3.
And
So on
"Tolong lindungi
Michisa."
Dulu ia memang sempat
berpikir untuk menolong Michisa. Ternyata sekarang malah ibu Michisa langsung
yang memintanya untuk melindungi gadis itu.
Beliau terlihat begitu
berharap.
Michisa yang sekarang
juga tak bisa melakukan segalanya sendirian.
Dan tak ada seorangpun
laki-laki di rumah itu.
Mereka butuh bantuan
bukan?
Henji tertunduk dengan
tangan terkepal. Ia membulatkan tekad dan menguatkan diri, "baiklah. Saya
akan bantu."
Nona Reina mendongak
senang, "really? Terima kasih
banyak, Henji-kun! Hanya kau yang bisa kupercaya! Entah bagaimana aku harus
berterima kasih!"
Henji hanya tersenyum
saat Nona Reina menjabat tangannya. Tiba-tiba ia merasa seolah jadi menantu
paksaan.
"Menantu
paksaan".
Eh, benar juga.
Henji memang suka
menolong orang, tapi kali ini berarti ia harus meladeni gadis kasar itu setiap
hari. Bagaikan punya satu adik lagi yang harus diurus.
Ah, kenapa dia baru sadar
sekarang...
Henji berjalan pulang ke
rumahnya, masih terngiang akan kejadian di rumah Michisa tadi. Ia mencoba
menghilangkan segala rasa keterpaksaan yang muncul.
"Henji, ingat ini. Seorang laki-laki diciptakan punya kekuatan
fisik yang lebih daripada perempuan, dan kelebihan laki-laki itu harus
dimanfaatkan dengan baik. Karena itu tolonglah dan lindungilah orang lain,
terutama perempuan, minimal adik-adik dan ibumu. Tapi jangan menolong orang
kalau kau merasa terpaksa. Kau harus tulus membantu."
Kata-kata ayahnya terus
membayangi langkah-langkahnya pulang. Ayahnya polisi berpangkat cukup tinggi,
orang yang mengabdi pada masyarakat. Sejak kecil ayahnya selalu menyuruhnya
berbuat baik, mengistimewakan lansia, anak-anak dan wanita. Saat ia naik kelas 1 SD, ia
mulai diajari berbagai seni bela diri. Semakin besar, Henji juga merasakan
kepuasan tersendiri saat menolong orang. Berkat didikan sejak kecil itulah
dirinya kini begitu suka membantu.
Kali ini pun ia akan
berusaha membantu, walaupun ia seolah-olah menjadi guardian.
*****
"Menjaga
teman?"
"Ya. Temanku
akhir-akhir ini gampang sakit dan sering diganggu orang. Orang tuanya yang
memintaku. Mungkin sekarang aku akan pulang lebih sore dari yang sebelumnya.
Aku terlalu semangat menolongnya, maaf."
Nona Hinata, ibu Henji,
menatap putra satu-satunya itu, "tak apa. Memang itu ajaran ayahmu.
Lagipula kau sudah besar, bisa mengatur diri sendiri. Di rumah masih ada
Riichan, kok."
Henji tersenyum mendengar
kata-kata ibunya. Ia
bertekad untuk tetap berusaha menghidupi rumah ini.
"Aku lebih senang
karena akhirnya kau punya teman lagi, Henji," tambah Nona Hinata.
"Ya, kuharap aku
bisa berteman baik dengan dia," Henji menanggapi, walaupun ia tahu itu akan
sulit.
*****
Michisa menyusuri
jalannya menuju sekolah. Ia mampir sebentar ke toko 24 jam untuk membeli bento* karena tadi tidak sempat memasak. Ibunya harus pergi duluan
sementara ia juga terlambat bangun.
Setelah absen sakit
selama 2 hari, akhirnya hari ini dia bisa masuk sekolah. Saat ia tiba di
perempatan jalan, ia terkejut melihat seorang lelaki yang dikenalnya berdiri
sendirian di sebelah mesin penjual otomatis. Tasunaga Henji.
Henji menyadari kehadiran
Michisa, "selamat pagi. Kau sudah sehat?"
Michisa menatap Henji
dari atas sampai bawah, "kau menunggu seseorang?"
"Nanti kujelaskan
sambil jalan. Ayo pergi," Henji berkata demikian seraya berjalan.
"Oi!" Michisa
menyusulnya dan bertanya dengan kesal, "kau menungguku, ya? Kenapa?"
"Ibumu belum bilang
apa-apa?"
"Apa?" Michisa
terlihat bingung, "bilang apa?"
Henji diam sejenak, lalu
menjawab, "waktu itu ibumu minta aku menjagamu."
Michisa kaget,
"apa?! Dan kau menerimanya?!"
Henji mengangguk dengan
agak gugup. Sepertinya gadis di sebelahnya akan... sangat marah.
"BODOH!!!"
Langkah Henji terhenti
mendengar bentakan itu, ia menoleh pada Michisa, menangkap sekilas
kekhawatiran di wajah marah gadis itu.
"Tak apa, sudahlah."
"Apanya yang 'tak
apa'?! Kau benar-benar bodoh!!!" Michisa terus membentak. "Untuk apa
kau menerimanya?! Apa untungnya buatmu?! Memangnya kau siapa, hah?!"
Henji diam tertunduk,
lalu menatap Michisa kembali, "aku hanya suka menolong orang. Ini untuk kepuasanku
sendiri."
Michisa diam sejenak,
"lalu bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?" Suaranya tidak sekeras
yang sebelumnya.
"Kau khawatir soal
itu?" Henji berpaling
ke jalanan dan tersenyum tipis. Pertanyaannya barusan
membuat Michisa mengernyit tak jelas.
"Nggak, kok!"
Michisa membantah dan mulai berjalan lagi, mendahului Henji. Henji mengikuti
Michisa sambil tersenyum kecil. Entah kenapa ia merasa sikap gadis di depannya ini begitu lucu.
"Anggap saja aku
bekerja pada ibumu, ya. Waktu utamaku bekerja adalah saat kau berangkat dari
rumah sampai kau sudah pulang ke rumah. Mohon kerjasamanya."
Michisa hanya melirik
Henji sekilas, lalu bertanya, "ibuku membayarmu?"
"Itu urusan aku dan
ibumu. Kau tidak perlu tahu."
"Siapa juga yang mau tahu!" Michisa membuang muka. "Jangan dekat-dekat! Jangan
dekati aku juga di sekolah!"
"Aku mengerti,"
Henji melangkah mundur agak menjauh. Gadis ini aktris junior yang sedang naik
daun. "Kau tak terikat peraturan dilarang pacaran atau semacamnya seperti
para idol kan?"
"Memang, tapi aku
tak mau aku terekspos denganmu. Hei, kita sudah di dekat sekolah. Kalau pulang
jangan tunggu aku di gerbang sekolah! Tunggu di dekat pohon sakura yang itu!"
Michisa bicara dengan nada arogan sambil menunjuk pohon sakura di sebelah kanan
jalan.
"Baiklah."
Mereka berdua berpisah di
situ. Henji menatap Michisa yang pergi menjauh. Henji tahu sifat Michisa memang
egois dan kasar. Sampai
saat ini bukan egois yang parah sih. Seraya berjalan ke kelasnya, Henji
merenungkan segala hal yang terjadi sejak ia mengantar Michisa pulang beberapa
hari yang lalu.
Michisa cenderung menutup diri dan mengandalkan kekuatannya sendiri.
Apartemen yang ditempati dia dan ibunya cukup sepi. Berarti mereka tidak sering
bersosialisasi. Sebenarnya Henji merasa aneh, kenapa Nona Reina sampai meminta
orang lain untuk melindungi Michisa? Apa ada yang mereka sembunyikan? Ada suatu
hal pada mereka yang belum bisa disentuh Henji. Semoga saja itu bukan hal yang
buruk.
*****
Pulang sekolah. Usai mengganti sepatunya, Michisa mengeluarkan music player dan headset dari tasnya. Ia sibuk menyiapkan playlist lagu yang akan didengarnya sambil berjalan ke arah pohon
sakura, tempat ia meminta Henji menunggu.
Henji memang sudah ada di bawah pohon itu, tapi ia belum menyadari
kehadiran Michisa. Mungkin karena Henji membelakangi arah jalan itu, sehingga
ia belum menyadari Michisa yang datang dari belakangnya. Awalnya, Michisa ingin
meninggalkan Henji. Ia masih merasa kesal dengan pertanyaannya tadi pagi : "kau khawatir soal itu?"
Biar saja dia tetap tak sadar seperti itu dan terus menunggu! Toh,
akhirnya dia akan pulang sendiri. Tapi niat itu hilang saat ia sadar bahwa
Henji sedang bernyanyi kecil.
Rasanya pernah ia mendengar suara ini. Nada itu juga, liriknya juga...
Ah, tak salah lagi. Ini memang lagu Tasuku.
Kau yang memanggilku
Apa kau tidak salah orang?
Mungkin aku mirip orang lain
Yang bernama sama denganku
Kalau aku menjawabmu
Akan seperti apa reaksimu?
"Sedang apa kau di sini
sendiri?"
Aku mengharapkan senyumanmu
Michisa membiarkan dirinya mendengar Henji bernyanyi. Dalam hatinya ia
kagum, suara Henji mirip sekali dengan Tasuku. Mungkin Henji juga penggemar
Tasuku, lalu meniru cara bernyanyinya. Atau jangan-jangan... Justru Henjilah
Tasuku sang Shadow Singer itu?
Ah, tidak mungkin. Henji itu 'kan... Ya begitu. Dia selalu kelihatan
mendung. Selalu sendirian, selalu diam. Sedangkan Tasuku, lewat suaranya, ia
terdengar seperti seorang lelaki tampan yang ekspresif, damai, bahagia, juga
disukai banyak orang. Mustahil kalau dia ternyata Henji yang suram itu. Michisa
terus berpikir sambil memperhatikan Henji yang masih belum sadar juga akan
kehadirannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya Henji tak seburuk itu. Henji memang
kelihatan suram, tapi sebenarnya... Yah... Dia baik. Sangat baik dan tulus
malah. Dia memang tidak sering tersenyum di sekolah, tapi ternyata di luar
sekolah ia sering tersenyum. Sikap dan cara bicaranya sopan, bahkan cenderung
lembut. Postur tubuhnya tegap, badannya juga tinggi. Sepertinya hampir atau
memang sekitar 180 cm. Teman seangkatan mereka di sekolah enggan bicara pada
Henji karena postur tubuhnya yang tinggi besar ini : seram. Dan wajahnya,
walaupun terkesan sangar ternyata sebenarnya dia cukup tampan, bahkan Michisa
tak menyangka wajahnya bisa setenang dan sedamai sekarang ini. Apa karena ia sangat menikmati musik?
Eh, oi! Apa-apaan pikiran yang barusan? Michisa baru sadar ia sudah
berpikir yang aneh-aneh. "Pengetahuan"-nya soal orang itu keluar
begitu saja. Ia menyandarkan dirinya di sisi lain pohon itu. Ternyata itu
membuat Henji akhirnya sadar akan kehadirannya.
"Hanazawa-san?" Henji lekas berbalik menatap Michisa. Michisa
sendiri membuang muka ke arah lain. "Kau baik-baik saja? Wajahmu kelihatan
meme-..."
"Aku nggak apa-apa!" Michisa memotong pertanyaan Henji dengan
kasar.
Michisa berjalan duluan dengan tangan menutup mulutnya. Henji menyusul
di belakangnya. Michisa merasa sangat aneh karena telah memikirkan Henji
seperti barusan. Ia malu pada dirinya sendiri yang telah berpikir seperti itu
tentang seseorang.
"Kalau kau tak enak badan, tolong bilang padaku, ya."
Michisa diam saja.
Untungnya Henji tak
menyadari apa yang dirasakannya selama ini.
_______________________________________________________________
bento : makanan bekal
- Bersambung ke Chapter 4 -
Selamat siang, apa kabar? Maaf atas keterlambatan memosting chapter ini. Saat ini saya sedang berusaha untuk semakin menyukai Henji dan Michisa. Ikuti terus yaa, terima kasih banyak (^u^)
FildzahPro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar