Sepertinya hari ini akan hujan. Ibunya benar karena telah memaksanya membawa payung tadi pagi.
Hari ini sekolah begitu sepi bagi Henji. Biasanya ia ngobrol dengan Suzuki saat istirahat, tapi karena Suzuki tidak ada, ia benar-benar tak ada teman.
Kalau ia lewat, yang lain lebih memilih menghindar, tak mau repot. Bahkan nyaris tak ada yang menyapanya tadi pagi. Bahkan ia juga tak yakin ada yang mengingat nama kecilnya, Henji.
Bukan wajah ini yang salah. Kemampuanku bersosialisasi yang buruk.
Itulah yang selalu ia pikirkan untuk menghibur diri. Bel terakhir akhirnya berbunyi. Henji segera berkemas, ingin cepat-cepat pulang. Saat mengganti sepatunya, ia sempat melihat Michisa meninggalkan sekolah sendirian.
"Dia tak pulang dengan teman-temannya?" Pikir Henji. Ia pikir orang seperti Michisa pasti selalu punya teman untuk pulang bersama. "Ah, kenapa juga kupikirkan?"
Henji mulai meninggalkan sekolah. Tak lama setelah itu, titik-titik air turun lebat dari langit. Dengan gesit Henji membuka payungnya. Hasilnya, ia nyaris tak basah sedikitpun.
Agak jauh dari tempatnya berdiri, Michisa tampak berlindung di bawah pohon sakura yang berguguran, mencari-cari tempat berteduh yang lebih baik. Badannya sudah setengah basah kuyup. Refleks, Henji langsung berlari kecil mendekatinya dan membagi payungnya.
Michisa tertegun melihat Henji muncul di belakangnya, tapi kemudian ia membuang muka, "sedang apa kau?"
"Mencoba membantumu," jawab Henji cepat, mengikuti Michisa yang terus berjalan. "Pakai saja payung ini."
"Tidak usah!" sanggah Michisa kasar sambil menyingkirkan payung itu. Ia menemukan tempat teduh dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sana, walaupun tempat itu agak ramai. Banyak bapak-bapak yang juga berteduh di situ.
Melihat kerumunan orang itu, Henji mengikuti Michisa berteduh. Ia tahu Michisa kesal karena diikuti terus, tapi ia merasa tempat itu kurang aman bagi Michisa. Michisa sendiri menghela nafas panjang, kesal diikuti. Beberapa menit kemudian ia merasa bagian atas lututnya disentuh. Ia refleks bereaksi, namun sepertinya reaksinya tak membuat si pelaku menyerah. Tak lama setelah itu ia merasa tangan jahil itu berpindah sedikit ke atas.
"Cih," Michisa mendengus pelan. Nyaris tak terdengar.
"Sini," Henji menarik lengan baju Michisa ke tepi kerumunan, "tukar tempat denganku."
Michisa menurut. Henji tersenyum tipis padanya, lalu menatap langit dengan ekspresi santai. Michisa menatap Henji agak lama, ekspresinya berubah dari kesal menjadi tenang. Tanpa dilihat Henji, ia mendesah lagi dengan penuh sesal, berlagak seolah memukul dirinya sendiri. Lagi-lagi ia bersikap buruk pada orang yang sangat baik padanya.
Tiba-tiba Michisa menyadari suatu hal yang harusnya ia sadari sejak awal, "hei, kau 'kan bawa payung. Kenapa tidak duluan?"
Agak telat merespon, Henji menjawab, "aku tidak bisa membiarkan orang sepertimu sendirian begitu saja."
Michisa diam. Kalah. Benar, sih, tadi Henji menawarinya payung. Ada pula kejadian tak mengenakkan barusan. Michisa lalu kembali membuang muka seolah tak peduli lagi pada Henji.
Henji merasa gadis di sebelahnya ini aneh. Sekilas tadi ia sempat bersikap perhatian, tapi tiba-tiba kasar kembali. Walaupun tidak punya pertahanan, ia selalu berusaha melakukan segalanya sendiri.
Beberapa lama kemudian, hujan akhirnya berhenti. Orang-orang yang berteduh di situ mulai bubar. Begitu juga Michisa dan Henji.
"Kenapa kau mengikutiku lagi?" Tanya Michisa ketus.
"Maaf, tapi rumahku memang ke arah sini," jawab Henji yang berjalan di belakang Michisa. "Maaf kalau jadinya seperti pulang sama-sama."
Michisa diam saja. Ia semakin mendahului Henji beberapa langkah. Mereka tak saling bicara lagi. Henji pasrah. Ia tahu dan benar-benar tahu kalau ia sama sekali tak pandai bicara. Sebenarnya sejak awal ia merasa kikuk. Takut salah bersikap atau salah bicara. Tapi dia benar-benar ingin membantu. Dan kini ia tak tahu gadis di depannya ini memang benar-benar marah atau hanya mood-nya yang sedang jelek.
Saat mereka melewati persimpangan, Michisa hampir terserempet pengendara sepeda yang melaju kencang. Beruntung Henji menyadarinya tepat waktu dan dengan cepat menarik Michisa.
"Maaf, tolong jangan melaju terlalu cepat!" Seru Henji pada pengendara sepeda itu.
Michisa masih kaget. Ia tahu ia sedang melamun tadi. Kalau Henji tak ada, mungkin lengan dan kakinya terasa sakit sekarang.
"Hei, kau tidak apa-apa 'kan?"
Michisa mengangguk tanpa menatap sang pemilik suara.
"Bagaimana kalau kuantar kau sampai rumah? Kau kelihatan pucat."
"Hei, tidak usah.. Aku bisa sendiri!" Seru Michisa, "tadi aku hanya sedikit melamun!"
Henji diam, merasa kalau ia baru berbuat berlebihan, "begitu. Maaf."
Mereka berdua terus diam, lalu berjalan kembali. Sampai di persimpangan berikutnya, Henji baru bicara lagi.
"Aku ke arah sini," ujarnya. "Kau hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Sampai besok."
Michisa diam dengan tatapan kosong.
Henji menatap Michisa yang menjauh sambil terus berjalan. Di sekolah, Michisa tampak baik hati, hidupnya lancar-lancar saja. Ternyata ia punya sikap kasar seperti itu. Ternyata dia juga menghadapi cukup banyak masalah. Michisa sangat menjaga harga diri. Walaupun tahu dirinya tidak mampu, dan akhirnya malah terkesan keras kepala, ia terus maju tanpa mengharap bantuan orang lain. Henji merasa seandainya tadi ia tak menolong Michisa pun, Michisa akan menerima akibat dari kecelakaan itu dengan kekuatannya sendiri.
Dia gadis yang begitu enggan untuk meminta bantuan, meskipun sebenarnya ia sangat butuh. Hal ini seketika mengetuk kesadaran sosial Henji.
Apa boleh?
Apa boleh dia yang bukan siapa-siapa ini memberi Michisa bantuan hanya karena ingin?

****

"Kau tadi berteduh di halte bus ya?"
"Eh? Mama lihat?" Sahut Michisa yang duduk santai di sofa.
"Yeah, mama ada di sisi jalan yang satunya. Saat hujan turun mama langsung teringat padamu. Kau tidak bawa payung hari ini, right?" Nona Reina berkacak pinggang.
"Hehee sorry, aku tak memperhatikan ramalan cuaca tadi pagi."
Nona Reina menyalakan televisi, "by the way, kau tidak pernah cerita kalau kau dekat dengan teman laki-laki. Siapa yang tadi bersamamu?" Beliau duduk di sebelah putrinya dengan senyuman usil, "your boyfriend, I wonder?"
"Noooo, Mama jangan asal ngomong begitu. Laki-laki dan perempuan berdampingan itu nggak semuanya pasangan, 'kan," Michisa membuat tanda silang dengan tangannya. "Dia cuma teman sekolah, dia kelas 2-5, aku kelas 2-3. Waktu kelas 1 juga dia tidak sekelas denganku."
Ibunya hanya manggut-manggut, walaupun beliau menyadari wajah putrinya yang merona hanya karena ia menyinggung soal pacar. "Namanya?"
"Hmm.. Tasunaga Henji."
Nona Reina sejenak terkesiap. Senyumnya makin mengembang saat beliau lanjut bertanya, "dia baik, ya?"
"Ah.. Iya, dia sering menolongku. Dia pernah dua kali menolongku dari orang jahat. Tadi juga dia sempat menawariku payungnya, tapi kutolak. Makanya tadi aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Dan kalau dia tidak ada tadi, mungkin aku sudah diserempet sepeda, hehee."
Nona Reina cengengesan, anak itu hebat juga bisa menolong Michisa yang sering mengalami hal-hal aneh begitu. "Tapi, apa kau bersikap baik padanya?"
Michisa yang tadinya ceria itu langsung diam. Dia menunduk. Ibunya lalu tersenyum simpul.
"Kau memang dekat dengannya?"
"Ah, tidak. Tapi entah mengapa belakangan ini aku ketemu dia terus. Aku tak bisa bersikap baik padanya, maaf."
Nona Reina hanya membalas dengan senyum. Beliau menghela nafas.
Putrinya ini memang benar-benar seorang tsundere*.

*****

Pulang sekolah keesokan harinya, di tempat penukaran sepatu.
Usai mengganti sepatunya dengan sepatu luar, Michisa berjalan pulang sambil menyentuh keningnya sendiri. Sepertinya ia terkena efek kehujanan kemarin. Ia menyesal karena kemarin malah menerima tawaran kerja mendadak dan bukannya istirahat.
Seharian ini ia merasa pusing. Untungnya ia bisa bersikap biasa saja sampai-sampai tak ada yang menyadarinya. Bahkan ia sanggup ikut pelajaran olahraga tadi. Seorang aktris tidak boleh kalah dari hal seperti ini.
"Permisi, kau kelihatan pucat. Apa kau sendirian lagi?"
Michisa menoleh pada Henji yang tiba-tiba ada di belakangnya. "Aku biasa sendirian, kok," jawabnya dingin.
"Em, itu.. kebetulan kita bertemu. Kita sama-sama saja, 'kan searah," ujar Henji, walau terdengar aneh berhasil juga dia ucapkan.
Michisa diam saja dan terus berjalan. Henji mengikutinya dengan menjaga jarak seperti halnya kemarin. Michisa sedang pusing, jadi ia tidak ingin memperbesar masalah.
"Kemarin, setelah menolongmu berkali-kali, akhirnya aku membuat keputusan. Aku sadar kau ini sebenarnya kesulitan, jadi..."
Michisa menoleh pada Henji dengan cepat. Entah mengapa ia merasa kesal, tapi tetap ingin mendengarkan.
"... Eh, bukan apa-apa, lupakan," lanjutnya.
Michisa memalingkan wajah dari Henji dengan kesal. Henji tahu ia membuat Michisa marah. Tadinya ia bermaksud untuk mengatakan bahwa dia ingin menolong Michisa, tapi dibatalkannya karena ia tahu Michisa tak akan sudi, apalagi setelah melihat ekspresi kesalnya barusan. Lagipula tawarannya itu konyol dan berlebihan.
Untuk beberapa saat mereka berjalan dalam diam.
"Hei..."
Henji menoleh pada gadis yang memanggilnya tanpa menoleh itu.
"Aku mengabaikan nasihatmu yang kemarin, maaf ya..."
Henji terdiam sejenak. Mencari-cari maksud ucapan gadis di depannya ini. Segera setelah itu ia akhirnya tahu.
"Kau hati-hati, ya, jaga kesehatan. Sampai besok."
Henji takjub. Baru kali ini ia mendengar Michisa minta maaf. Tapi tiba-tiba Michisa tampak kehilangan keseimbangan tubuhnya dan mulai jatuh. Henji dengan sigap menangkap Michisa, dan baru ia sadari wajah Michisa lebih pucat dari yang sebelumnya. Padahal bahunya terlapisi seragam dan blazer sekolah, namun Henji masih bisa merasakan panasnya tubuh Michisa.
"Apa dia seperti ini sejak pagi??" Pikir Henji. "Hei, rumahmu di mana?"
"A-apartemen Mizusawa.. yang di sebelah toko 24 jam..." Jawab Michisa putus-putus, "nomor... 24..."
"Bertahanlah, akan kuantar kau."
Henji meraih tas sekolah Michisa dan menggantungnya di lengan kanannya, bersamaan dengan tas miliknya. Ia berusaha mengingat rute pulang Michisa yang jarang ia lewati, sambil membawa Michisa sampai ke rumahnya. Saat ia akhirnya tiba di depan komplek apartemen itu, ia bertemu dengan Hanazawa Reina.
Reina yang mengenali putrinya langsung menghampiri Henji, "Michisa! Ada apa dengan dia??"
"Sepertinya dia demam tinggi. Anda keluarganya?" Jawab Henji cepat.
"Ya, saya ibunya. Ayo, ikuti saya."
Nona Reina menuntun Henji masuk ke apartemen, lalu membantu membawa Michisa ke tempat tidurnya.
"Ma..." Michisa memanggil ibunya.
"Just rest, honey. You can tell me later."
Michisa diam. Ibunya dan Henji lalu hendak meninggalkan kamarnya. Namun ia sempat menahan lengan Henji.
Henji yang merasakan panas di lengan bawahnya lalu kembali menoleh pada Michisa.
"Tasunaga.. Terima kasih."
Henji tersenyum tipis, "istirahatlah."
Reina dan Henji keluar dari kamar itu, meninggalkan Michisa yang terlelap.
"Terima kasih sudah menolong Michisa, ya. Namamu siapa?" Nona Reina bertanya pada Henji dengan ramah.
"Sama-sama, nama saya Tasunaga," Henji mencoba untuk tersenyum.
"Tasunaga ya? Nama kecilmu?" Nona Reina bertanya lagi, walaupun sebenarnya beliau sudah bisa menebaknya.
"Ah, em, Henji. Tasunaga Henji."
"Oh, pantas mirip," Nona Reina terlihat senang, "kau tidak sedang buru-buru 'kan? Bisa bicara denganku sebentar?"
Henji menyanggupi. Nona Reina menggiring Henji ke ruang tamu, lalu membuatkan lemon tea untuk dirinya dan Henji. Sementara Nona Reina membuat lemon tea, Henji menatap sekeliling. Di dinding ruangan itu terdapat beberapa bingkai foto. Salah satunya adalah foto Michisa dengan kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Sepertinya foto itu bukan diambil di Jepang. Apa di Inggris? Michisa kecil memakai dress dengan pita yang mengikat rambutnya, yang tak sepanjang sekarang. Ibunya juga memakai gaun yang bagus. Ayahnya yang orang Inggris itu pun tampak sangat bersahabat walau dengan tuksedo rapi.
Yang jelas, Henji merasa bahwa keluarga di foto ini benar-benar bahagia. Ia tak pernah melihat Michisa yang sekarang tersenyum seperti itu.
Kenapa?
"Maaf telah membuatmu menunggu."
Nona Reina kembali dengan membawa dua gelas lemon tea. Beliau memberikan yang satu pada Henji.
"Terima kasih," ujar Henji.
"Sama-sama, kita langsung saja, ya. Kau kenal Tasunaga Ryuuji 'kan?"
"Ya, beliau ayahku. Anda mengenal-"
"Finally! Tuan Ryuuji adalah teman baik ayah Michisa," potong Nona Reina senang, "tapi sudah lama sekali nggak saling kontak. Tenang saja, bukan karena berkelahi kok."
Henji tampak terkejut. Ia baru tahu hal itu, "benarkah?"
"Of course. Michisa juga tidak tahu sih. Hei, Henji-kun, kau jangan terlalu formal padaku, ya? Anggap saja aku bibimu. Kau pasti nggak ingat, tapi aku pernah ketemu denganmu waktu kau masih bayi sekali. Maaf juga aku sering menggunakan Bahasa Inggris, aku pernah tinggal di Inggris selama total 15 tahun."
Henji tertarik. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Kau dekat dengan Michisa, ya?"
"Ah, tidak kok. Hanya teman sekolah biasa. Bahkan sekedar kenal."
"Begitu? Tapi kudengar kau menolong Michisa terus belakangan ini. Terima kasih banyak."
"Tidak masalah. Aku memang suka membantu orang, mungkin sifat ini turunan ayah. Sudah sangat melekat padaku."
"Betul juga sih, kau mirip sekali dengan ayahmu."
Henji terkekeh pelan.
"Hei, Henji-kun, kalau di sekolah Michisa itu seperti apa?"
"Hmm, dia nampak baik-baik saja. Seolah-olah hidupnya tak ada masalah, orang-orang juga menyukainya. Dia kelihatan sempurna," puji Henji. Ia lalu menghela nafas sebentar, "tapi, sepertinya dia memendam sesuatu, ya?"
"Ternyata kau sadar juga, ya?"
"Ehm, mungkin aku hanya asal bicara karena aku baru dua hari ini bersama dia. Tapi dia sangat tidak suka dibantu, walaupun sebenarnya ia butuh bantuan. Dia selalu berusaha menghadapi semuanya sendirian. Menurutku dia gadis yang kuat."
Nona Reina menghela nafas sejenak, "dia juga bersikap kasar padamu, 'kan?"
Henji melambungkan pikiran sejenak, "dia memang cenderung keras kepala, tapi kurasa dia sebenarnya baik."
"Maafkan dia, ya. Kau memang benar, dia sebenarnya baik. Anak yang sangat baik malah. Aku tahu dia sebenarnya tak punya sahabat, tapi dia selalu bilang padaku kalau dia punya banyak teman di sekolah. Walaupun ia sibuk karena kariernya, ia selalu menjaga prestasi sekolahnya. Dan walaupun kelelahan karena sekolah dan pekerjaannya, dia selalu ada untukku di rumah," Nona Reina berkata demikian dengan tatapan agak sedih.
"Maaf, apakah ayah Michisa begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang ada di rumah?"
Nona Reina tersenyum tipis, "aku ini single parent. Ayah Michisa sudah meninggal sejak 4 tahun yang lalu."
Henji diam. Ia sama sekali tak menduga hal itu. Tapi itu masuk akal. Wajar jika Michisa tak punya kemampuan melindungi dirinya, karena ayahnya, satu-satunya lelaki di keluarganya sudah tidak ada. Henji sendiri tak bisa membayangkan apa jadinya bila ayahnya sendiri meninggal saat usianya 12 tahun.
"Apa terlalu sulit dipercaya?"
"Ah.. Tidak, maaf..."
Nona Reina berkata lagi sambil menunduk, "kau mengerti 'kan? Satu-satunya lelaki di keluarga ini sudah tiada cukup lama. Michisa juga tak punya saudara. Aku juga begitu sibuk bekerja demi menghidupi kami berdua," wajahnya semakin mendung.
Henji tak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan.
"Karena itu, Henji-kun, kumohon, tolong lindungi Michisa!" Tambah beliau sambil tetap menunduk. Lebih mirip seperti membungkuk. 
Dan kata-kata beliau barusan makin membuat Henji tak mampu berkata-kata.

___________________________________________________________________
tsundere : seseorang yang kasar di luar, namun baik di dalam, biasanya tidak jujur pada keinginan dan perasaannya sendiri.

- Bersambung ke Chapter 3 - 



Catatan penulis :

Agak shock nih. Waktu dapat ide tentang "penyanyi bayangan", saya excited banget karena merasa belum pernah ada yang begitu. Beberapa bulan kemudian saya baru tahu tentang sebuah grup musik Jepang yang namanya sudah pernah saya dengar sebelumnya, "GReeeeN", bahwa ternyata mereka adalah grup di mana personilnya tak pernah menampakkan diri. Saya langsung berpikir dengan kecewa, "ternyata ideku bukan suatu hal yang baru ya..." (_ _)
Tapi ya karena terlanjur dibuat, teruskan saja, ya.... XD
FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar