8. Lovability
Henji berjalan
secepat mungkin. Nyaris berlari. Tadi pagi ia terlambat bangun, padahal ia
harus selalu bangun lebih cepat karena harus mampir ke rumah Michisa dulu.
Ternyata, ia bertemu Michisa di tengah jalan.
"Ah!
Syukurlah. Kupikir kau tidak masuk," ujar Michisa.
"Maaf..."
Balas Henji sambil terengah-engah.
Michisa tersenyum
ramah melihat Henji, "Selamat
pagi."
"Selamat
pagi," Henji dengan kikuk balas tersenyum. "Maaf, tadi aku terlambat
bangun."
"Tak apa.
Aku bisa mengerti," sahut Michisa seraya berjalan kembali.
Henji mengikuti
Michisa dan menjaga jarak satu langkah di belakang gadis itu. Dibanding dulu,
jarak ini begitu dekat. Ia melirik Michisa dari atas sampai bawah.
"Kau sudah
buka hadiah dariku?" tanya
Michisa.
Henji menunjukan
pergelangan tangannya sambil tersenyum tipis, "Ini 'kan?"
"Wah, sudah
kau pakai? Syukurlah itu pas untukmu."
"Terima
kasih, ya."
Michisa hanya
membalas dengan senyum, lalu menoleh kembali ke jalan.
"Kemarin
ayahku cerita, sebenarnya beliau mengira kau ini laki-laki," Henji kembali
memulai pembicaraan.
"Eh?
Begitu, ya? Memang sih waktu aku ke rumahmu, beliau bilang ada
'kesalahpahaman'..."
"Dan
ternyata bukan cuma ayahku, tapi ibuku dan Riho juga mengira begitu."
Michisa diam
sejenak, "Keluargamu
tahu akan permintaan ibuku padamu?"
"Ya. Aku
bilang pada mereka kalau 'aku diminta menjaga teman', dan mereka mengira teman
yang dimaksud itu adalah seorang laki-laki. Begitu kuberitahu namamu, mereka
baru tahu kalau kau perempuan."
"Kalau ayahmu
berteman dengan ayahku, kenapa ayahmu bisa tidak tahu aku perempuan?"
"Beliau
bilang orang tua kita terakhir bertemu waktu aku masih bayi sekali, usia 2
bulan. Saat itu kau masih dalam kandungan, dan diperkirakan sebagai anak
laki-laki. Mereka tidak saling kontak lagi sejak kepulangan orang tuamu, jadi
mereka terus menganggap kau ini laki-laki sampai akhirnya mereka bertemu
langsung denganmu."
"Oh...
Ibuku sama sekali tidak pernah cerita soal itu," ujar Michisa sambil
tertawa kecil. "Mungkin bagus juga kalau aku ini laki-laki..."
"Apa?"
"Apa jadi
laki-laki itu enak?"
Henji terdiam,
"bukannya jadi perempuan atau laki-laki sama-sama ada enak dan tidak
enaknya?"
"Hmm, benar
sih..."
Henji memandang
Michisa dari samping belakang. Kemudian ia menyadari sesuatu dan memperlambat
langkah, "Ah, sudah
dekat gerbang sekolah. Sampai nanti, ya."
"Hei!"
Michisa menarik baju Henji. "Masuklah denganku! Sekarang kita teman
'kan?"
Henji sempat
tertegun, namun akhirnya menurut. Ia mengikuti Michisa di belakang. Benar juga,
ya. Mereka bukan lagi "majikan-budak" seperti dulu.
Begitu Michisa
masuk ke gerbang sekolah, orang-orang menyapanya tanpa mempedulikan Henji.
Henji hanya memperhatikan cara Michisa merespon mereka.
"Rasanya
aneh," komentar Henji setelah sapaan kepada Michisa berhenti. "Entah
kenapa aku merasa sebenarnya kau ini canggung menghadapi mereka."
Michisa sempat
terdiam, "Yah,
kadang-kadang aku merasa kesulitan, sih."
"Mau
kubantu?" tanya Henji
refleks.
"Bantu apa?"
sahut Michisa sambil tertawa
kecil. "Kau sangat sensitif dengan kata 'kesulitan', ya. Kau semangat
sekali membantu orang."
Henji tersenyum
tipis, "Maaf."
"Itu pujian
kok. Justru itulah kelebihan utamamu," ujar Michisa sambil menatap Henji,
lalu ia menunduk. "Entah apa sebenarnya kelebihanku..."
"Bukannya
kau punya banyak? Kau ini baik dan ma-"
Henji menghentikan ucapannya. Ia menyadari
apa yang awalnya ingin dia katakan barusan.
"Ma...
Apa?" Michisa menoleh ke arah Henji, menunggu jawaban sembari rona merah
di pipinya mulai terlihat sedikit.
"Lu-lupakan
saja," Henji membuang muka. Wajahnya agak merona. Ia melirik Michisa yang
menatapnya heran, lalu melempar pandangannya ke arah lain. Michisa juga melepas
tatapannya dari Henji dan mulai memasuki gedung sekolah diikuti Henji.
"Aku ganti
sepatuku dulu," ujar Henji seraya pergi meninggalkan Michisa. Rak sepatu
mereka agak berjauhan karena kelas mereka berbeda.
Henji terpaku di
depan loker sepatunya. Tadi dia hampir mengatakan pada Michisa kalau ia
"manis". Jadi malu sekali rasanya. Sepertinya ini dipicu oleh
kegembiraan karena sekarang ia dan Michisa benar-benar berteman.
Benar juga, ya.
Ternyata punya teman sangat menyenangkan. Ada teman untuk bicara, menghabiskan
waktu bersama, pokoknya segalanya. Dulu Henji hanya bisa mengobrol dengan
Suzuki. Sekarang, ia punya Michisa, dan mungkin juga Kazuto.
"Yoo, pagi,
Henjii~" sapa Kazuto.
"Ah, ya,
selamat pagi, Ishimoto," balas Henji sembari tersenyum menyadari Kazuto
memanggilnya dengan nama kecil. "Bagaimana kabarmu?"
"Yaah,
seperti biasa. Aku agak sibuk dengan kegiatan-kegiatan OSIS. Semester dua nanti
ada festival budaya, lho. Kau mau bantu kami?"
"Kalau aku
sempat, boleh saja."
"Tasunaga,
kau sudah selesai?" Michisa tiba-tiba muncul di tengah pembicaraan kedua
lelaki itu. "Ah, maaf, aku nggak tahu kalian sedang bicara."
Kazuto tersenyum
pada Michisa, "Selamat
pagi, Hanazawa-san."
"Selamat
pagi, Ketua Ishimoto."
Kazuto melirik Henji
dan Michisa bergantian, "Kalian
sepertinya makin akrab, ya?"
Michisa terlihat
bingung dengan pertanyaan itu.
"Maaf,
Hanazawa-san. Waktu itu dia melihatku meneleponmu. Dia dengar sejak awal hingga
akhir," ujar Henji pada Michisa sambil tertunduk malu.
"Oh,
itu..." Michisa mengangguk pelan. Soal tunggu-tungguan itu, ya...
"Waktu itu
Henji kelihatan cemas banget," sahut Kazuto sambil tersenyum usil.
"Kau harus jaga diri baik-baik supaya dia tidak cemas."
"Ishimoto..."
"Bercanda,
hehe. Tapi aku serius, kau memang harus jaga diri baik-baik. Hei, kalian mau
ikut naik ke atas sama-sama?"
Michisa dan
Henji menurut. Mereka bertiga naik ke lantai dua bersama, tempat kelas Henji
dan Kazuto berada. Sedangkan kelas Michisa berada di lantai tiga.
"Jadi orang
tua kalian berteman, ya?" tanya
Kazuto sambil berjalan.
"Ketua tahu
banyak soal kami, ya?" tanya
Michisa.
"Ah, tidak,
kok. Aku hanya tahu sebatas itu karena Henji hanya bilang begitu."
Michisa melirik
Henji dan Kazuto, lalu mengangguk pelan, "Ketua dan Tasunaga juga... Ternyata dekat, ya."
"Begitukah?
Senangnya... Henji itu ternyata punya bakat di organisasi, lho, Hanazawa-san!
Huh! Harusnya kau jadi anggota OSIS saja!" Kazuto memukul bahu Henji
main-main.
"Nggak,
kok..." Henji tertawa pelan melihat Kazuto. "Sayangnya banyak hal
lain yang harus kulakukan. Terima kasih pujiannya."
"Ini dan itu, ya," Michisa menatap Henji dengan tatapan penuh maksud.
"Misalnya kau harus hati-hati supaya tidak menyanyi di sembarang
tempat."
"Hei,
jangan bahas itu di sini, Hanazawa-san..."
"Maaf,"
Michisa tersenyum simpul. "Habis, senang rasanya melihatmu seperti ini.
Ah, kalian sampai sini 'kan? Aku harus naik ke atas lagi. Sampai nanti."
"Sampai
nanti."
Michisa menaiki
tangga, meninggalkan Kazuto dan Henji yang juga berjalan pergi menuju kelas
mereka.
"Kalau
kelas kita sama, mungkin aku akan menanyakan banyak hal," ujar Kazuto.
"Khususnya soal kalian berdua."
"Memangnya
kami kenapa? Hanazawa-san hanya temanku."
"Habisnya
kau seperti menyembunyikan sesuatu tadi, dan hanya kalian berdua yang tahu.
Kalian seperti sudah lama saling kenal."
"Nggak
begitu, kok."
"Hm, jadi
sekarang kau ini teman dekatnya Hanazawa-san, ya? Dia bertengkar dengan
Osawa-san dan Inoue-san dari kelasku 'kan?"
Henji diam
menghela nafas, "Mau
kubilang benar juga, nggak begitu sih..."
"Sebenarnya,
aku melihat kalian berdua di koridor depan ruang OSIS setelah festival
olahraga. Jujur saja, waktu itu kalian seperti pacaran."
"I-Itu..."
Henji agak merona. "Wa-waktu itu Hanazawa-san hanya memberiku hadiah ulang
tahun."
"Kau yakin
'hanya'? Pasti ada maksudnya," Kazuto masih terus bertanya. "Dan- eh,
tunggu dulu. Ulang tahun katamu? Jadi waktu itu kau ulang tahun??"
Henji lega ia
berhasil mengalihkan topik. Ia hanya tersenyum mengiyakan.
"Huooo maaf
aku nggak tahu! Selamat ulang tahun, ya! Selamat! Selamat!"
"Terima
kasih... Hei, kelasmu di sana 'kan?"
"Ya! Hehe,
sampai nanti, Tasunaga!"
Henji menghela
nafas lega setelah Kazuto menjauh. Pagi ini begitu heboh dibanding biasanya,
tapi terasa menyenangkan.
Tapi kelas ini
tetap sama saja.
Saat ia masuk, beberapa memandangnya aneh, lalu
berbisik-bisik dengan temannya. Biasanya malah mereka tak menghiraukannya. Tak
ada seorang pun yang menyapanya. Henji langsung menghampiri mejanya di barisan
tengah dekat jendela, lalu duduk di sana. Tak lama kemudian guru pun masuk dan
pelajaran dimulai.
******
"Sekarang istirahat makan siang, lho.
Kesepian? Temui aku di taman belakang gedung utama, ya (-,-)"
Henji duduk
menopang dagu di bangkunya sambil menutup ponsel. Beberapa saat kemudian ia
mendapati dirinya senyum-senyum sendiri. Rasanya aneh. Begitu membacanya, ia
langsung ingin sekali menemui Michisa. Dia beranjak pergi ke taman belakang
sekolah.
Begitu sampai di
sana, ia melihat Michisa bersama seorang laki-laki. Sepertinya dia kakak kelas.
"Kakak
ingin bicara apa?" tanya
Michisa pada orang itu.
Henji memilih
untuk diam di tempat sampai pembicaraan mereka selesai. Kelihatannya penting.
Sebenarnya menguping juga tidak baik, sih... Tapi mau ke mana lagi.
"Michisa-san,
a-aku menyukaimu."
Henji terkejut.
Ternyata ini pernyataan cinta. Ia melirik Michisa yang terlihat tenang-tenang
saja. Michisa akan menjawab apa? Dia akan menolak? Atau menerima?
"M-maukah
kau jadi pacarku?"
Michisa terdiam
sesaat, "Maaf, senior.
Aku sangat berterima kasih karena kau menyukai orang sepertiku. Tapi saat ini
aku sedang tidak ingin punya pacar."
"Jadi..."
"Maaf, aku
tidak bisa," ujar Michisa sambil membungkuk sedikit.
"Ah, ya..."
Kakak kelas itu terpaku, "Tidak
apa-apa. Terima kasih sudah mendengarkan."
Orang itu beranjak
pergi, meninggalkan Michisa dengan tatapan kosong. Michisa sendiri juga
berwajah dingin.
"Hanazawa-san..."
Michisa langsung
menoleh ke sumber suara. Wajah dinginnya berubah menjadi senyum,
"Tasunaga, sini!"
Henji
menghampiri Michisa, "Maaf,
tanpa sengaja aku mendengar percakapan barusan."
"Tak apa,
abaikan saja," Michisa tersenyum manis. "Jangan khawatir soal itu.
Itu biasa, kok."
"Ja-jadi
itu sering terjadi?" Henji kaget, tak menyangka Michisa 'selaku' itu.
"Yah, untuk
kasusku, seminggu bisa dua kali," Michisa duduk, lalu membuka kotak
bekalnya. "Kalau identitasmu yang penyanyi bayangan itu terkuak, aku yakin
kau juga akan kebanjiran pernyataan cinta."
"Untungnya
tidak," Henji ikut duduk dan membuka bekalnya sambil melirik Michisa
sesekali. "Kau pasti kerepotan, ya."
"Tentu
saja," Michisa balik menatap Henji. "Tapi aku bisa mengatasinya, kok.
Hm, kau tidak makan bekal?"
"Akan
kumakan."
"Waa, itu
buatan ibumu atau Riho?"
"Campuran
keduanya."
"Bagusnya.
Aku nyaris selalu membuatnya sendiri. Jadi rasanya biasa banget."
"Hebat."
"Hei,
responmu pendek-pendek amat," Michisa menggerutu. "Hmm, selamat
makan."
Untuk beberapa
saat mereka makan dalam diam. Henji memperhatikan Michisa beberapa kali.
Michisa lucu sekali kalau sedang makan.
"Kenapa
melihatku terus?"
"Ah, nggak
apa-apa," Henji terkekeh pelan dan mengalihkan muka ke arah lain.
"Apa yang
lucu?"
"Nggak,
kok, nggak ada..."
Michisa tidak
puas dengan jawaban itu, tapi ia berhenti bertanya. Setelah ia diam beberapa
saat, wajahnya kelihatan sedikit merona, "Hei, Tasunaga."
"Hm?"
"Boleh aku
memanggilmu 'Henji'?"
Henji langsung kembali
menoleh pada Michisa, "Ah,
y-ya... Sesukamu saja."
"Dan juga,
tolong jangan panggil aku 'Hanazawa-san'. Setidaknya hilangkan 'san' itu."
"Baiklah,
Hanazawa."
Michisa
tersenyum puas sambil menepuk-nepuk pundak Henji, "Bagus, begitu, Henji-kun."
Henji tersenyum,
lalu tertunduk dan tertawa pelan dengan tangan menutupi wajah. "Hei,
Hanazawa."
"Hm?"
"Terima
kasih, ya," Henji melirik Michisa sambil tetap tertunduk.
Michisa hanya
menatap Henji, menunggunya melanjutkan kalimatnya.
"Kalau kau
nggak ada, saat ini aku pasti sedang makan sendirian di samping jendela. Nggak
bicara sepatah kata pun, walaupun banyak orang yang mengobrol di kelas. Aku
hanya akan melamun atau sibuk dengan hal lain sendirian."
Michisa menarik
nafas, "Sama-sama. Kalau
aku nggak bersamamu saat ini, aku pasti juga sedang makan tanpa bicara sepatah
kata pun, walaupun banyak yang makan bersamaku. Terima kasih juga, ya."
Henji tersenyum
lembut. Refleks, ia mengelus kepala Michisa. Michisa langsung terkikik pelan.
"Ke-kenapa?"
"Sepertinya
kau sering mengelus kepala orang, ya. Aku melihatmu mengelus kepala Riho dan
Harumi beberapa kali dalam sekali kunjungan ke rumahmu."
Henji langsung
menarik tangannya, "Maaf,
sepertinya itu kebiasaan yang ditularkan ayahku. Maaf, ya."
"Nggak
apa-apa. Aku bisa mengerti."
Henji dan
Michisa kembali sibuk dengan makanan mereka masing-masing.
"Yo! Boleh
gabung?"
Michisa dan Henji melirik ke sumber suara.
Ternyata itu Kazuto. Mereka melirik satu sama lain sebelum Henji akhirnya
menjawab, "Silakan."
Kazuto duduk
bersama mereka dan dengan ceria membuka makanannya, "Maaf, ya. Aku nggak punya teman
makan."
Henji diam
menatap Kazuto, "Kau
cuma makan itu? Roti melon?"
"Eh? Ya,
hari ini aku lupa bawa bekal," Kazuto cengengesan. "Tapi tenang saja,
aku puas dengan ini, kok."
"Makan
denganku saja. Itu kurang mengenyangkan."
"Ah! Nggak,
makasih banyak! Kau baik sekali," ujar Kazuto sambil mulai melahap roti
melon itu.
"Maaf,
tapi... Kenapa ketua bisa sampai nggak punya teman makan?" tanya Michisa.
"Makan
dengan siapa itu suka-suka aku 'kan. Hari ini aku inginnya makan dengan kalian."
"Kenapa?"
"Habisnya
kalian menarik," jawab Kazuto di sela-sela makannya. "Menurut
pengamatanku, Henji itu siswa yang paling sering menyendiri di angkatan kita! Introvert!"
Henji tampak
kaget, "Oi, kau
benar-benar mengamatiku begitu?"
"Kalau
Hanazawa-san, menurut pengamatanku, walaupun populer dan dikelilingi banyak
orang, kau cenderung irit bicara dan menghindari orang! Introvert juga!"
Michisa
mematung. Kalah. Ketua OSIS memang hebat. Henji agak kaget juga mendengar
komentar Kazuto soal Michisa. Berlawanan sekali dengan Michisa yang mengobrol
dengannya dari tadi.
"Sebenarnya
aku memperhatikan kalian selama beberapa saat tadi. Maaf, ya."
Henji dan
Michisa makin kaget. Malu, deh.
"Dan sifat
kalian kalau sedang bersama jadi beda, ya. Kalian berdua jadi lebih banyak
bicara," Kazuto tersenyum lebar di tengah presentasinya. "Banyak
sifat baru kalian yang belum pernah kulihat. Makanya kubilang kalian
menarik."
Jadi begitu maksudnya.
Henji menghela
nafas, "Kau memang suka
sekali memperhatikan orang, ya, Ishimoto."
Kazuto tersenyum
bangga, "Panggil
'Kazuto' saaja, Henji-kuun..."
Henji agak shock, "Dan ternyata tadi kau benar-benar nguping, ya?"
"Nguping nggak, yaa..."
Jadi dia dengar soal pergantian nama
panggilan itu? Dasar Kazuto...
"Terima
kasih makanannya," Michisa menyudahi makan. "Aku duluan, ya."
"Kau sudah
selesai?" tanya Henji.
"Ya,"
Michisa berdiri dan mulai melangkah pergi, tapi kemudian ia menoleh kembali,
"oh iya, Henji-kun, pulang nanti bisa temani aku ke pertokoan?"
Henji diam
sesaat, lalu tersenyum, "Tentu."
"Terima
kasih. Sampai jumpa di pohon itu," Michisa tersenyum, lalu meninggalkan
kedua laki-laki itu.
"Hmm. Aku
dicuekin, deh. Kalian marah?" celetuk
Kazuto.
"Aku nggak
marah, kok."
Untuk beberapa
saat tak ada yang bicara.
Kazuto menatap
Henji yang bersikap cuek, lalu tersenyum jahil, "Hanazawa-san manis,
ya."
"Memang dia
selalu begitu."
Kazuto tertegun,
tak menyangka umpannya berhasil, "Hee... Selalu?"
Henji tergelak
menyadari kata-katanya barusan. Wajahnya memerah malu melihat Kazuto yang
menatapnya dengan senyum kemenangan usil.
"Bahkan
Tasunaga Henji juga laki-laki biasa yang tertarik pada perempuan. Barusan dia
bilang Hanazawa-san SELALU manis," Kazuto mulai bicara dengan nada
mendongeng.
"Bu-bukan
cuma aku yang berpikir begitu, 'kan??"
"Memang.
Hanazawa-san banyak yang suka. Setiap pekan pasti ada yang nembak."
"Di-dia
hanya sekedar teman baikku," Henji memalingkan muka.
"Perasaanmu
itu hanya perasaan kagum atau perasaan suka? Dari mata turun ke hati,
lho."
Henji hanya
diam. Wajahnya belum kembali normal. Ia malu sekali akan kalimat pujian tanpa
pikir itu.
"Maaf, ya.
Hari ini aku usil sekali."
Henji menghela
nafas beberapa kali, "Sudahlah."
"Boleh aku
tanya? Orang tua kalian memang berteman, tapi kurasa itu tak ada hubungannya
dengan kedekatan kalian. Kenapa kalian selalu sama-sama?"
"Ibunya
minta aku menjaga dia."
"Heh?
Menjaga dalam arti 'mengawasi' atau 'melindungi'?"
"Melindungi."
"Ke-kenapa
segitunya?"
"Entahlah.
Aku merasa ada hal yang mereka sembunyikan, tapi aku belum bisa tahu apa itu.
Aku yakin itu bukan hal yang jahat," Henji menyuap suapan makanan
terakhirnya. "Ngomong-ngomong, aku cerita begini karena aku menganggapmu
teman, jadi tolong jaga sebagai rahasia, ya, Kazuto."
"Siap!"
Kazuto tampak ceria. "Tapi aku masih heran. Kenapa ibunya sampai minta
orang lain menjaga dia?"
Henji diam
sejenak, "Jangan bilang
siapapun, ya. Tapi... ayah Hanazawa sudah meninggal."
Kazuto kaget.
Sama sekali tak menyangka, "Aku
pernah dengar dia anak tunggal. Jadi dia hanya tinggal dengan ibunya? Memang
terdengar nggak aman, sih. Apalagi dia aktris yang sedang naik daun."
"19 tahun
yang lalu ayahnya pernah jadi klien ayahku, dan menurut ayahnya kinerja ayahku
sangat bagus. Mungkin ibunya berpikir kinerja ayahku itu turun juga ke
putranya, alias aku. Jadilah ibunya memintaku."
"Hei,
tunggu, deh. Sekarang kau dan Hanazawa-san jadi terdengar seperti majikan dan
pengawalnya," Kazuto berkomentar tanpa pikir.
"Memang,
sih. Ada sedikit rasa terpaksa yang muncul waktu aku setuju akan menjaganya.
Secara nggak langsung aku dan dia jadi atasan-bawahan. Tapi langsung kutepis
karena ayahku pernah mengajarkan kalau menolong orang itu harus tulus."
"Terus,
bagaimana reaksi awal Hanazawa-san?"
Henji tersenyum
tipis sembari mengingat-ingat, "Dia marah besar. Dulu, kalau nggak bersikap kasar, dia akan bersikap
dingin padaku. Sampai-sampai aku berpikir kalau dia sebenarnya
membenciku."
"Mungkin
dia khawatir padamu," Kazuto tersenyum simpul.
"Mungkin,"
Henji mendongak ke langit sesaat. "Agak berlebihan, sih, tapi di hari
setelah festival olahraga itu, semuanya berubah. Mmm, sebelumnya... Waktu itu
kau melihat sejauh apa?"
"Sebenarnya
waktu itu aku nggak bermaksud mengintip. Aku mau ke ruang OSIS karena ada
barang yang ingin kuambil. Ternyata waktu baru masuk ke koridor aku melihat
Hanazawa-san membungkuk padamu. Aku nggak bisa mendengar apa yang kalian
bicarakan. Lalu aku melihat kau mengelus kepalanya dan menariknya
duduk..." Kazuto mulai merona malu.
"Oi, kenapa
kau merona?"
"Jujur
saja, waktu itu kukira kau mau menciumnya. Tapi aku tahu, kok, aku salah
besar," Kazuto menutup wajahnya dengan tangan. "Lalu kalian pergi.
Hanya itu yang kulihat."
Henji yang mulai
kembali normal jadi merona lagi mendengar ucapan Kazuto, "Aku nggak akan melakukan itu, kok."
"Ya.
Maafkan dugaanku," Kazuto menghela nafas panjang. "Berarti
Hanazawa-san yang dulu dan sekarang beda sekali, ya?"
Henji tersenyum
menerawang, "ya. Dia yang sekarang kelihatan lebih hidup. Aku jadi senang
juga melihatnya begitu."
Kazuto tersenyum
juga, "Sebenarnya, kalau
kau tetap menolong orang lain seperti ini, aku yakin kau akan segera mendapat
banyak teman. Jadi, tetaplah begitu. Hanazawa-san juga. Kalian berdua harus
lebih ramah dan sering tersenyum. Menurutku kalian hanya kurang jujur."
"Kurang
jujur?"
"Ya. Kalian
kurang jujur. Kalian bisa bersikap jujur pada orang-orang tertentu, tapi nggak
bisa begitu pada orang lain. Bicaralah yang tulus. Nggak perlu takut dijauhi,
'kan sekarang kalian punya satu sama lain. Ada aku juga, kok."
Henji mencerna
kata-kata Kazuto. Ia tertawa kecil, "Kau memang hebat. Kurasa semua ucapanmu tepat sasaran."
"Sebenarnya
aku hanya menduga-duga apa yang kalian rasakan saat aku mengamati kalian. Kalau
soal perasaan, perempuan lebih ahli. Mereka lebih sensitif," tambah
Kazuto. "Ah, terakhir, tolong sampaikan permintaan maafku pada
Hanazawa-san, ya. Aku takut dia marah."
"Tentu.
Akan kusampaikan."
*****
Setelah
memastikan tak ada barang yang tertinggal, Henji pergi keluar kelas. Ia segera
turun ke lantai dasar sekolah, lalu mengganti sepatu. Saat hendak keluar, ia
melihat sosok gadis berambut cokelat keemasan panjang yang baru mau membuka
loker sepatu. Hanazawa Michisa.
Tanpa pikir
panjang, Henji langsung menghampirinya, "Hanazawa!"
Yang dipanggil
langsung menoleh, "Ah,
Henji-kun."
"Kebetulan
ketemu di sini."
"Ya. Maaf,
ya, kalau aku mengganggu rencana awalmu setelah pulang sekolah," ujar
Michisa sambil membuka loker sepatunya. Ternyata ia melihat benda lain selain
sepatunya ada di dalam situ. "Eh? Surat, ya? Sudah lama sekali nggak ada
yang begini."
Henji menatap
surat yang dipegang Michisa. Amplop dan kertasnya berwarna biru pastel. "Surat apa?"
Michisa tidak
langsung menjawab. Ia membacanya dulu, kemudian menoleh pada Henji, "Pengirimnya minta aku menemuinya di
taman samping gerbang sekolah."
"Eh?"
Henji tampak agak cemas melihat Michisa langsung berjalan pergi. "Kau mau
ke sana? Memangnya itu aman? Kau nggak tahu siapa pengirimnya 'kan?"
"Hei,
tenang saja. Itu 'kan bukan surat tantangan," sanggah Michisa.
"Ja-jangan-jangan ini pertama kalinya kau melihat yang begitu?"
"Me-memang
sebenarnya itu apa?" Tanya Henji polos.
"Se-se-serius?
Kau belum pernah lihat atau dengar?" Michisa menatap Henji kaku,
"biasanya itu surat cinta. Pengirimnya minta aku menemuinya supaya dia
bisa nembak. Sampai sini kau mengerti?"
"Oh,"
Henji manggut-manggut pelan.
"Aku bisa
saja mengabaikannya supaya kita bisa langsung pergi. Bagaimana menurutmu?"
"Kasihan
kalau kau menolaknya mentah-mentah dengan nggak datang, 'kan."
Michisa tertegun
mendengar ucapan Henji, lalu tersenyum, "Baiklah, akan kutemui dia," ujarnya seraya menarik tangan
Henji. "Kau juga ikut."
"Hah?"
Henji kaget, tapi tidak memberontak. "Bukannya itu privasi?"
"Ikut, lalu
sembunyi. Seperti yang kau lakukan tadi siang," ujar Michisa sambil
tersenyum jahil.
Henji membuang
mukanya karena malu. Dia jadi merasa seperti penjahat karena pernah menguping.
Dari jauh,
kelihatan seorang laki-laki yang menunggu di tempat pertemuan. Dari dasi
seragamnya, sepertinya dia seangkatan Henji. Seragam SMA Nosaka memang memiliki
angka berbeda pada ujung dasinya, menandakan level pemakainya.
Michisa menyuruh
Henji menunggu di sebuah pohon di dekat sana, sementara ia menemui laki-laki
itu.
"Maaf
karena baru datang," ucap Michisa sambil menunduk sedikit.
"Tak
apa-apa. Terima kasih sudah kemari," laki-laki itu tersenyum malu.
"Namaku Maeda Mizuki, aku kelas 2-1, sekaligus wakil ketua klub karate.
Aku ingin membicarakan sesuatu..."
Michisa menunggu
kelanjutan kata-kata Mizuki dengan tenang. Ekspresinya biasa saja.
"Mau jadi
pacarku tidak? Aku suka padamu sejak kita naik ke kelas dua."
Michisa tak
langsung menjawab. Setelah menatap Mizuki beberapa saat, ia menjawab, "Maaf, Maeda-kun. Aku sedang tidak
ingin punya pacar, jadi aku tidak bisa."
Mizuki kaget, ia
terdiam beberapa saat, "Be-begitu,
ya... Apa boleh buat..."
Michisa mulai
bertatapan dingin.
"Lalu...
Laki-laki yang tadi itu siapa?"
"Apa?"
"Tadi aku
melihatmu keluar gedung sekolah sambil menarik tangannya. Dia pacarmu?"
"Maksudmu
Henji-kun?" tanya
Michisa. "Dia hanya temanku."
"Teman?"
ekspresi Mizuki mulai berubah
curiga. "Dia seangkatan kita? Aku nggak ingat ada anak bernama 'Henji' di
angkatan, bahkan di sekolah. Kenapa juga siswi terkenal sepertimu berteman
dengan orang suram macam di-"
"Dia teman
terbaikku," potong Michisa sambil tersenyum kesal. "Kalau tidak
mengenalnya, tolong jangan bicara sembarangan soal dia, Maeda-kun. Aku
permisi."
Michisa
melangkah pergi dengan perasaan kesal. Entah kenapa dia merasa tidak suka
sekali kalau ada yang menjelek-jelekan Henji. Dia bergegas menuju pohon tempat
Henji menunggu.
"Kau sudah
selesai?" Tanya Henji begitu melihat Michisa.
Michisa diam
saja. Ia menatap Henji dari bawah sampai atas, lalu berhenti di wajahnya,
"Aku bingung."
Henji tampak
heran, "apa?"
"Kau baik
sekali," ujarnya sambil tersenyum haru. "Tapi kenapa kau sendirian
terus?"
Henji sedikit
merona karena tersanjung, namun diam tak bisa menjawab. Ia terlihat ragu,
"Mungkin..."
"Yah,
sudahlah. Yang kuat, ya!" seru
Michisa sambil meninju bahu Henji main-main. Ia lalu pergi dengan senyum di
wajahnya.
Henji
mengikutinya di belakang. Michisa aneh sekali. Apa ada sesuatu dalam pernyataan
cinta tadi? Pembicaraan Michisa dengan laki-laki itu ternyata tidak bisa
terdengar jelas dari tempat Henji menunggu. Henji hanya melihat Michisa dengan
ekspresi yang tak jauh beda dibanding tadi siang : menyikapi pernyataan cinta
dengan tenang, bahkan dingin. Hanya saja yang barusan sepertinya diakhiri
dengan ekspresi kesal.
Henji menyusul
Michisa, "Sebenarnya kau
kenapa?"
"Bukan
apa-apa," Michisa tersenyum, namun nada bicaranya terdengar sedih.
"Aku hanya kesal karena dia menjelek-jelekan teman baikku."
"Aku yakin
dia hanya asal bicara."
"Aku tahu.
Seandainya dia mengenalmu, dia nggak akan bicara begitu."
Henji diam
sesaat, "Jadi teman yang
kau maksud itu aku?"
Michisa menoleh
pada Henji dengan cepat, "Bodoh,
dari tadi aku membicarakanmu! Memangnya tadi kau nggak mendengar apa yang dia
katakan?"
"Ma-maaf,
tapi pembicaraan kalian kurang jelas terdengar dari pohon itu."
Michisa tampak
kaget, "Ah... Ya,
sudahlah."
Hening. Tak ada
lagi yang bicara. Langit sore hari itu begitu indah.
Begitu tiba di
kompleks pertokoan, Michisa mampir ke sebuah toko musik.
"Jadi kau
mau beli CD?" tanya
Henji.
"Ya. Sebenarnya
aku belum beli single terakhir
Tasuku," jawabnya sambil tersenyum malu.
"Hee...
Kenapa belum? Kukira kau penggemarnya..."
"Apa sih?
Yang penting aku beli 'kan?" sanggahnya
sambil mengambil sekeping CD. "Summer
Alone... Kenapa pilih judul begitu?"
"Lihat
liriknya dulu," jawab Henji sambil tersenyum. Kelihatannya ia percaya diri
sekali.
Michisa tertegun
melihat Henji. Jarang sekali Henji berwajah begitu. Ia lalu membawa CD itu ke
kasir. Setelah dibayar, ia menghampiri player
yang tersedia di sana, mencoba apakah CD-nya berfungsi baik atau tidak. Michisa
memakai headphone lalu memutar CD itu, Sementara Henji menunggunya dengan
melihat-lihat koleksi lain toko itu.
Entah kenapa ia
jadi teringat saat-saat ia mulai benar-benar membiasakan diri dengan Bahasa
Jepang. Dulu nilai tes mendengarkan miliknya selalu jelek.
Musiknya mulai
terdengar. Michisa menghayati musik musim panas itu sambil mendengarkan
liriknya baik-baik, walaupun sebenarnya ia bisa saja melihat teks liriknya.
Ayahku memanaskan mobil
Ibuku menyiapkan bekal
Adik-adikku terus tertawa
Kami akan ke pantai
Satu musim panas lagi dating
Sebulan penuh dengan keluarga
Namun kini, di pantai ini
Aku melihatmu sendirian
Kulihat dirimu dari jauh
Mengapa kau sendirian?
Tanpa teman atau keluarga
Menerawang laut biru
Adakah yang engkau tutupi?
Kau bisa cerita apapun
Kubayangkan diriku di sana
Berdiri tepat di sisimu...
Aku memang pantas sendirian
Tak punya teman untuk pergi
Namun bukan itu alasanmu
Untuk pergi sendiri
Kalau aku datang mendekat
Apa kau akan marah padaku?
Begitu kebetulan rasanya
Kita bertemu di sini
Kulihat dirimu dari jauh
Mengapa kau sendirian?
Tanpa teman atau keluarga
Menerawang laut biru
Adakah yang engkau tutupi?
Kau bisa cerita apapun
Kubayangkan diriku di sana
Berdiri tepat di sisimu...
Hanya dengan
Satu gerakan mata
Semua berubah
Kau melambaikan tangan padaku
Memanggilku dengan ceria
Butuh waktu menyadarinya
Ini bukan khayalan lagi
Kau berlari menuju tempatku
Menyapa adik perempuanku
Ternyata justru dirimu yang telah
Berdiri tepat di sisiku...
Kalau kau sendirian, datanglah
Aku akan menemanimu
Berdiri tepat di sisimu...
Berdiri tepat di sisiku...
Ini bukan lagi
Musim panas seorang diri
Michisa
mendapati dirinya menatap Henji saat lagu itu selesai. Bagus sekali. Entah
kenapa liriknya begitu mengena di hatinya. Dia memasukkan CD-nya kembali ke
kotak, lalu menghampiri Henji.
"Sudah?"
tanya Henji ceria.
Michisa hanya
tersenyum manis dan mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Ia lalu berjalan
keluar. Tanpa disuruh, Henji pun mengikutinya.
"Bagaimana
menurutmu?" tanyanya
ingin tahu.
"Judulnya
terdengar sedih, tapi ternyata lagunya happy
ending, ya. Unik," jawab Michisa. "Hei,
Henji-kun..."
Henji tertegun,
"apa?"
"Kau
menulis lirik seperti itu, dan lirik seperti di lagu sebelumnya juga... Sepertinya
kau pernah punya pengalaman jatuh cinta, ya?"
Henji terdiam
sesaat, "Sebenarnya
nggak, sih. Jujur saja, aku belum pernah jatuh cinta. Aku hanya mengira-ngira
waktu menulis liriknya," jawab Henji ragu-ragu. "Menurutku laguku
hanya lagu cinta yang setengah-setengah. Nggak jelas untuk siapa."
"Tapi tetap
bagus, lho. Sebenarnya aku juga suka menulis lirik, tapi aku nggak bisa mencari
nada," tambah Michisa.
"Kalau
begitu tolong tuliskan satu untukku."
Michisa
terkejut, "Hah?"
"Kazuto
bilang, kalau soal perasaan, perempuan lebih ahli," ujar Henji. "Ah,
benar juga. Tadi dia minta tolong sampaikan permintaan maafnya untukmu. Dia
takut kau marah."
Michisa menghela
nafas panjang, "Permintaan
maaf diterima. Soal menulis lirik, aku nggak yakin..."
"Kau pasti bisa.
Biar kuberi kau buku catatan. Silakan kau tulis apapun sesukamu. Kalau ada
kata-kata yang bagus, akan kujadikan lagu. Dan kalau lagunya bagus, mungkin
bisa kumasukkan ke single berikutnya. Oke? Ayo, kita ke toko buku di
sana."
Michisa hanya
bisa menurut. Henji kelihatan senang sekali. Terakhir kali ia melihat Henji
seperti ini adalah saat ia datang ke rumah Henji. Henji juga jadi agak pemaksa. Rasanya jadi tidak tega kalau
dibantah.
"Yang ini
nggak apa-apa 'kan?" Henji menyodorkan sebuah catatan berwarna ungu muda
pada Michisa.
"Maksudmu
'memberikan' itu... Kau mau membelikan aku catatan?"
"Ya. Anggap
saja ucapan terima kasih."
"Hei,
jangan. Biar kubeli sendiri..."
"Nggak
apa-apa," potong Henji sambil tersenyum.
Michisa
tertegun. Henji punya banyak sisi lain. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat
pertemuan pertamanya dengan Henji musim dingin lalu. Saat ia menawarkan Henji
traktiran sebagai ucapan terima kasih, laki-laki itu memaksa menolak. Tapi
sekarang, saat Henji ingin memberikan buku catatan sebagai ucapan terima kasih,
ia tak bisa menolak.
"Kau
curang," gumamnya.
Tapi siapa yang
bisa menolak Henji yang sekarang? Baik hati, ceria, percaya diri... Hati
Michisa berdebar senang. Untunglah Henji berubah jadi sosok yang luar biasa.
Untunglah dia tak sendirian lagi. Untunglah, dia tak menyadari apa yang Michisa
rasakan sejak dulu.
*****
"Kak, kok
bengong?"
Henji tersadar
dari lamunannya. Ia melihat Riho duduk di sebelahnya sambil membaca buku,
"Ah, nggak
apa-apa."
"Sebenarnya
setelah hari ulang tahun Kakak tempo hari, aku merasa Kakak jadi banyak
melamun."
"Su-sungguh?"
"Sungguh."
"Perasaanmu
saja, 'kan?"
"Uhumm..."
Riho tak bicara
lagi. Ia asyik dengan buku bacaannya.
Henji berdiri,
lalu masuk ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur. Memandang langit-langit
kamar sambil merenung.
Sebenarnya ia
sendiri merasa kalau dirinya jadi sering melamun saat di rumah. Riho memang
tidak salah. Ini dimulai sejak malam di hari ulang tahunnya tempo hari.
"Selamat ulang tahun, ya, Tasunaga."
Wajah Michisa
waktu tersenyum memberikan ucapan selamat, wajah itu terbayang terus.
Wajah
tersenyumnya terbayang terus.
Dan entah kenapa
ia merasa Michisa yang saat itu adalah Michisa yang paling cantik yang pernah
ia lihat. Begitu manis dan tulus.
Akhirnya Henji
jadi memikirkan banyak hal tentang Michisa. Ayah Michisa meninggal saat usianya
12 tahun. Tak lama setelah itu neneknya mengusir dia dan ibunya ke Jepang. Apa
waktu itu dia memang sudah biasa dengan Bahasa Jepang? Sebelumnya 'kan dia di
Inggris terus. Kalau belum, hebat sekali dia. Berarti dia menjalani masa SMP di
negara lain walau tidak benar-benar mengerti bahasa mereka. Lalu kenapa dia
memutuskan masuk SMA Nosaka? Apa dia senang di sini? Apa yang dia suka? Apa dia
tidak suka?
Henji ingin tahu
lebih banyak tentang Michisa. Ingin tahu sifat-sifat tak terduga lainnya yang
dimiliki teman baiknya itu.
"Aku hanya kesal karena dia menjelek-jelekan
teman baikku."
Henji tak tahu
apa yang dibicarakan orang lain soal dirinya. Tapi ia pun merasa, kalau seandainya
Michisa dijelek-jelekkan orang lain, dia juga akan merasa kesal.
"Bahkan Tasunaga Henji juga laki-laki biasa
yang tertarik pada perempuan. Barusan dia bilang Hanazawa-san SELALU manis."
Ah, sial.
Tiba-tiba Kazuto yang muncul. Michisa teman baiknya. Bukannya wajar memuji
teman sendiri? Michisa memang sosok yang hebat.
"Perasaanmu itu hanya perasaan kagum atau
perasaan suka? Dari mata turun ke hati, lho."
Henji menggeram
tak jelas. Dia bisa gila kalau terus memikirkan ini. Memangnya perasaan ini
perasaan suka? Apa banyak memikirkan berarti suka? Belakangan ini kalau di
rumah Henji banyak memikirkan Michisa. Tapi di sekolah, ia juga banyak
memikirkan keluarganya. Apa itu perasaan yang sama? Dan bagaimana caranya tahu
perasaan apa itu jika teman perempuannya hanya Michisa seorang? Apa ia begini
ke setiap teman perempuan? Atau hanya Michisa?
Henji merasa
suatu hari nanti dia akan benar-benar gila.
- Bersambung ke Chapter 9 -
Catatan Penulis :
Terima kasih telah membaca
Honestly Chapter 8 : Lovability!
Untuk kesekian kalinya kuumumkan, setelah merilis
chapter 8, saya akan hiatus sementara dari
Honestly. Harap maklum karena saat ini saya ada di "kelas tiganya kelas tiga".
Btw chapter ini banyak latar belakangnya, nih. Pertama mulai dari judul chapternya, Lovability. Ini adalah salah satu kata dalam Bahasa Inggris yang paling aku suka setelah "Halcyon". Artinya kurang lebih "kemampuan untuk mencintai". Kode? Iya deh bodo amat -_-
Aku (atau saya? Nggak konsisten) pertama denger kata itu dari albumnya ZE:A, boyband K-Pop. Kebetulan pas untuk chapter ini, jadi kupakelah.
Terus, untuk orang yang baca chapter ini dan tahu seperti apa saya di dunia nyata, mungkin Anda bakal ngerasa jomplang banget. Iya. Fildzah yang luarnya alim itu ternyata nulisnya beginian. Mungkin Anda bakal mikir gitu.
Tapi ya, segala hal yang nggak bisa kulakukan di dunia nyata, kutuangkan dalam bentuk fiksi. Dunia fiksi nggak punya aturan, hanya diikuti oleh etika dunia nyata. Jadi maksudnya saya ngerasa seolah-olah melampiaskan keterbatasan dunia nyata ke dunia lain, gitu. Jadi saya kehilangan keinginan untuk melakukan hal-hal yang dilarang di dunia nyata. Oke maaf penjelasannya membingungkan.
Masalah lain yang kutemui saat menulis chapter ini adalah sudut pandang. Sebenarnya udah ngerasa gini dari awal nulis novel ini sih. Aku perempuan. Tokoh utamanya laki-laki. Apa aku yang perempuan ini bisa mengungkapkan perasaan seorang laki-laki dengan benar? Itu yang masih kubingungkan.
Karena itulah saya mohon sekali kritik dan saran Anda jika memang ada. Cukup sekian dulu, ya. Terima kasih telah membaca Honestly!
FildzahPro