HONESTLY
1.
First Move
“Kami pulang,” ujar
seorang gadis remaja setelah ia membuka pintu rumahnya. “Ah, Harurun!
Hati-hati! Nanti kamu jatuh!”
“Ah, kalian sudah pulang,
Riichan... hei, Harurun, kenapa buru-buru? Hati-hati naik
tangganya!”
Gadis kecil itu berlari
melewati kakak perempuan dan ibunya. Dengan semangat ia menaiki tangga sambil
membawa topi model cap warna hitam,
menerobos pintu kamar sehingga membuat orang di dalamnya terkejut.
"Kakaaak!!! Ini
untukmu...!!!"
Henji sempat tersentak,
saat asyik bermain gitar, adik bungsunya tiba-tiba masuk. Melihat topi yang
disodorkan Harumi, ia tersenyum lembut.
"Ini untukku
lagi?" Tanya Henji.
"Yaa! Ini pengganti
topi yang waktu itu ya kak," jawab Harumi ceria.
"Yang ada tandatangan
Michisa?"
"Iya yang itu.
Tapi tadi nggak ada yang mirip sama yang dulu, jadi yang ini aja deh. Nggak
apa-apa 'kan kak?"
"Nggak apa-apa. Aku
senang, terima kasih ya, Harurun."
"Sama-sama, kak.
Terima kasih juga buat tandatangan dan kalung bintang dari Michisa-chan
ini."
Harumi alias Harurun berlalu.
Henji menatap topi hitam bergambar not balok biru kecil dari adiknya itu. Akhir
tahun kemarin banyak sekali hal yang terjadi.
-Pertengahan November,
Musim Dingin kelas 1 SMA-
"Henji, permainan
musikmu luar biasa. Suaramu juga sangat bagus. Kenapa tidak coba debut
saja?"
"Terima kasih,
Paman. Tapi maaf, aku tidak bisa tampil di depan publik."
"Kenapa?"
"Yah, Paman tahu
sendiri. Aku sama sekali bukan tipe sosialita seperti Suzuki. Aku bukan orang yang bisa tampil di depan orang
banyak."
"Hm.. Bagaimana
kalau kutawari kau menjadi Shadow Singer?
Kurasa itu cocok untukmu."
"Apa?"
"Bakatmu bisa
tersalurkan tanpa kau harus tampil di depan publik. Orang lain tetap bisa
menikmati karyamu. Banyak
orang yang seperti itu kok, mulai dari komikus sampai grup musik. Tentu saja aku akan minta izin dulu pada orang tuamu, dan kalau mereka
mengizinkan kau akan kulatih dulu secara pribadi. Jadi tak akan
melibatkan banyak orang. Bagaimana?"
"Baiklah. Tapi kalau
nanti aku berubah pikiran, bagaimana?"
"Ya, tak apa.
Kalau begitu kita perlu nama panggung. Hei.. Bagaimana kalau Tasuku? Itu cocok
sekali untukmu. Setuju 'kan?"
"Tasuku..."
*****
Henji melamun. Pikirannya
melambung pada masa itu, saat pamannya menawarinya debut. Henji yang menyukai
musik, yang pendiam itu, bahkan dirinya sendiri tidak percaya bahwa sekarang ia
adalah Shadow Singer yang bernama panggung Tasuku. Akhir musim dingin lalu
ia merilis single pertamanya, "Winter Sun".
Tentu saja karena Tasuku adalah shadow
singer, kehidupan Henji tidak begitu berubah.
"Kakak," suara
Riho, adik pertama Henji, memecah lamunan Henji.
"Ah! Ri-Riichan, ada
apa?" Jawab Henji setengah kaget.
"Aku cuma mau
bilang, makan malam sudah siap."
"Oh, baiklah, aku
akan turun ke bawah," ujar Henji sambil membereskan gitar dan buku-buku
catatannya.
Riho diam sejenak menatap
kegiatan kakaknya. Ia menarik nafas dan menggumam, "Kakak makin
sibuk, ya?"
"Nggak kok,"
ujar Henji sambil tersenyum. "Bahkan kadang saat nggak diinginkan pun aku
akan ada di rumah."
"Oh ya? Nggak usah
maksa. Di rumah terus itu justru aneh buat cowok
seumur Kakak," ekspresi Riho mendadak berubah ceria.
"Iya deh, ayo
turun," ajak Henji sambil mengelus kepala adiknya.
*****
Kantor Redaksi Majalah Sugooii!! Teen.
"Suzuki!"
Panggil Henji.
"Ah! Henji, ada
apa?" Suzuki, sepupu Henji, merespon.
"Kau berangkat ke
Inggris besok malam 'kan? Aku dan ayahku akan ikut melepasmu di bandara."
"Begitukah? Terima
kasih."
"Kapan kau
kembali?"
"Mungkin akhir
liburan musim panas. Cukup singkat untuk ukuran pertukaran 'kan?"
"Empat bulan ya? Betul juga. Kenapa bisa?"
"Yah, hahaa.. Sulit
menjelaskannya. Pada dasarnya waktu yang diberikan padaku memang sedikit. Tapi tetap ada kemungkinan kalau masa
pertukarannya diperpanjang."
"Begitu. Berjuanglah!"
"Terima kasih, aku akan berusaha,"
ujar Suzuki sambil tersenyum. "Kau di sini karena ada urusan dengan ibuku
'kan?"
"Ya, ada wawancara
eksklusif," Henji melihat sekeliling, lalu berbisik, "soal
Tasuku."
"Oohh aku mengerti," Suzuki mengangguk paham seperti bocah. "Oh ya, kau tahu Hanazawa Michisa 'kan?"
"Gadis blasteran
yang sekelas denganmu itu? Kenapa?"
"Yah, kupikir kita
ini 'kan akrab seperti saudara, jadi aku ingin memberitahu sesuatu,"
ujar Suzuki, wajahnya perlahan merona.
Henji diam menunggu. Ia
tersenyum tipis karena rasanya ia tahu apa yang akan dikatakan Suzuki.
"Yah.. Emm, tak apa deh. Lupakan saja."
Henji tersenyum heran. Sepertinya
benar apa yang dia duga, tapi ia lebih memilih diam daripada memastikan dugaan itu. "Ada
lagi yang ingin kauungkapkan?"
"Nggak ada kok. Thanks sudah mendengarkan."
"Sama-sama. Sampai
ketemu besok malam."
"Ya, sampai besok."
Henji berlalu, ia segera
pergi ke ruang kerja Sugawara Ayuki, pemred majalah Sugooii!! Teen, yang juga ibu dari Suzuki sekaligus bibinya.
Keluarga Henji begitu menyenangkan
baginya. Ia sangat menyayangi keluarganya. Karena itu, ia tetap senang walaupun
teman yang ia punya hanya Suzuki. Di sekolah, Henji tak punya teman dekat. Wajahnya
yang cukup sangar dan
postur tubuhnya yang tinggi tegap membuat orang salah menilai dirinya dan enggan menyapanya.
Wawancara akhirnya selesai.
Karena dilakukan langsung oleh bibinya, tentu kerahasiaan Tasuku tetap terjaga.
"Terima kasih,
Henji. Edisi yang ini pasti laris! Terbitnya awal bulan depan,
jadi tunggu saja ya!" Ujar bibinya saat wawancara itu selesai.
Sekarang tinggal
istirahat di rumah, dan siap-siap untuk sekolah besok...
"Sudah kubilang! Aku
tidak mau!!!" Seorang gadis berteriak kesal. "Aku takkan pernah sudi
memakai baju buatan perusahaan itu!!!"
Henji yang sedang menuju lift
tersentak kaget. Astaga, gadis itu suaranya keras sekali. Gadis itu terus
berjalan pergi dengan
langkah kesal ke arah yang berlawanan dengan Henji. Di belakangnya ada dua
orang wanita yang berusaha mencegahnya pergi. Tapi gadis itu tak peduli. Saat
gadis itu menyadari keberadaan Henji, wajahnya berubah. Langkahnya terhenti
sesaat. Sepertinya dia agak panik. Ekspresinya lalu berubah kosong.
Henji terpengaruh ekspresinya itu. Ia diam tanpa berkata apapun. Ia
kenal gadis itu, dan ia tak pernah menyangka bahwa gadis itu bisa bersikap
seperti tadi. Mengabaikan profesionalisme, lalu mengikuti keegoisannya.
Gadis itu Hanazawa Michisa. Teman sekolah Henji
yang sekelas dengan Suzuki sejak kelas 1 SMA. Gadis blasteran Inggris-Jepang
yang juga berprofesi sebagai model dan aktris.
"Kenapa kau?! Jangan melihatku terus!" Michisa tiba-tiba
memarahinya demikian. "Lupakanlah soal ini, Tasunaga Henji!!"
Tambahnya seraya pergi dari tempat itu.
Tinggallah Henji
seorang diri. Ia masih bertanya-tanya tentang apa yang dilihatnya tadi. Ia tak
tahu kalau Hanazawa Michisa, gadis populer di sekolahnya, bisa bersikap
sekasar itu.
"Kalau Suzuki
melihat yang barusan, apa jadinya ya?" Gumam Henji. "Tapi ternyata dia tahu namaku.
Apa dari Suzuki?" Lanjutnya. Ia teringat kali
pertama ia bicara dengan Michisa.
*****
-Liburan musim dingin kelas
1 SMA, 1 Januari, Tahun Baru-
Henji sedang
berjalan-jalan bersama kedua adik dan ibunya malam itu. Saat ibu dan
adik-adiknya membeli kudapan, suara teriakan yang samar menyita
perhatian Henji. Saat ia datangi, ternyata dua orang perampok sedang berusaha merebut
barang-barang seorang gadis dengan paksa. Yang satu berusaha mencari barang-barang berharga di dalam tas, dan yang
satu lagi mencengkram gadis itu dengan kasar.
Refleks, karena sudah
terlatih oleh ayahnya yang polisi itu, Henji mengalahkan kedua perampok tadi. Karena lawannya dua orang, ia sempat
terkena beberapa pukulan. Namun ia berhasil membuat
mereka pingsan sehingga
tidak melarikan diri.
Gadis itu masih terduduk
ketakutan. Ia masih berusaha memperlambat tempo detak jantungnya. Henji mendekatinya dan berlutut, berniat
menolong.
"Eh? Kau Hanazawa-san, ya?
Hanazawa-san kelas 1-3 'kan?" Henji baru menyadari kalau gadis itu Hanazawa Michisa,
teman sekolahnya.
Michisa mendongak pelan.
Setelah menatap Henji sesaat, ia berdiri perlahan-lahan. Henji ikut berdiri.
"Kalau ada yang
sakit, tidak usah dipaksa," ujar Henji lagi sambil tersenyum.
"Terima kasih..
sudah menolongku," ujar Michisa sambil memaksakan senyum
kecil. Terlihat jelas bahwa ia masih shock.
"Tenangkan dirimu
dulu," Henji berkata demikian seraya beralih memunguti barang-barang
Michisa yang sempat diambil si perampok.
"Ah, maaf, namamu
siapa? Kau juga murid SMA Nosaka?" Tanya Michisa.
"Ya, aku kelas
1-1," ujar Henji sambil terus mengumpulkan barang Michisa, "tapi kau tidak usah repot-repot mengingat
namaku, tidak penting kok."
Michisa terdiam dalam
tatapan kagum,
"tapi..."
"Yosh. Ini
barang-barangmu."
"Ah, terima kasih
banyak," Michisa tersenyum, "biarkan aku mentraktirmu nanti
sebagai ucapan terima kasih."
"Hei, jangan..."
"Kumohon! Aku
berhutang budi padamu."
Henji diam sejenak, lalu
berkata, "begini saja. Tolong tandatangani topiku ini," Henji melepas
topinya dan memberikannya pada Michisa, "adik perempuanku fansmu."
Michisa lalu
menandatangani topi berwarna
hitam-putih itu. Ia lalu melepas kalung bintang yang
dipakainya, "berikan juga ini pada adikmu."
"Benarkah?
Terima kasih banyak. Asal
adikku senang, aku juga senang," ujar Henji sambil tersenyum tulus.
Michisa membalas dengan
senyuman manis.
"Aku pergi dulu.
Keluargaku menunggu. Maaf ya, aku cuma bisa menolong sedikit."
Michisa diam. Belum
sempat menjawab, laki-laki itu melesat pergi.
Ini kali pertama mereka
saling bicara.
*****
"Halo? Ayah? Ya..
Aku sedang di kereta, dalam perjalanan ke bandara... Aku sendirian... Hm,
Suzuki bilang dia di terminal 2D.. Baiklah, nanti kukabari lagi. Sampai ketemu
di bandara, Yah."
Henji menutup telepon.
Tepat saat kereta yang ditumpanginya berhenti di stasiun tujuannya. Dengan
langkah cepat ia beralih masuk ke bandara, menuju terminal tempat Suzuki
berada. Malam ini, paman, bibi, ayahnya dan dirinya akan melepas Suzuki yang
hendak melakukan pertukaran pelajar ke London, Inggris. Ia berangkat malam ini,
dan baru akan kembali ke Jepang 4 bulan lagi, saat liburan musim panas.
Henji bergabung dengan
Suzuki dan orang tuanya. Selang beberapa menit kemudian, ayahnya datang.
"Maaf, aku datang
begitu lama," ujar ayah Henji, Tasunaga Ryuuji.
"Akhirnya Ayah
datang," ujar Henji.
"Terima kasih sudah
datang melepasku, Paman," ujar Suzuki.
Tuan Ryuuji menyalami
Suzuki dan orang tuanya. Beliau tersenyum, membuat aura sangar di wajahnya
hilang. Wajah yang diturunkannya kepada Henji.
Sementara keluarganya
yang lain sibuk berbincang-bincang, Henji menatap Suzuki. Sepupu sekaligus
teman satu-satunya yang ia punya sekarang. Henji tak pernah punya kawan dekat,
berbeda dengan Suzuki. Suzuki anak yang cerdas, tampan, dan sangat populer. Ia
anak yang pandai bergaul dan bicara. Karena bakatnya, ia juga mulai terjun ke
dunia modelling. Namun, walau
sangat berbeda, sejak kecil Henji dan Suzuki akrab layaknya saudara. Kini,
Suzuki akan pergi jauh. Tentu saja Henji sangat mendukung perjuangan sepupunya
itu, walau hati kecilnya tahu ia akan kesepian tanpa Suzuki.
Tiba-tiba ia teringat
Michisa yang ia lihat di kantor redaksi majalah beberapa waktu lalu.
"Ah, Suzuki, itu...
Waktu di kantor majalah kemarin..."
"Yosh! Sudah
waktunya boarding. Aku harus
pergi," Suzuki tiba-tiba bersiap pergi, "maaf, Henji, tadi kau mau
bilang apa?"
"Eh," Henji
diam sejenak, berpikir kembali, "bukan apa-apa, lupakan saja. Selamat
jalan, Suzuki."
"Begitu? Ya sudah.
Sampai nanti," Suzuki tersenyum ceria. Ia berpamitan dan memeluk kedua
orang tuanya. Ia juga menyalami Henji dan Tuan Ryuuji.
"Saat Suzuki kembali nanti, dia pasti akan menjadi orang hebat. Apa nanti
aku akan tertinggal? Apa aku akan tetap begini?
Apa aku bisa berubah jadi
orang yang lebih hebat daripada Suzuki?"
Hati kecil Henji
meluapkan tekadnya yang terpendam seiring kepergian Suzuki.
- Bersambung ke Chapter 2 -
Catatan penulis :
Chapter 1 memang pendek. Setelah menulis sampai chapter 8 di ponsel, akhirnya saya melihat file novel ini di komputer. Saya kaget karena ternyata 8 chapter itu panjangnya sampai 66 halaman kertas A4. Jadi bertanya-tanya sendiri, "apa benar aku nulis sepanjang itu?" (o_o)
Tapi tetap saja, semua menyenangkan. Semoga saya bisa cepat menyelesaikan novel ini beserta lagu-lagu dan ilustrasinya. Jangan ragu menyampaikan kritik dan saran. Ikuti terus kisah hidup Henji, ya... (^^)v
FildzahPro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar