Selasa, 30 Juli 2013

Honestly Chapter 3



3.        And So on

"Tolong lindungi Michisa."
Dulu ia memang sempat berpikir untuk menolong Michisa. Ternyata sekarang malah ibu Michisa langsung yang memintanya untuk melindungi gadis itu.
Beliau terlihat begitu berharap.
Michisa yang sekarang juga tak bisa melakukan segalanya sendirian.
Dan tak ada seorangpun laki-laki di rumah itu.
Mereka butuh bantuan bukan?
Henji tertunduk dengan tangan terkepal. Ia membulatkan tekad dan menguatkan diri, "baiklah. Saya akan bantu."
Nona Reina mendongak senang, "really? Terima kasih banyak, Henji-kun! Hanya kau yang bisa kupercaya! Entah bagaimana aku harus berterima kasih!"
Henji hanya tersenyum saat Nona Reina menjabat tangannya. Tiba-tiba ia merasa seolah jadi menantu paksaan.
"Menantu paksaan".
Eh, benar juga.
Henji memang suka menolong orang, tapi kali ini berarti ia harus meladeni gadis kasar itu setiap hari. Bagaikan punya satu adik lagi yang harus diurus.
Ah, kenapa dia baru sadar sekarang...

Henji berjalan pulang ke rumahnya, masih terngiang akan kejadian di rumah Michisa tadi. Ia mencoba menghilangkan segala rasa keterpaksaan yang muncul.
"Henji, ingat ini. Seorang laki-laki diciptakan punya kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan, dan kelebihan laki-laki itu harus dimanfaatkan dengan baik. Karena itu tolonglah dan lindungilah orang lain, terutama perempuan, minimal adik-adik dan ibumu. Tapi jangan menolong orang kalau kau merasa terpaksa. Kau harus tulus membantu."
Kata-kata ayahnya terus membayangi langkah-langkahnya pulang. Ayahnya polisi berpangkat cukup tinggi, orang yang mengabdi pada masyarakat. Sejak kecil ayahnya selalu menyuruhnya berbuat baik, mengistimewakan lansia, anak-anak dan wanita. Saat ia naik kelas 1 SD, ia mulai diajari berbagai seni bela diri. Semakin besar, Henji juga merasakan kepuasan tersendiri saat menolong orang. Berkat didikan sejak kecil itulah dirinya kini begitu suka membantu.
Kali ini pun ia akan berusaha membantu, walaupun ia seolah-olah menjadi guardian.

*****

"Menjaga teman?"
"Ya. Temanku akhir-akhir ini gampang sakit dan sering diganggu orang. Orang tuanya yang memintaku. Mungkin sekarang aku akan pulang lebih sore dari yang sebelumnya. Aku terlalu semangat menolongnya, maaf."
Nona Hinata, ibu Henji, menatap putra satu-satunya itu, "tak apa. Memang itu ajaran ayahmu. Lagipula kau sudah besar, bisa mengatur diri sendiri. Di rumah masih ada Riichan, kok."
Henji tersenyum mendengar kata-kata ibunya. Ia bertekad untuk tetap berusaha menghidupi rumah ini.
"Aku lebih senang karena akhirnya kau punya teman lagi, Henji," tambah Nona Hinata.
"Ya, kuharap aku bisa berteman baik dengan dia," Henji menanggapi, walaupun ia tahu itu akan sulit.

*****

Michisa menyusuri jalannya menuju sekolah. Ia mampir sebentar ke toko 24 jam untuk membeli bento* karena tadi tidak sempat memasak. Ibunya harus pergi duluan sementara ia juga terlambat bangun.
Setelah absen sakit selama 2 hari, akhirnya hari ini dia bisa masuk sekolah. Saat ia tiba di perempatan jalan, ia terkejut melihat seorang lelaki yang dikenalnya berdiri sendirian di sebelah mesin penjual otomatis. Tasunaga Henji.
Henji menyadari kehadiran Michisa, "selamat pagi. Kau sudah sehat?"
Michisa menatap Henji dari atas sampai bawah, "kau menunggu seseorang?"
"Nanti kujelaskan sambil jalan. Ayo pergi," Henji berkata demikian seraya berjalan.
"Oi!" Michisa menyusulnya dan bertanya dengan kesal, "kau menungguku, ya? Kenapa?"
"Ibumu belum bilang apa-apa?"
"Apa?" Michisa terlihat bingung, "bilang apa?"
Henji diam sejenak, lalu menjawab, "waktu itu ibumu minta aku menjagamu."
Michisa kaget, "apa?! Dan kau menerimanya?!"
Henji mengangguk dengan agak gugup. Sepertinya gadis di sebelahnya akan... sangat marah.
"BODOH!!!"
Langkah Henji terhenti mendengar bentakan itu, ia menoleh pada Michisa, menangkap sekilas kekhawatiran di wajah marah gadis itu.
"Tak apa, sudahlah."
"Apanya yang 'tak apa'?! Kau benar-benar bodoh!!!" Michisa terus membentak. "Untuk apa kau menerimanya?! Apa untungnya buatmu?! Memangnya kau siapa, hah?!"
Henji diam tertunduk, lalu menatap Michisa kembali, "aku hanya suka menolong orang. Ini untuk kepuasanku sendiri."
Michisa diam sejenak, "lalu bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?" Suaranya tidak sekeras yang sebelumnya.
"Kau khawatir soal itu?" Henji berpaling ke jalanan dan tersenyum tipis. Pertanyaannya barusan membuat Michisa mengernyit tak jelas.
"Nggak, kok!" Michisa membantah dan mulai berjalan lagi, mendahului Henji. Henji mengikuti Michisa sambil tersenyum kecil. Entah kenapa ia merasa sikap gadis di depannya ini begitu lucu.
"Anggap saja aku bekerja pada ibumu, ya. Waktu utamaku bekerja adalah saat kau berangkat dari rumah sampai kau sudah pulang ke rumah. Mohon kerjasamanya."
Michisa hanya melirik Henji sekilas, lalu bertanya, "ibuku membayarmu?"
"Itu urusan aku dan ibumu. Kau tidak perlu tahu."
"Siapa juga yang mau tahu!" Michisa membuang muka. "Jangan dekat-dekat! Jangan dekati aku juga di sekolah!"
"Aku mengerti," Henji melangkah mundur agak menjauh. Gadis ini aktris junior yang sedang naik daun. "Kau tak terikat peraturan dilarang pacaran atau semacamnya seperti para idol kan?"
"Memang, tapi aku tak mau aku terekspos denganmu. Hei, kita sudah di dekat sekolah. Kalau pulang jangan tunggu aku di gerbang sekolah! Tunggu di dekat pohon sakura yang itu!" Michisa bicara dengan nada arogan sambil menunjuk pohon sakura di sebelah kanan jalan.
"Baiklah."
Mereka berdua berpisah di situ. Henji menatap Michisa yang pergi menjauh. Henji tahu sifat Michisa memang egois dan kasar. Sampai saat ini bukan egois yang parah sih. Seraya berjalan ke kelasnya, Henji merenungkan segala hal yang terjadi sejak ia mengantar Michisa pulang beberapa hari yang lalu.
Michisa cenderung menutup diri dan mengandalkan kekuatannya sendiri. Apartemen yang ditempati dia dan ibunya cukup sepi. Berarti mereka tidak sering bersosialisasi. Sebenarnya Henji merasa aneh, kenapa Nona Reina sampai meminta orang lain untuk melindungi Michisa? Apa ada yang mereka sembunyikan? Ada suatu hal pada mereka yang belum bisa disentuh Henji. Semoga saja itu bukan hal yang buruk.

*****

Pulang sekolah. Usai mengganti sepatunya, Michisa mengeluarkan music player dan headset dari tasnya. Ia sibuk menyiapkan playlist lagu yang akan didengarnya sambil berjalan ke arah pohon sakura, tempat ia meminta Henji menunggu.
Henji memang sudah ada di bawah pohon itu, tapi ia belum menyadari kehadiran Michisa. Mungkin karena Henji membelakangi arah jalan itu, sehingga ia belum menyadari Michisa yang datang dari belakangnya. Awalnya, Michisa ingin meninggalkan Henji. Ia masih merasa kesal dengan pertanyaannya tadi pagi : "kau khawatir soal itu?"
Biar saja dia tetap tak sadar seperti itu dan terus menunggu! Toh, akhirnya dia akan pulang sendiri. Tapi niat itu hilang saat ia sadar bahwa Henji sedang bernyanyi kecil.
Rasanya pernah ia mendengar suara ini. Nada itu juga, liriknya juga... Ah, tak salah lagi. Ini memang lagu Tasuku.

Kau yang memanggilku
Apa kau tidak salah orang?
Mungkin aku mirip orang lain
Yang bernama sama denganku

Kalau aku menjawabmu
Akan seperti apa reaksimu?
"Sedang apa kau di sini sendiri?"
Aku mengharapkan senyumanmu

Michisa membiarkan dirinya mendengar Henji bernyanyi. Dalam hatinya ia kagum, suara Henji mirip sekali dengan Tasuku. Mungkin Henji juga penggemar Tasuku, lalu meniru cara bernyanyinya. Atau jangan-jangan... Justru Henjilah Tasuku sang Shadow Singer itu?
Ah, tidak mungkin. Henji itu 'kan... Ya begitu. Dia selalu kelihatan mendung. Selalu sendirian, selalu diam. Sedangkan Tasuku, lewat suaranya, ia terdengar seperti seorang lelaki tampan yang ekspresif, damai, bahagia, juga disukai banyak orang. Mustahil kalau dia ternyata Henji yang suram itu. Michisa terus berpikir sambil memperhatikan Henji yang masih belum sadar juga akan kehadirannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya Henji tak seburuk itu. Henji memang kelihatan suram, tapi sebenarnya... Yah... Dia baik. Sangat baik dan tulus malah. Dia memang tidak sering tersenyum di sekolah, tapi ternyata di luar sekolah ia sering tersenyum. Sikap dan cara bicaranya sopan, bahkan cenderung lembut. Postur tubuhnya tegap, badannya juga tinggi. Sepertinya hampir atau memang sekitar 180 cm. Teman seangkatan mereka di sekolah enggan bicara pada Henji karena postur tubuhnya yang tinggi besar ini : seram. Dan wajahnya, walaupun terkesan sangar ternyata sebenarnya dia cukup tampan, bahkan Michisa tak menyangka wajahnya bisa setenang dan sedamai sekarang ini.  Apa karena ia sangat menikmati musik?
Eh, oi! Apa-apaan pikiran yang barusan? Michisa baru sadar ia sudah berpikir yang aneh-aneh. "Pengetahuan"-nya soal orang itu keluar begitu saja. Ia menyandarkan dirinya di sisi lain pohon itu. Ternyata itu membuat Henji akhirnya sadar akan kehadirannya.
"Hanazawa-san?" Henji lekas berbalik menatap Michisa. Michisa sendiri membuang muka ke arah lain. "Kau baik-baik saja? Wajahmu kelihatan meme-..."
"Aku nggak apa-apa!" Michisa memotong pertanyaan Henji dengan kasar.
Michisa berjalan duluan dengan tangan menutup mulutnya. Henji menyusul di belakangnya. Michisa merasa sangat aneh karena telah memikirkan Henji seperti barusan. Ia malu pada dirinya sendiri yang telah berpikir seperti itu tentang seseorang.
"Kalau kau tak enak badan, tolong bilang padaku, ya."
Michisa diam saja. 
Untungnya Henji tak menyadari apa yang dirasakannya selama ini.

_______________________________________________________________
bento : makanan bekal 


- Bersambung ke Chapter 4 - 
Catatan Penulis :

Selamat siang, apa kabar? Maaf atas keterlambatan memosting chapter ini. Saat ini saya sedang berusaha untuk semakin menyukai Henji dan Michisa. Ikuti terus yaa, terima kasih banyak (^u^)
FildzahPro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar